Menyoal Tata Gerak Dalam Ekaristi-Gagasan

14
 Menyoal Tata Gerak Dalam Ekaristi

 (RD. Mateus Syukur)

Memimpin misa bukan hanya sekadar baca teks yang telah disediakan di atas altar, namun membaca diikuti dengan tata gerak yang sakral adalah satu bagian yang berjalan secara simultan.

Ekaristi merupakan sentrum kehidupan iman kristiani sekaligus puncak sakramen inisiasi. Seluruh perjuangan calon imam dan imam mengalami kepenuhannya dalam perayaan ekaristi. Begitu pentingnya ekaristi dalam kehidupan Gereja Katolik, sehingga imam yang merayakannya mesti berjuang menguduskan dirinya sendiri lebih dahulu, sebelum ia menguduskan umat penggembalaannya. Memang imam adalah manusia biasa yang kerapkali juga jatuh dalam kesalahan namun ia adalah pribadi yang telah terurapi dalam sakramen imamat. Karena itulah imam tertabis satu-satunya pribadi yang layak untuk merayakan ekaristi. Menghilangkan imam tertabis dari ekaristi sama seperti menghilangkan salib dari Gereja Katolik.

Ekaristi dan imam ibarat dua sisi mata uang dalam satu kertas yang tidak bisa dipisahkan. Pertanyaannya siapa itu imam, Sehingga pribadi ini begitu urgennya dalam ekaristi? Dalam Kamus teologi, Imam (priests) adalah anggota jemaat yang dikhususkan untuk mempersembahkan kurban dan menjadi pengantara antara Allah dan manusia secara kultis seperti imamat Lewi dalam PL (Kel 28:1; 32:25-29; Im 8:1-9:24), atau sebagai raja-imam seperti Melkisedek (Kej 14:18-20), atau secara profetis. Sebagai Sang Pengantara antara Allah dan manusia (1 Tim 2:5). Karena sakramen tahbisan, imam disucikan oleh Roh Kudus  demi kebaikan seluruh Gereja secara khusus melalui pelayan sabda, sakramen dan kepemimpinan pastoral (PO 2; 4-6), inilah yang disebut imamat ministerial. Di samping menerima sakramen tobat, mengurapi orang sakit, dan melayani sakramen-sakramen yang lain, pelayan imam tertahbis adalah mempersembahkan kurban misa “atas nama Kristus dan sebagai wakil gereja” (LG 10;28).   

Berangkat dari pemahaman ini, menjadi mengerti bahwa tugas imam begitu mulia dan pentingnya dalam ekaristi. Karena itu seorang imam berjuang dalam suatu proses menjadi imam yang sungguh-sungguh menghidupi ekaristi. Ekarsiti di lain pihak adalah bentuk doa dan pujian yang sempurna karena merupakan persembahan diri putera abadi Allah dalam kesatuan dengan Roh Kudus atas nama umat manusia.  Dalam ekaristi  umat beriman melakukan ritual sakral pemujaan kepada “mysterium tremendum et fascinosum”. Yaitu yang Ilahi sebagai misteri yang menakjubkan, menakutkan dan sekaligus menarik, memesonakan. Untuk itulah unsur-unsur seni dalam ekaristi, seperti tata gerak yang dilakukan oleh imam, tidak boleh dianggab sepele.

Tata gerak sudah pasti adalah bagian dari simbol yang mengungkapkan arti tertentu. Tata gerak imam dalam ekaristi merupakan simbol-simbol yang harus mendatangkan keselamatan, kasih dan kerahiman Allah. Sehingga seorang imam yang memimpin perayaan ekaristi tidak seenaknya menambahkan gerakan tambahan yang tidak perlu yang dapat mengganggu konsentrasi umat. Menurut hemat saya imam yang merayakan ekaristi boleh saja melakukan akting sedikit dalam gerakan, asal tidak melenceng dari tata gerak yang telah ditentukan. Dengan kata lain akting yang yang teratur dan optimal itu perlu untuk membangkitkan gairah seni yang sakral, sehingga ekaristi menjadi hidup dan tidak kaku. Benar bahwa ekaristi bukan drama tetapi di sisi lain, menurut hemat saya, imam saat merayakan ekaristi juga berlaku seperti aktor spiritual di atas altar. Bagi saya sejauh imam itu tidak memasukkan gerakan-gerakan yang menggangu perayaan ekaristi adalah wajar-wajar saja. Kecuali kalau memang imam itu melakukan aksi teatrikal yang berlebihan ini baru namanya fatal dan mestinya diberi evaluasi.  

Lepas dari gagasan ini. Saya sendiri punya pengalaman di mana saya tersandung dalam kesalahan-kesalahan tata gerak. Beberapa alasan mengapa itu terjadi, saya mengulasnya di sini bukan untuk membenarkan kesalahan yang pernah dilakukan. Pertama kurang adanya persiapan yang matang. Bagaimanapun budaya persiapan itu amat penting. Kedua hilangnya perilaku sakral dikarenakan adanya gangguan konsentrasi.  Maka dari itu, fokus dengan penuh penghayatan pada apa yang sedang dirayakan, adalah kunci kesakralan  dalam memimpin perayaan ekaristi. Ketiga perasaan inferioritas karena kurangnya persiapan. Bagian ketiga ini sudah masuk dalam ranah persoalan psikologis. Inferioritas sebagai akumulasi perasaan-perasaan terhadap diri sendiri yang merasa tidak layak menghantar orang kepada kekudusan hidup. Inferioritas ini muncul dari alam tak sadar hingga menjadi sebuah kompleks rendah diri. Perasaan inferioritas dialami oleh setiap manusia dengan kadar dan dalam situasi yang berbeda-beda.

Saya pikir untuk meminimalisir emosi negitif demikain kuncinya adalah menerima kenyataan diri aktual. Sejalan dengan itu  memberi sugesti kepada diri  dengan pikiran positif adalah cara yang tepat untuk meredam bayangan negatif itu. Barangkali daya yang mampu meredam emosi negatif sehubungan dengan ini adalah mencintai Ekaristi. Saya yakin  dengan cinta yang besar terhadap ekaristi  maka kekeliruan yang tampak dapat diminimalisir.

Agar gagasan saya tidak membias ke segala arah maka kembali pada topik bahwa tata gerak imam yang salah dalam perayaan ekaristi seringkali bukan karena ketidaktahuan saja namun menurut hemat saya juga karena dipengaruhi oleh ketiga faktor yang telah saya kemukakan di atas. Gagasan saya ini bukanlah kebenaran mutlak. Tentu saja ada kemungkinan lain. 

Menyikapi soal demikian maka yang perlu dihidupi oleh seorang imam adalah belajar menjadi pribadi yang sungguh-sungguh mencintai ekaristi. Cinta yang besar mampu memaksimalkan semangat pelayanan seorang imam. Dengan semangat 3 L: love, learn  and live. Dengan mencintai ekaristi saya belajar seni memimpin perayaan ekaristi, dengan belajar saya bisa menghidupkan ekaristi dalam kehidupan harian sebagai imam. Di atas dari semuanya ini, sadar bahwa memimpin misa bukan hanya sekadar baca teks yang telah disediakan di atas altar, namun membaca diikuti dengan tata gerak yang sakral adalah satu bagian yang berjalan secara simultan.*

Catatan: Mohon tanggapan secara tertulis.