KOMSOSKMS.ORG – Pada dasarnya Gereja dan politik merupakan dua hal yang berbeda. Keduanya memiliki cara yang berbeda dalam menunjukan keberadaan. Meskipun demikian, keduanya memiliki kesamaan, yakni tetap berurusan dengan manusia dan kehidupannya. Pelayannya berorientasi pada keutuhan dunia dan kebaikan bersama semua umat manusia. Atas dasar itulah keberadaan kedua institusi ini tidak bisa dipisahkan dan sebisa mungkin dipertahankan dan bahkan terus ada entah sampai kapan.
Menurut asal katanya, kata politik berasal dari kata bahasa Yunani yakni ta politika yang berati segala seuatu yang berhubungan dengan publik atau kepentingan umum. Istilah ini berhubungan dengan kata polis dalam bahasa Yunani, yang berarti kota. Pendefinisian arti politik tidak terlepas dari pendapat sejumlah filsuf Yunani kuno, seperti Plato dan Aristoteles. Menurut Plato, sebagaimana yang ditulis Frans Magnis-Suseno dalam buku “Etika Politik”, politik merupakan sebuah upaya menata kehidupan bersama demi menciptakan keadilan dan kesejahteraan semua orang. Penataan itu hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang terdidik. Untuk itu, menurut Plato, yang berhak menjadi pemimpin adalah filsuf atau orang-orang yang terdidik intelektualnya, spiritualitasnya dan mental-moralnya.
Pemimpin tidak boleh dipercayakan kepada pihak yang hanya berjuang untuk kepentingan dirinya. Selain itu, Aristoteles murid Plato, mengembangkan definisi polis sebagai masyarakat merdeka dengan hak yang sama dalam menata hidup bersama. Dalam pemakaian sehari-hari khususnya pada zaman Yunani klasik, kata ini sering disandingkan dengan kata techne yang berarti seni atau teknik. Dengan demikian, arti dasar politik adalah seni atau teknik untuk menyelenggarakan atau menata hidup bersama dengan tujuan untuk kesejahteraan umum, bukan kelompok atau golongan tertentu sambil berpedoman pada perikemanusiaan (Frans Magnis-Suseno, Etika Politk, hlm. 228-229).
Jika politik dimengerti sebagai usaha bersama untuk menggapai kehidupan yang lebih baik, maka urusan politik tidak dapat diserahkan hanya kepada sekelompok orang, tetapi harus menjadi perhatian semua pihak, termasuk Gereja. Artinya, Gereja terpanggil untuk terlibat dalam tata dunia sebab politik bukanlah hal yang tabu bagi Gereja. Gereja tidak dapat bersikap diam atau menonton saja, tetapi harus terlibat. Gereja harus berani masuk dan berkecimpung dalam tata dunia politik, sebab Gereja ada dalam dunia dan berurusan dengan manusia yang hidup di tengah dunia. Argumentasi ini bukan tanpa dasar. Sumber iman kita juga berbicara tentang hal ini.
Dasar Biblis Keterlibatan Gereja dalam Politik
Berbicara tentang dasar keterlibatan Gereja dalam politik dunia tidak terlepas dari sejumlah pendasaran alkitabiah maupun ajaran Megisterium Gereja. Dalam kisah penciptaan, dikisahkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan citra Allah, lalu diserahi tugas dan tanggung jawab untuk melanjutkan karya-karya di bumi ini. Manusia dipercayakan oleh Allah untuk menata kehidupannya sendiri (Kej. 1:28). Pemberian kuasa oleh Allah kepada manusia untuk mengolah dan terlibat dalam ciptaan bisa ditafsir bahwa manusia sedari awal kehidupannya sudah diserahi tugas oleh Allah untuk mengatur dan menata dunia serta segala ciptaan lainnya. Tugas untuk mengatur dan menata merupakan kegiatan yang bermuatan politis.
Selain itu, ada sejumlah kisah dalam Kitab Suci yang merupakan tindakan bermuatan politis. Dalam nubuat Yeremia misalnya. Yeremia berkata, “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer. 29:7). Yeremia tidak menyajikan secara detail tentang keterlibatan umat dalam politik, namun konsep dasarnya sudah sangat jelas yakni perjuangan untuk menciptakan kesejahteraan.
Ada juga pernyataan Allah kepada Musa di gunung Sinai dapat menjadi penegasannya. Lalu naiklah Musa menghadap Allah, dan Tuhan berseru dari gunung itu kepadanya: “Beginilah kaukatakan kepada keturunan Yakub dan kauberitakan kepada orang Israel: Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan membawa kamu kepada-Ku. Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel” (Kel. 19:3-6). Pernyataan ‘Kerajaan imam dan bangsa yang kudus’ merupakan pernyataan yang bermuatan politis.
Selain itu, ada juga teks Injil yang mengatakan demikian: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Matius 22:21). Petikan teks Injil itu mengingatkan umat Katolik untuk terlibat secara profesional dalam hidup sebagai manusia dengan sejumlah perannya, dan menunjukkan diri secara benar sebagai umat Allah dalam tingah lakuknya. Dua sisi ini tidak boleh dileburkan, tetapi tetap hadir sebagai sisi yang saling melengkapi, saling menguatkan dan saling membangun. Atas dasar itu, umat Katolik mesti menunjukkan aura yang baik dalam politik, sebab di situ adalah medan bersaksi tentang kebenaran dari Tuhan.
Ajaran Megisterium Gereja tentang Keterlibatan Gereja dalam Politik
Ajaran yang lebih praktis tentang keterlibatan orang kristiani dalam dunia politik adalah suara Megisterium Gereja. Dokumen Konsili Vatikan II, Ajaran Sosial Gereja (ASG), ensiklik-ensiklik dan seruan apostolik lainnya berisikan pengajaran kepada umat Katolik agar tidak anti terhadap politik. Politik adalah panggilan hidup seluruh umat Allah.
Keterlibatan Gereja mesti dibedakan antara kelompok hirarki (kaum klerus) dan kaum awam. Pada dasarnya kaum klerus juga terlibat dalam politik. Namun, bentuk keterlibatan kaum klerus dalam politik tidak sama dengan bentuk keterlibatan kaum awam Katolik. Kaum klerus tidak diperkenankan untuk terlibat dalam politik praktis, seperti menjadi politisi, (anggota DPR, Bupati, dll) kecuali atas ijinan otoritas Gereja (bdk. Kanon 285). Ranah keterlibatan kaum klerus adalah politik normatif. Kaum klerus berhak memberikan suatu pemikiran, arah, acuan, bentuk dan tujuan dalam berpolitik. Misalnya, seorang pastor bisa berkotbah tentang menjadi seorang politisi yang baik, seperti harus jujur, tidak korupsi dan memperhatikan rakyat yang tertindas. Namun, pastor tersebut tidak diharapkan untuk menjadi politisi, seperti anggota DPR. Politik praktis adalah ranahnya kaum awam.
Dekrit tentang Kerasulan Awam (Apostolicam Actuositatem) dari Konsili Vatikan II berbicara tentang kaum awam dan kerasulannya, menegaskan pentingnya kerasulan kaum awam dalam menata dunia: “Kaum awam menunaikan kerasulan mereka yang bermacam-ragam dalam Gereja maupun masyarakat. Dalam kedua tatanan hidup itu terbukalah pelbagai bidang kegiatan merasul” (AA 2). Demikian juga dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini, Gaudium et Spes, artikel 75, ditegaskan bahwa semua umat beriman bertanggung jawab dalam urusan mengupayakan kesejahteraan umum, keamanan politik, ekonomi, kebudayaan dan hidup berkeluarga dalam upaya menuju ke kesempurnaan.
Terlibat dalam Politik: Ungkapan Tanggung jawab Terhadap Ciptaan
Sebagaimana uraian di atas bahwa Gereja Katolik melihat politik sebagai sesuatu yang baik, mutlak perlu bagi manusia dan berpijak pada kemanusiaan untuk kebaikan umum. Dengan demikian, seorang beriman Katolik dituntut untuk tetap setia menjadi seorang warga negara yang baik dengan tidak mengabaikan politik. Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, umat Katolik juga terlibat aktif dalam politik. Seorang Uskup yang pro-nasionalis, yakni Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, mengatakan bahwa antara Gereja dan politik, kita harus bisa menjadi seorang yang 100% Katolik, 100% Indonesia. Pemikiran beliau masih sangat relevan bagi Gereja dan umat Katolik yang berkecimpung dalam bidang politik sampai sekarang ini.
Gereja Indonesia kini berhadapan dengan kenyataan tahun politik. Tentu tak dapat dihindari ketika orang bertanya tentang posisi atau sikap Gereja. Mgr. Albertus Soegijapranoto pernah berpesan kepada politisi Katolik, “Jangan biarkan orang lain mengambil keputusan mengenai nasibmu, tanpa kamu terlibat di dalamnya“. Oleh karena itu, beberapa hal konkret yang harus dilakonkan oleh Gereja di tahun politik ini, antara lain: berjuanglah untuk berpartisipasi aktif dalam pemilu dan jadilah pemilih yang cerdas.
Politik akan menjadi baik dan bermartabat di kala orang baik dan benar mau terlibat di dalamnya. Politik akan terus dilihat sebagai yang buruk, bukan saja oleh karena para politisinya yang bobrok, melainkan karena orang baik, benar dan jujur tidak mau terlibat aktif dalam berpolitik. Mari, jangan takut berpolitik. Bagi kaum klerus, berjuangkan untuk berpolitik sesuai dengan bagiannya, dan bagi kaum awam, jadilah kaum awam yang berpolitik secara benar dan adil. Karena terlibat dalam politik, sama halnya kita menunjukkan tanggung jawab kita terhadap pelestarian alam dan segalam ciptaan-Nya di bumi. Tuhan memberkati kita. Amin.