Belajar dari Sang Pastor

10

 Belajar dari Sang Pastor

 (Membaca Kisah Cinta Sang Pastor Dalam Novel “ Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis”)

Fr. Ino: Pencinta literasi menulis, saat ini sedang menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral di Seminari Petrus van Diepen

(Fr. Inosius Mori) 

Keberanian sang pastor semakin dirasakan ketika mereka bersama-sama melalui ziarah percintaan yang membuka penemuan-penemuan baru akan cinta antara Pilar dan sang pastor

Di tepi sungai Piedra aku duduk dan menangis merupakan sebuah kisah menarik penuh pergolakan batin. Kisah cinta dalam kurun waktu tujuh hari menjadi isi dari keseluruhan novel karya Paulo Coelho. Kendati cinta tidak mengenal peraturan tetapi cinta telah mengajarkan arti hidup itu sendiri dengan berbagai sisi kehidupan yang terkadang mempunyai kesan yang irasional.

Cinta kembali bersemi setelah perpisahan selama dua belas tahun silam. Waktu yang telah lewat di mana Pilar dan seorang pastor menghabiskan masa kecil yang sesungguhnya secara diam-diam menaruh perasaan cinta. 4 Desember 1993, merupakan hari yang paling indah serempak membuka ziarah percintaan Pilar bersama dengan pastor. Perjalanan itu disertai oleh gejolak perasaan dan pergulatan batin yang tak menentu. Di satu sisi, Pilar mempercayai adanya rasa cinta yang besar untuk sang pastor. Namun di sisi lain, cinta itu seakan–akan “dibendung” dengan keberadaan sang pastor sebagai pribadi yang telah memilih jalan hidup sebagai abdi Tuhan. Di dalam benaknya, Pilar menyadari pula bahwa dia hanyalah seorang gadis desa biasa  yang tidak mungkin jatuh cinta dengan seorang pastor.

Keseluruhan gejolak perasaan dan pergulatan batin itu dialami secara langsung oleh Pilar dalam peziarahannya bersama pastor. Perasaan ini semakin kuat ketika sang pastor berani mengungkapkan bahwa ia sendiri masih memiliki cinta yang besar untuk Pilar. Di hadapan secangkir kopi pada sebuah kafe, sang pastor mengungkapkan perasaannya ”aku mencintaimu” (hlm. 38).

Keberanian sang pastor semakin dirasakan ketika mereka bersama-sama melalui ziarah percintaan yang membuka penemuan-penemuan baru akan cinta antara Pilar dan sang pastor. Namun demikian, Pilar masih memupuk sebuah sikap skeptis terhadap sang pastor yang pada kenyataannya selalu merasa  jatuh cinta dengan pekerjaannya sebagai seorang pastor. Hal ini dapat dilihat ketika sang pastor terlibat aktif dalam kegiatan karismatik dan membuat mujizat penyembuhan atas nama Tuhan. Karena itu, peziarahan antara Pilar dan sang pastor, lebih merupakan suatu ziarah batin.

Karakter religius yang ditunjukan oleh sang pastor menghantar Pilar pada suatu penghayatan  bahwa iman akan Tuhan mampu membawa orang pada suatu ruang hidup yang mendamaikan. Karena itu, Pilar yang semula tidak mempercayai Tuhan, pada akhirnya berbalik dan menjadi seorang pemeluk agama yang taat. Iman akan Tuhan membawa kesan tersendiri dihati Pilar bahwa sang pastor, orang yang ia cintai sudah memilih jalan terbaik. Pilar sendiri menyadari bahwa sang pastor memiliki intimitas hubungan dengan Allah melalui perantaraan Bunda Maria. Karena itu, dengan penuh penyesalan dan kepasrahan Pilar berdoa dibawah patung Bunda Maria tak bernoda, ”ampunilah aku Bunda Maria. Ampunilah aku jika aku egois atau berpikir picik dan bersaing denganmu demi cinta laki-laki ini”.(hlm.129).

Gejolak perasaan batin dalam keseluruhan perziarahan cinta Pilar dan sang pastor tidak jarang menimbulkan keberanian dalam diri mereka untuk mengekspresikan cinta mereka secara total. Mereka terus melangsungkan perjalanan cinta yang berakhir di tepi sungai Piedra. Sungai itu, sesungguhnya tempat pertama terbentuknya romansa cinta antara Pilar dan sang pastor tatkala mereka hidup bersama sebelas tahun yang lalu. Konon, mereka mempercayai bahwa segala sesuatu yang jatuh di sungai Piedra akan berubah menjadi batu. Di tepi sungai Piedra itu, Pilar duduk dan menangisi cintanya terhadap sang pastor. Tangisan Pilar adalah harapan sekaligus penyesalan karena telah memilih pastor sebagai bagian dari hidupnya. Pada akhirnya Pilar mengungkapkan kedalaman hatinya. “Entahlah. Tapi sang Bunda selalu memberiku kesempatan kedua. Ia memberiku kesempatan kedua perihal dirimu. Ia  akan membantuku menemukan jalanku lagi”. (hlm.222).

 Hikmah di akhir kisah    

Paulo menghardikan sebuah kisah cinta yang tidak hanya sebuah romantisme perjalanan cinta biasa tetapi menguak sebuah jenis cinta lain yang dipenuhi pertanyaan-pertanyaan penting maksud  dari cinta itu sendiri. Dengan membaca novel ini kita dapat mengetahui sisi kemanusiaan khususnya dalam membangun relasi personal dengan lawan jenis. Dengan demikian kita diharapkan untuk memutuskan pilihan yang jelas antara setia mengikuti Tuhan atau memilih jalan lain. Di sini dibutuhkan kepastian terhadap pilihan hidup. Relasi yang dibangun mesti menghantar orang pada kedekatan dengan Tuhan.*