Piala Dunia dan Makna Masa Adven

5
    Piala Dunia dan Makna Masa Adven

       (Daniel W. Gobai, Pr.)

(Imam Keuskupan Manokwari-Sorong)

   Perhelatan piala dunia hampir sebulan telah berlangsung. Pesta akbar tersebut tidak terasa dan akan segera berakhir dengan pertarungan hidup mati di laga partai final yang mempertemukan Argentina dan Prancis. Pesta bola dunia ini tentu menyedot aneka perhatian, hati, pikiran, energy banyak kalangan. Bendera-negara setiap Negara dipajang bahkan menghiasi hampir setiap sudut kota. Semua orang rela menonton kendati hingga larut, sebab suguhan bola para pemain dimainkan dengan baik dan apik. Tidak sedikit yang berkorban harta benda, kesehatan diabaikan, karir dipertaruhkan, masa depan seolah digadaikan hanya untuk menikmati event empat tahunan tersebut.  
  Piala dunia memang merupakan pesta rakyat semesta. Segenap bangsa di segala penjuru dunia semarak gembira ria, rela saling merendahkan, rela saling menghina, rela saling memojokkan demi memihak/membela entah pemain bintang pujaan hati atau demi negara kebanggaan. Inilah kenyataan, inilah pesta, inilah euphoria masyarakat. Semua kegembiraan, kebahagiaan, sukacita, dan canda tawa itu sekan seperti rahmat terselubung dari Sang Khalik setelah hampir lebih dari dua tahun, dunia dibuat sepi, sunyi, tiada aktivitas berkumpul lantaran covid-19 yang juga melanda segenap sendi kehidupan manusia.
  Kini dunia memasuki suatu babak baru. Begitu pula dunia kekristenan pada umumnya dan umat Katolik pada khususnya juga memasuki suatu babak baru. Menurut tradisi Gereja Katolik dan seturuk petunjuk kalender liturgy Gereja, umat Katolik saat ini tengah berada dalam satu masa istimewa. Gereja Katolik menyebutnya, masa Adven. Dari kata Adventus (Latin) yang paling tidak berarti penantian. Seperti masyarakat luas, yang sejak awal pergelaran piala dunia antusias menjagokan dan menantikan mana Negara yang akan menjadi finalis dan menjadi juara. Begitu pula dengan umat Kristiani dan secara khusus umat Katolik tengah menantikan kahadiran dan kelahiran Kristus.
  Banyak mulut memuji dan memuliakan bahkan mengakui Kristus sebagai Raja Semesta Alam. Namun segala sanjungan, pujian dan hormat itu kerap baru sebatas bibir, tanpa pemaknaan, tanpa sikap tobat dan syukur.  Tuhan sungguh dimanfaatkan dalam aneka doa dan devosi ketika kebutuhan  jasmani semakin terasa mendesak. Inilah potret orang Katolik yang amat pragmatis. Masa adven atau masa penantian ini bagi orang katolik adalah momen istimewa, moment luhur dan kudus. Penghayatan akan pentingnya masa adventus ini sesungguhnya mesti dilandasi oleh siap tobat (metanoia) dan sikap  berkorban. Hanya saja, banyak orang (baca: orang Katolik) tidak mengindahkan masa ini. Ketika natal atau pesta kelahiran Tuhan semakin mendekat untuk dirayakan, banyak muncul pertimbangan, keberatan, kengganan, kemalasan untuk mempersiapkan aneka hal berkenaan dengan pesta iman, pesta kelahiran Tuhan Yesus Kristus Raja Semesta Alam.
  Selama sebulan ini, banyak kalangan lebih bersemangat dan lebih antusias untuk mempersiapkan dan rela berkorban banyak hal berkenaan dengan perhelatan piala dunia. Sementara itu, semangat berkorban di kalangan umat katolik tertentu justru minim bahkan nyaris tidak ada. Momen berahmat masa adven dan pemaknaannya seakan disepak jauh, tenggelam dalam lautan kegembiraan gelaran pildun (piala dunia).
  Pada akhirnya, walaupun manusia terlalu jauh membiarkan diri larut dalam kegembiraan, sukacita dan kebahagiaan piala dunia Allah toh tetap mengasihani, mendekati, merangkul, memanggil dan menyelamatkan. Kristus memang tidak pernah sedikutpun memerlukan pujian, kesiapan fisik yang mapan dari manusia agar kemuliaan dan kebesaran-Nya semakin besar. Sedikit pun Putra Allah tidak memerlukan segala hormat dan pujian manusia. Justru semua hal itu diperlukan manusia demi keselamatannya sendiri. Benar masa adven orang sah-sah saja untuk berpendapat bahwa, “tidak perlu sibuk menyiapkan diri, toh Kristus tetap lahir bagi kita, dia tetap menyelamatkan kita dst”. Bagi penulis, anggapan dan penghayatan seperti ini wajar saja, namun hal ini menggambarkan suatu cerminan dari manusia miskin kesadaran, miskin akal sehat, miskin pernghayatan dan penghormatan yang perlu dan harus alias wajib manusia upayakan bagi keselamatan dirinya untuk saat kini dan kelak. Selamat pesta bola, selamat menyongsong pesta natal.*