Papua Tanah Damai Dalam Bingkai Kota Allah (Tinjauan Teologis dari Perspektif Santo Agustinus

99
Penulis: Fr. Noventus Jikwa, Osa.

Pengantar
Perjuangan untuk mewujudkan “Papua Tanah Damai” merupakan isu yang sangat penting, sekaligus merupakan suatu problem yang serius di Tanah Papua. Dengan kekayaan alam, keaneragaman budaya dan keunikan manusia, Papua sering digambarkan sebagai “surga” yang penuh dengan potensi perdamaian. Meskipun demikian persolan justru berkembang di sana, karena mereka yang menghilangkan rasa damai memiliki konsep yang berlawanan dalam mewujudkan cita-cita “Papua Tanah Damai”. Hal ini justru mengandung makna yang paradoks, yang berusaha mengungkapkan bagaimana konsep “damai” bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk tujuan yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai perdamaian sejati. Oleh karena itu, tulisan ini hadir dengan judul: PAPUA TANAH DAMAI DALAM BINGKAI KOTA ALLAH; Tinjauan Teologis dari Perspektif Santo Agustinus, berupaya untuk menguraikan nilai-nilai perdamaian sejati dalam perspektif Santo Agustinus.

Tulisan ini tidak memberikan kepada sidang pembaca suatu upaya baru untuk mewujudkan “Papua Tanah Damai”, tetapi lebih kepada pemahaman rasionalitas santo Agustinus tentang perdamaian sejati berdasarkan tinjauan teologis. Dengan demikian penulis berharap tulisan ini dapat memberikan insight baru bagi kita untuk mewujudkan perdamaian sejati di Tanah Papua.

Papua Tanah Damai
Konsep “Papua Tanah Damai” mulai menjadi perhatian yang serius sejak tahun 1998 yang ditandai dengan gerakan reformasi di Indonesia. Gerakan reformasi di Indonesia turut mempengaruhi kesadaran dan kematangan demokrasi bangsa Papua yang ditandai dengan semangat kebangkitan. Meskipun demikian, gerakan membangun Papua tanah damai pada waktu itu tidak begitu jelas karena kepentingan politik dan ideologi dari masing-masing pihak yang bertikai (nasionalis Indonesia maupun nasionalis Papua).

Gerekan membangun budaya damai ini ditandai dengan aksi-aksi damai yang dilakukan oleh rakyak Papua seperti tiga kali demontrasi pelanggaran HAM di Papua pada bulan Mei dan Juni 1998 oleh kelompok Peduli Hak Asasi Manusia (KPHAM) yang dipimpin oleh Gerson S. Abrauw secara damai dengan menuntut pertanggungjawaban TNI dan pemerintah Indonesia atas segala pelanggaran HAM di Tanah Papua (Alua, 2002a: 2-4). Aksi-aksi pengibaran bendera Papua sejak bulan Juli 1998 di Jayapura, Biak, Sorong, Wamena, Manokwari dan di daerah lainnya seperti di Kabupaten Yapen-Waropen, Fak-Fak, Mimika, Nabire, Paniai, Puncak Jaya dan Merauke yang dilakukan dengan cara yang damai (Alua, 2002a: 6-14). Demonstrasi damai 20 Juli 1998 di Jakarta oleh aliansi mahasiswa Papua di depan kantor perwakilan PBB di Jakarta (Alua, 2002a: 14). Aksi-aksi ini berpuncak pada kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan pemimpin-pemimpin Papua untuk melakukan suatu dialog nasional yang terealisasikan pada 26 Februari 1999 di Jakarta (Alua. 2002a: 44-83).

Sejalan dengan itu, kelompok nasionalis Papua juga berkomitmen untuk menyelesaikan konflik politik Papua dengan cara yang demokratis, adil, damai dan bermartabat melalui deklarasi-deklarasi, di antaranya; Deklarasi 1 Agustus 1998 oleh Theys Hiyo eluay (pemimpin LMA Irian Jaya) dan Yorris Raweyai (perwakilan masyarakat adat Irian Jaya di Jakarta) yang bertemakan “Dialog dalam rangka Reformasi terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dalam Konteks Nasional dan Daerah” (Alua, 2002a: 21-23). Deklarasi 12 November 1999, di kediaman pemimpin Papua Theys Hiyo Eluay (Sentani Kota) di mana diserukan langsung oleh Theys Eluay agar menaikan bendera Papua secara serempak bersama bendera Indonesia di seluruh Tanah Papua untuk memperingati Hari Nasional Papua Barat pada 1 Desember 1999 dengan cara-cara yang damai dan ditegaskan melalui surat Seruan No. I/LEGIS/10 (Alua, 2002b: 1-14.). Kemudian pertemuan LMA Papua pada 2 Januari 2000 yang digelar oleh Theys Hiyo Eluay tentang penyelenggaraan Konggres Rakyat Papua sebagai persiapan pembentukkan Pemerintahan transisi (Alua, 2002b: 43-44). Pertemuan ini kemudian terealisasikan melalui Musyawarah Besar (Mubes) Papua pada 23-26 Februari 2000 (Alua, 2002b: 55-104.). Peristiwa-peristiwa sejarah ini menunjukkan bahwa kesadaran akan upaya mengakhir konflik dengan jalan damai dan demokratis demi mewujudkan “Papua Tanah Damai” sudah menjadi suatu wacana bersama yang disepakati berdasarkan semangat reformasi di Indonesia.

Namun Aksi-aksi damai tersebut ditanggapi dengan cara-cara kekerasan oleh pemerintah Indonesia melalui pendekatan militer. Sehingga wacana “Papua Tanah Damai” pada waktu itu masih dikurug dalam kotak-kotak kepentingan politik dan ideologi masing-masing pihak, yakni kotak “NKRI harga mati” dan “Papua merdeka harga mati”. Di samping itu, sikap saling tidak percaya antara kedua belah pihak juga menghambat wacana untuk menjadikan Papua zona damai. Hal ini mendorong empat puluh unsur kunci yang terdiri dari Ornop (Organisasi non pemerintah), agama, politisi, masyarakat adat, pemerintah, media masa, dan akademisi mengadakan lokakarya dengan tema “Membangun Budaya Damai Menuju Papua Tanah Damai”. Melalui Kata Pengantar dari Buku “Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi”, disadari bahwa hambatan dari rumusan dalam lokakarya tersebut menghadapai berbagai tantangan serius dari tingkat pemahaman akan arti damai hingga pelaksanaannya dalam konteks sosial yang amat beragam di Papua. Damai juga sering dikonotasikan dengan sikap pasif, menerima saja keadaan yang ada disekitar. Paham lain yang mewarnai damai adalah romantik, yang terwujud dalam semboyan damai itu indah. Damai juga sering diartikan sebagai gencatan senjata, atau perimbangan senjata (Tim SKP Jayapura, 2006: ix). Dengan demikian melalui buku tersebut dirumuskan kembali hasil refleksi dan analisis tentang damai yang terhumus dalam lokakarya tersebut.

Sebagai karangka pengembangan konsep budaya damai, maka diberikan sembilan unsur yang menentukan ada-tidaknya rasa damai, yakni; Partisipasi, kebersamaan, toleransi-menghargai, komunikasi/informasi, kesejahteraan, rasa aman dan nyaman, keadilan dan kebenaran, kemandirian, harga diri dan pengakuan, keutuhan/harmoni (Tim SKP Jayapura, 2006: 25-42), serta ditambahkan pula oleh Jaringan Damai Papua (JDP) yakni kebebasan (Jaringan Damai Papua, 2014: 3), sehingga menjadi sepuluh unsur penting sebagai karangka untuk membangun budaya damai di Papua. Dengan demikian, setiap kebijakan dan upaya untuk mengakhiri konflik dan menciptakan “Papua Tanah Damai” harus memperhatikan sepuluh unsur tersebut yang menjamin adanya rasa damai.

Kota Allah (De Civititate Dei)
Karya De Civititate Dei dimulai Santo Agustinus tahun 413, dan mengerjakannya secara sporadis selama tiga belas tahun berikutnya. Maksud penulisan karya ini, ditemukan dalam kata pengantar buku pertama De Civititate Dei, bahwa Santo Agustinus menulis karya ini atas permintaan sahabatnya Marcellinus, seorang Kristen pejabat kekaisaran Roma yang menjadi sahabat dekat Santo Agustinus (The City of God. I. 1.). Marcellinus mendesak Santo Agustinus untuk menulis karya yang mengagumkan ini untuk membela iman umat Kristen yang pada waktu itu dirugikan atas tuduhan sebagai penyebab runtuhnya kekaisaran Romawi oleh bangsa Goth Barat di bawah pimpinan Alaric (seorang Kristen) pada tahun 410 (Rapar, 1995: 52).

Maka, niat awal Santo Agustinus adalah untuk menjawab tuduhan bahwa agama Kristen bertanggung jawab atas penjarahan kota Roma. Buku I-X secara khusus disusun untuk membantah tuduhan terhadap orang-orang Kristen. Kehancuran Roma bukan disebabkan oleh masuknya agama Kristen; Kekaisaran Roma telah menderita banyak bencana dan kemunduran sebelum Kristus lahir. Dewa-dewa agama pagan tidak melindunginya pada saat itu, dan mereka tidak melindunginya hingga kehancurannya, karena mereka tidak dapat melindunginya: mereka adalah makhluk tak berarti yang sia-sia. Terlebih lagi, mereka adalah setan-setan jahat yang suka menyesatkan manusia. Hal ini terlihat dari keinginan mereka untuk dipuja melalui pertunjukan teater yang cabul dan pertunjukan-pertunjukan yang merendahkan martabat lainnya. Semua upaya, bahkan oleh penulis sekuat Varro (Seorang penulis agama pagan yang termasyur, yang dari tulisan-tulisannya dipakai Agustinus untuk menambahkan pengetahuannya tentang praktek pangganisme) untuk membangun teologi terhormat dari mitos dan takhyul yang merupakan agama populer hanya akan berakhir dengan kontradiksi dan omong kosong.

Pembagian karya De Civititate Dei dapat diketahui melalui sebuah surat yang ditulis Santo Agustinus kepada seorang Kristen Afrika bernama Firmus (Cambridge Texts in the History of Political Thought, 1998: xiii). Di dalam surat itu Santo Agustinus mengatakan:
Ada dua puluh dua bagian: terlalu banyak untuk disatukan menjadi satu volume. Jika Anda ingin membuat dua jilid, Anda harus membaginya sedemikian rupa sehingga ada sepuluh buku di jilid pertama dan dua belas buku di jilid kedua. Jika Anda ingin memiliki lebih dari dua, Anda harus membuat lima jilid. Izinkanlah buku pertama memuat lima buku pertama, yang di dalamnya saya menulis menentang mereka yang menyatakan bahwa pemujaan terhadap para dewa – atau, lebih tepat saya katakan, terhadap roh jahat – membawa pada kebahagiaan dalam hidup ini. Biarlah jilid kedua berisi lima buku berikutnya, yang ditulis untuk melawan mereka yang berpikir bahwa dewa-dewa tersebut harus disembah melalui upacara dan pengorbanan untuk menjamin kebahagiaan di dunia yang akan datang. Biarkan tiga jilid berikut masing-masing berisi empat buku: Saya telah menyusun bagian pekerjaan ini sedemikian rupa sehingga empat buku menggambarkan asal usul Kota itu, empat buku kemajuannya – atau, lebih tepatnya, perkembangannya – dan empat buku terakhir menggambarkan tujuan yang ingin dicapai. (Surat ini ditemukan oleh Dom C. Lambot dan diterbitkan olehnya dalam Revue benedictine, 51 (1939), hal. 109.)

Penggunaan kata Civititate pada karya ini, menunjukkan bahwa Santo Agustinus tidak sedang berpikir tentang suatu negara atau kota tempat manusia tinggal. Kata Roma untuk negara adalah republica, istilah ini selalu digunakan oleh pemikir-pemikir Romawi seperti Cicero untuk menyebutkan satuan politik masyarakat (baik kerajaan maupun negara/kota). Santo Agustinus mengenal baik karya-karya Cicero, dan jika ia bermaksud menulis negara/kota sebagai komunitas politik maka ia akan menggunakan istilah teknis ini. Maka jelas bahwa, judul Kota Allah tidak berarti kota atau wilayah tempat orang-orang tinggal. Profesor Barow menyatakan bahwa istilah ini menunjukkan ruang kosong yang harus diisi oleh pembaca ketika ia membaca buku ini (Barrow, 1950: 20-22). Penggunaan kata negara/kota pada tulisan ini, disesuaikan dengan sumber yang disadur tetapi dengan maksud yang tetap sama dan tidak merujuk pada satuan politik tempat orang-orang tinggal.

Karya termasyur Santo Agustinus ini pada dasarnya bergantung pada pemahamannya (yang dimediasi melalui Rasul Paulus) mengenai narasi alkitabiah tentang Kejatuhan. Pada mulanya Allah menciptakan segala ciptaan dan manusia baik adanya. Santo Agustinus menjelaskan;
The love of the pair for God and for one another was undisturbed, and they lived in a faithful and sincere fellowship which brought great gladness to them, for what they loved was always at hand for their enjoyment. There was a tranquil avoidance of sin; and, as long as this continued, no evil of any kind intruded, from any source, to bring them sadness (The City Of God. XIV. 10). (Cinta pasangan terhadap Tuhan dan satu sama lain tidak terganggu, dan mereka hidup dalam persekutuan yang setia dan tulus yang mendatangkan kebahagiaan besar bagi mereka, karena apa yang mereka cintai selalu tersedia untuk dinikmati. Ada penghindaran dosa dengan tenang; dan, selama hal ini terus berlanjut, tidak ada kejahatan apa pun yang mengganggu, dari sumber mana pun, yang membuat mereka sedih).

Namun manusia diciptakan dengan kehendak bebas. Dibuat oleh Tuhan dari ketiadaan, dan oleh karena itu tidak memiliki kesempurnaan tertinggi yang hanya dimiliki oleh Dia, adalah mungkin bagi manusia pertama untuk menjauh dari-Nya melalui dosa: yaitu, melalui pilihan bebas untuk berbuat salah (The City of God. XIV. 13). Konsekuensi dari dosa itu adalah penghukuman Allah, namun penghukuman itu bukanlah yang paling berat dari kesalahan manusia. Dosa manusia pertama jauh lebih mengerikan karena hanya sedikit yang diminta dari mereka yang dapat dilakukan untuk menaati dan menjunjung perintah Allah (The City of God. XIV. 12). Dampak dosa asal menentukan seluruh perjalanan sejarah umat manusia selanjutnya. Sedemikian besarnya dosa keduanya sehingga sifat manusia diubah menjadi lebih buruk; dan dengan demikian perbudakan dosa dan perlunya kematian diteruskan kepada keturunan mereka (The City of God. XV. I). Oleh karena itu, pilihan atas kehendak benar-benar bebas hanya jika ia tidak menjadi budak dari keburukan dan dosa. Tuhan memberikan kebebasan seperti itu kepada kehendak, dan karena kebebasan itu telah hilang karena kesalahannya sendiri, kebebasan itu tidak dapat dipulihkan kecuali oleh Dia yang dapat menganugerahkannya (The City of God. XIV. 11).

Santo Agustinus berpandangan bahwa, seandainya kejatuhan tidak terjadi, maka negara, dan berbagai alat pemaksaan, hukuman dan penindasan yang kita kaitkan dengan negara, tidak akan ada. Mereka tidak akan ada hanya karena mereka tidak diperlukan. Manusia secara alami bersosialisasi (The City of God. XIX. 5; 12), namun tidak secara alami ia berpolitik. Hidup dengan cinta yang tertata dengan benar, dan karena itu niat baik mencintai Tuhan di atas segalanya dan sesama manusia seperti diri sendiri manusia akan mampu hidup bersama dalam kedamaian dan kerja sama yang spontan (The City of God. XIV. 6; 10).

Tujuan awal Allah adalah agar manusia menjadi setara dan tidak dapat diatur kecuali oleh-Nya. Mereka diberi kekuasaan atas binatang, tetapi tidak ada manusia yang diberi kekuasaan atas manusia lain. Menurut Santo Agustinus, Allah tidak menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal menurut gambar-Nya, untuk menguasai makhluk berakal lainnya kecuali makhluk yang tidak berakal. Artinya, bukan manusia berkuasa atas manusia lain, melainkan manusia berkuasa atas binatang dan tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, orang-orang adil pertama ditetapkan sebagai gembala atas kawanan, bukan sebagai raja atas manusia (The City of God. XIX. 15).

Akan tetapi, manusia yang sudah jatuh dalam dosa, karena dikuasai oleh rasa cinta pada diri sendiri, selalu tunduk pada emosi dan dorongan hati yang merusak. Manusia menjadi iri dan pendendam; dia menyukai kemuliaan; dia menginginkan kekayaan materi; dia termakan oleh apa yang disebut Santo Agustinus sebagai libido dominandi (nafsu kekuasaan) atau keinginan untuk mendominasi orang lain. Keinginan ini, muncul dari kesombongan yang tidak dapat ditoleransi yang menolak menerima bahwa semua manusia pada dasarnya setara (The City of God. XIV. 13). Pada tingkat tertentu, negara merupakan ekspresi dari dorongan-dorongan dasar ini.

Hal ini muncul dari nafsu manusia akan kekuasaan dan kekerasan; sebagian besar peperangan terjadi karena hal-hal ini, walaupun yang dimaksudkan Santo Agustinus adalah kemungkinan terjadi peperangan yang adil (The City of God. XIX. 7). Tujuan utama dari hal ini adalah untuk memperoleh dan mempertahankan hal-hal yang diinginkan manusia hanya karena ia serakah dan berdosa. Dalam pengertian ini, negara adalah akibat dari dosa dan suatu kesempatan untuk berbuat dosa. Menurut Plato dan Aristoteles, hal ini bukan merupakan bagian alami dari kehidupan manusia atau ekspresi alami dari kapasitas manusia.

Sebaliknya, menurut Santo Agustinus, hal ini merupakan supervensi yang tidak wajar, yang diwujudkan oleh fakta bahwa sifat alami manusia yang mudah bergaul telah dirusak dan dijadikan egois oleh dosa. Bahkan dalam kondisi terbaiknya, negara adalah sumber ketakutan, penderitaan, dan kematian. Bahkan hakim yang baik pun, karena mereka tidak dapat mengetahui isi hati manusia, harus melakukan penyiksaan untuk mendapatkan kebenaran; bahkan mereka melakukan kesalahan, dan terkadang menghukum orang yang tidak bersalah atau membiarkan orang yang bersalah bebas. Hakim yang bijaksana hanya bisa berdoa agar dibebaskan dari tanggung jawabnya (The City of God. XIX. 6).

Uraian di atas menunjukkan rangkuman karya termasyur Santo Agustinus yang berangkat pada dua macam negara. pertama, negara Allah (civitas Dei) yang sering disebutnya juga sebagai negara surgawi. Kedua, negara sekuler (civitas terrena/negara duniawi) yang sering disebut juga sebagai negara diaboli (Yunani: diabolos yang berarti penghianatan), (Rapar, 1995: 59). Dua negara ini digerakan oleh dua dasar cinta yang kemudian membentuk watak masyarakat yang hidup di dalamnya. Santo Agustinus menjelaskan:
“Two Loves, then, have made two cities. Love of self, even to the point of contempt for God, made the earthly city, and love of God, even to the point of contempt for self, made the heavenly city. Thus the former glories in itself, and the latter glories in the loard. The former seeks its glory from men, but the latter finds its highest glory in God, the witnees of our conscience. The former lifts up its head in its own glory; the latter says to its God, My glory, and the one who lifts up my head (Ps 3:3)” . (Dua cinta, kemudian, telah membuat dua kota. Cinta diri, bahkan sampai menghina Tuhan, membuat kota duniawi, dan mencintai Tuhan, bahkan sampai menghina diri sendiri, membuat kota surgawi. Jadi yang pertama memuliakan dirinya sendiri, dan yang terakhir memuliakan Tuhan. Yang pertama mencari kemuliaannya dari manusia, tetapi yang kedua menemukan kemuliaan tertingginya di dalam Tuhan, saksi hati nurani kita. Yang pertama mengangkat kepalanya dalam kemuliaannya sendiri; yang terakhir berkata kepada Tuhannya, Kemuliaanku, dan dia yang mengangkat kepalaku (Mzm 3: 3), (The City Of God. XIV. 28)

Santo Agustinus memulai karya De Civititate Dei tentang dua kota ini berangkat dari pandangannya tentang “cinta”. Dua jenis cinta dalam pandangan Santo Agustinus sangat penting untuk menentukan kontruksi dari karya De Civititate Dei. Dua cinta itu dibedakan Santo Agustinus yang biasanya disebut “kegunaan” (uti) dan “kenikmatan” (frui). Menikmati sesuatu berarti mencintainya dan menjadikannya milik sendiri dan hal itu berlawanan dengan cinta yang berarti kegunaan yang menjamin sesuatu yang lain. Menurut Santo Agustinus, hanya Tuhan yang pantas dicintai. Tuhan adalah objek dari cinta dan karena itu menjadi tujuan dan pusat dari semua keinginan manusia (Sandur, 2019: 166). Sebagaimana dikatakan Santo Agustinus dalam confessionis (pengakuan-pengakuan): “hati kami tak kunjung tenang sampai tenang di dalam diri-Mu” (Conf. I.1.). Dengan demikian, tidak ada satupun ciptaan yang seharusnya dicintai secara utuh. Tidak ada ciptaan yang baik sekalipun yang dapat dibandingkan dengan kebahagiaan dan kedamaian yang ditemukan dalam cinta kepada Tuhan.

Menurut Santo Agustinus dua cinta telah membentuk dua masyarakat negara/kota. Pertama, Kota duniawi adalah kota yang terkurung pada cinta akan diri sendiri. Cinta akan diri sendiri adalah cinta yang tidak diarahkan kepada hal yang benar akan kondisi manusia. Kota duniawi diwarnai oleh dosa, keangkuhan dan cinta yang egois. Kota duniawi adalah manifestasi dari ketidakjujuran, pengumbaran hawa nafsu, ketidakadilan, penghianatan, kebobrokan moral, keburukan, kemaksiatan, dan kejahatan. Kedua, kota Allah adalah kota yang terkurung pada cinta akan Allah, bahkan sampai manyangkal diri. Cinta akan Allah adalah cinta yang diarahkan pada hal-hal yang benar dari kondisi alami manusia. Kota Allah diwarnai oleh iman, ketaatan dan kasih akan Allah. Negara Allah menghargai segala sesuatu yang baik seperti; kejujuran, keadilan, keluhuran budi, kesetiaan, moralitas yang terpuji, dan keindahan (Rapar, 1995: 59-60).

Akan tetapi, karena warisan dosa asal menyebabkan kekacauan psikologis. Hal itu membawa kepada kekacauan cinta manusia yang menyerahkan dirinya kepada kepuasan diri sendiri, suatu kepuasan yang diasosiasikan Santo Agustinus sebagai bentuk dosa kesombongan yang sangat dekat dengan keinginan akan kekuasaan (Sandur, 2019: 167). Negara Allah adalah negara yang paling baik dan oleh karena itu selalu diusahakan perwujudannya. Negara sekuler adalah buruk dan oleh karena itu tidak layak menjadi dambaan manusia. Manusia sudah selayaknya meninggalkan Kota duniawi dan mengenakan prinsip-prinsip hidup Kota Allah.

Pembahasan Santo Agustinus mengenai cinta menjadi petunjuk dalam keseluruhan karya De Civititate Dei. Banyak keinginan, ambisi, dan dorongan seseorang dalam Masyarakat hanya bisa disatukan menjadi kebaikan cinta Tuhan yang timbal balik. Tidak ada cinta terhadap sesama jika tidak ada cinta Tuhan dan cinta sesama kepada Tuhan. Cinta menjadi acuan bersama, ikatan kohesif yang membedakan kerumunan masa dari masyarakat yang sejati (Schmandt, 2021: 155). Santo Agustinus menjelaskan: “manusia yang mencintai Tuhan mendapati dirinya dalam hubungan sosial yang sejati dengan semua orang yang mencintainya” (Gilson, 1931: 220).

Meskipun kehidupan di dalam dua kota tersebut memiliki perbedaan yang saling bertentangan dari orientasi cinta masing-masing, namun amat sulit untuk membedakannya. Dua kota ini tidak dapat dibedakan karena berada dan tumbuh secara bersamaan, bergerak menuju cinta yang baik menurut ukurannya masing-masing. Dengan demikian, Mgr. Petrus van Diepen menjelaskan bahwa perbedaan antara penghuni kota surgawi dan kota duniawi adalah menyangkut tujuan cinta kasih masing-masing. Cinta kasih yang sejati hanya dapat diketahui secara batin, oleh hati nurani orang. Saksi satu-satunya adalah Allah. Kalau seseorang ingin tahu ia termasuk kota yang mana, ia harus menanyakan kepada diri sendiri apa yang dicintainya (Diepen, 2000: 151).

Hal ini menunjukkan kontruksi karya De Civititate Dei yang lebih terarah pada cara hidup (ways of ife) dan prinsip-prinsip hidup (principiles of life) dibandingkan hal-hal praksis manusia sebagai warga negara atau warga Gereja (Rapar, 1995: 60). Dengan demikian, Karya De Civititate Dei bertujuan untuk menjelaskan tentang dua kota agar orang dapat mempraktekkan prinsip-prinsip hidup yang benar pada kota Allah dan agar orang-orang mengenal dan menolak prinsip-prinsip yang terdapat di dalam negara duniawi. Sebab manusia seyogyanya menolak negara sekuler itu dan menyambut negara Allah.

Papua Tanah Damai dalam Bingkai Kota Allah
Persoalan yang mengahambat Perjuangan mewujudkan perdamaian di Tanah Papua sebagaimana yang telah diuraikan pada point pertama sebelumnya berkisar pada paham “damai” yang berakibat pada upaya untuk mewujudkan “Papua Tanah Damai”. Nasionalis Indonesia beranggapan bahwa “Papua Tanah Damai” hanya akan terwujud dalam satu kesatuan dengan NKRI sebagaimana moto yang dikampanyekan militer di Papua “NKRI harga mati”. Sedangkan nasionalis Papua beranggapan bahwa “Papua Tanah Damai” hanya akan terwujud apabila Papua terlepas dari NKRI. Karena secara de facto selama Papua berada di dalam payung NKRI, masih terjadi pelanggaran HAM, ketidakadilan, perang, teror dari militer terhadp masyarakat asli Papua, marginalisasi, rasisme, dehumanisasi, genosida dan etnosida. Oleh karena itu nasionalis Papua bersikeras bahwa kemerdekaan bagi bangsa Papua Barat merupakan satu-satunya Solusi, dengan moto “merdeka harga mati”. Disamping itu, resolusi konflik politik Papua dengan jalan damai yakni doalog juga diupayakan untuk mewujudkan “Papua Tanah Damai”. Dalam konsep dioalog, kepentingan politik dan ideologi yang dipertahankan baik oleh nasionalis Indonesia dan nasionalis Papua yang kemudian melegalkan kekerasan tidak dapat mewujudkan cita-cita “Papua Tanah Damai”. Konsep “Papua Tanah Damai” tidak dapat terwujud apabila kedua belah pihak tidak melepaskan apa yang dipertaruhkan sebagai “harga mati”, dan mengarahkan diri pada pemenuhan nilai-nilai kemanusiaan yakni perdamaian, keadilan, dan cinta kasih. Sebagaimana Pater Neles Tebay tegaskan bahwa kedua belah pihak harus mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, daripada tetap berpegang teguh pada pandangan politiknya dengan mengorbankan hidup manusia dan keadilan (Tebay, 2009: 27).

Menurut hemat penulis kegagalan dalam setiap upaya menyelesaikan konflik politik di Papua adalah kepentingan politik dan ideologi masing-masing pihak yang berkepentingan di dalamnya. Hal ini terlihat jelas dari setiap upaya dari pihak-pihak yang ingin menjadikan “Papua Tanah Damai” sebagai tujuan yang ingin dicapai. Jika konsep “Papua Tanah Damai” dijadikan tujuan, maka konsekuensinya perjuangan untuk mewujudkan perdamaian di Papua adalah proyek politik dari masing-masing pihak yang berkepentingan. Konsep “Papua Tanah Damai” yang dijadikan tujuan akan berakibat pada segala upaya manipulatif yang harus dilakukan untuk melanggengkan kepentingan politiknya atas konflik yang terjadi. Sebab mereka yang menjadikan konsep “Papua Tanah Damai” sebagai tujuannya adalah agar kepentingan politiknya dapat tercapai. Jadi pihak-pihak yang berkepentingan untuk mewujudkan “Papua Tanah Damai” merenggut segala kenikmatan duniawi demi tercapainya hasrat akan damai yang didambakan oleh mereka. Hal ini yang akan membedakan gagasan Santo Agustinus dalam melihat ketiadaan rasa damai di Papua.

Menurut Santo Agustinus orang-orang tidak bisa berhasil disatukan, kecuali mereka mengabdi pada cita-cita tertinggi yang melampaui perbedaan individu (Schmandt, 2021: 156). Dengan demikian, “Papua Tanah Damai” hanya bisa diperoleh apabila banyak tubuh bersatu di dalam satu cinta yang sama, yakni cinta akan Allah yang mengakibatkan manusia untuk saling mencintai dan membentuk tatanan cinta yang sejati. Melalui rasionalitas Santo Agustinus kita diarahkan untuk tidak melihat “Papua Tanah Damai” sebagai tujuan yang harus dicapai, melainkan lebih terarah pada orientasi cinta kita untuk mewujudkannya.

Konsep “Papua Tanah Damai” pada dasarnya tidak dapat dijadikan proyek politik baik oleh nasionalis Papua dan nasionalis Indonesia, para akademisi Papua, tokoh-tokoh agama dan adat, serta lembaga-lembaga independen yang peduli terhadap situasi kemanusiaan di Papua demi kepentingan politik itu sendiri. Oleh karena itu, bertolak dari perspektif Santo Agustinus, penulis bermaksud untuk menguraikan esensi dasar dari konsep “Papua Tanah Damai”. Penulis tidak bermaksud untuk memberikan upaya baru, namun lebih menitik beratkan pada rasionalitas Santo Agustinus tentang “Papua Tanah Damai” yang dapat membantu kita untuk menemukan insight (pemahaman/paham) baru dalam melihat dan memahami konflik tersebut. Artinya, pemikiran Santo Agustinus memberikan dasar implikasi etis untuk mempertimbangan perilaku dan tindakan politik untuk menciptakan perdamaian sejati di Papua.

Kenyataan bahwa upaya menjadikan “Papua Tenah Damai” hingga saat ini masih jauh dari kenyataan hidup masyarakat Papua, maka penulis juga hendak berupaya untuk menganalisis dan merefleksikan kembali dengan mengkorelasikannya dengan prinsip hidup di Kota Allah menurut Santo Agustinus. Analisis ini menyoroti pentingnya keadilan dan kebenaran, cinta kasih dan rekonsiliasi serta pemulihan dan perdamaian di dalam Allah sebagai landasan untuk membangun budaya damai yang bertolak dari pemikiran Santo Agustinus. Perlu digaris bawahi di sini, bahwa pemikiran Santo Agustinus tidak memberikan suatu wacana baru yang bertentangan dengan sepuluh asas yang telah dirumuskan sebagai karangka untuk membangun budaya damai di Papua, namun justru pemikiran ini melengkapi sepuluh asas tersebut. Pemikiran Santo Agustinus yang diangkat di sini, sebagai suatu analisis kritis yang mana penulis mencoba untuk memposisikan Santo Agustinus dalam ruang yang sama untuk membangun budaya damai di Papua.

Konsep “Papua Tanah Damai” yang dimaksudkan penulis sebagaimana di bicarakan oleh Santo Agustinus tentang Kota Allah adalah yang penuh dengan kebaikan karena ia diciptakan di atas landasan kasih dan kebaikan Allah. Kasih dan kebaikan itulah yang menghadirkan ketertiban dan keadilan abadi di dalam wilayah “Papua Tanah Damai”. Hanya dengan kasih kepada Allah sebagai yang Mahabenar (kebenaran mutlak) setiap orang dapat menyangkal dirinya dengan melepaskan segala kepentingan politik dan ideologi untuk menciptakan “Papua Tanah Damai”.

Manusia harus sadar akan kodratnya bahwa pikiran bijaknya tidak dapat membantunya untuk mencapai perdamaian yang abadi. Akal manusia adalah yang keliru dan kacau, karena keinginan cinta palsu akan kebaikan yang dicari demi dirinya sendiri. Akal manusia hanya bisa terarah pada apa yang baik jika akal itu berpartisipasi di dalam logos ilahi yang ditawarkan Santo Agustinus yakni Kristus. Orang tidak dapat bersatu dalam satu cinta yang sama jika tidak terdapat kemurahan hati Kristus yang sempurna di dalam hatinya. Maka, siapapun yang menjadikan konsep “Papua Tanah Damai” sebagai proyek politik demi kepentingan masing-masing adalah tidak dibenarkan. Karena bertentangan dengan kehendak Allah, saksi satu-satunya hati nurani, yang menjadi pusat dari keadilan dan kedamaian abadi.

Konsep “Papua Tanah Damai” sebagaimana bertolak dari pandangan Santo Agustinus dimaksudkan penulis berarti wilayah di mana hidup komunitas orang-orang yang mengutamakan perdamaian (peace), keadilan (justice), sukacita (joy), kesejahteraan bersama (commonwealth) dan kebaikan bersama (bonum commune). Konsep “Papua Tanah Damai” juga berarti hidup saling menghormati bersatu dalam perbedaan (unity in diversity), solidaritas tanpa batas dengan siapa saja, memandang yang lain sebagai sesama yang setara, segambar dengan Allah (imago Dei). Semua orang menjadi bagian dari yang lain (alter ego). Prinsipnya, “Papua Tanah Damai” adalah satu-kesatuan yang integral dari semua manusia sebagai ciptaan Allah yang setara dan sama. Dengan demikian, “Papua Tanah Damai” adalah lebih mengarah kepada prinsip-prinsip hidup yang universal yakni keadilan, cinta kasih, kebebasan, kesetiaan, pemulihan akan Allah, rekonsiliasi dan perdamaian yang harus diamalkan.

Karena itu, “Papua Tanah Damai” bukan soal tempat yang oleh Indonesia dijadikan sebagai suatu wilayah dari NKRI sehingga untuk menghadirkan rasa damai harus bergantung pada kebijakan di pusat. Bukan juga soal tempat yang di diami oleh komunitas asli Papua sehingga untuk menghadirkan rasa damai harus terpisah dari Indonesia dan membentuk negara independent. Konsep “Papua Tanah Damai” sebagaimana Kota Allah oleh Santo Agustinus adalah soal prinsip-prinsip hidup atau cara hidup yang harus diamalkan. Oleh karena itu, konsep “Papua Tanah Damai” bukan tujuan yang harus di capai melainkan prinsip-prinsip hidup yang harus diamalkan. Dalam konteks Perdamaian di Papua 10 unsur yang menjamin adanya rasa damai bukanlah tujuan yang harus di capai melainkan prinsi-prinsip yang harus dihidupi. Karena itu, 10 unsur tersebut adalah sarana bagi kita untuk menciptakan perdamaian sejati di Papua.

Konsep “Papua Tanah Damai” hanya terpenuhi dengan mengenakan prinsip-prinsip kota Allah dengan meninggalkan prinsip-prinsip hidup kota manusia yakni; sikap mementingkan diri sendiri, kolektifisme, powerisme, melihat sesama manusia sebagai musuh, lawan, subjek kepentingan diri. Merebut segala kepentingan diri atau kelompok dengan cara kekerasan, perang, terror, intimidasi bahkan pembunuhan. Jika seseorang yang berjuang untuk “Papua Tanah Damai” ia mestinya bertanya lebih dahulu apa yang ia cintai. Jika seseorang mencintai Tuhan maka segala bentuk cara yang tidak tepat dan tidak benar untuk menciptakan “Papua Tanah Damai” semestinya ditolak. Apabila seseorang mencintai dirinya sendiri maka sudah seharunya dia tidak berbicara tentang “Papua Tanah Damai” dalam arti yang sedalam-dalamnya tetapi hanya pada dirinya sendiri.

Dengan demikian, Konsep “Papua Tanah Damai” adalah agen utama untuk menjamin “ketertiban yang tenang” yang diperlukan bagi orang-orang dalam menciptakan perdamaian di Tanah Papua. Ketenangan ini berarti tiadanya kekacauan; ia adalah harmoni yang berasal dari penataan yang benar terhadap segala sesuatu pada tempat yang semestinya (Schmandt, 2021: 157-158). Konsep “Papua Tanah Damai” bukan tujuan dalam dirinya tetapi sarana bagi kita untuk berpartisipasi di dalam kebaikan universal, yakni Allah. Jika kita mengikuti gagasan Santo Agustinus, maka kita dapat mengakui bahwa konsep “Papua Tanah Damai” sebagai kebaikan positif dalam wilayah duniawi. Konsep “Papua Tanah Damai” adalah dirinya sendiri, dalam kebaikannya sendiri, lebih baik dari pada semua kebaikan manusia lainnya. Kebaikan semacam ini, meskipun bukan tujuan dalam dirinya atau kebaikan tertinggi dalam arti mutlak, masih merupakan kebaikan dunia tertinggi karena ia adalah sarana terpenting untuk mencapai perdamaian abadi yang di dambakan oleh manusia.

Kesimpulan
Konsep “Papua Tanah Damai” dalam bingkai Kota Allah sebagaimana yang diuraikan di atas tidak merujuk pada satuan politik masyarakat atau wilayah tempat orang-orang tinggal. Konsep “Papua Tanah Damai” bukan dalam konsep nasionalis Indonesia sebagai satu bagian wilayah Otonomi Khsus yang masuk dalam NKRI, sehingga harus memiliki ketergantungan pada pemerintah dengan gula-gula OTSUS Papua, atau dalam konsep nasionalis Papua merdeka dan membentuk negeri independent yang terlepas dari Indonesia. Konsep “Papua Tanah Damai”, sebagaimana Santo Agustinus jelaskan, yang dalam konteks Papua meliputi 10 asas tidak lain adalah prinsip-prinsip hidup yang harus di amalkan untuk mewujudkan “Papua Tanah damai”. Perdamaian di Papua, menurut pandangan Santo Agustinus, bisa dicapai dengan menegakkan Civitas Dei di tengah masyarakat, di mana setiap individu hidup dalam kasih kepada Allah, meresapi keadilan, dan mengupayakan kebahagiaan bersama, selaras dengan kehendak Tuhan.

Daftar Pustaka

Bahasa Indonesia
Alua, Agus. 2002. Dialog Nasional Papua dan Indonesia 26 Februari 1999. Sekretariat
Presidium Dewan Papua dan Biro Penelitian STFT Fajar Timur: Jayapura.
—————. 2000. Mubes Papua 2000. Sketariat Presidium Dewan Papua dan Biro Penelitian
STFT Fajar Timur. Jayapura
Jaringan Damai Papua. 2014. Indikator Papua Tanah Damai: Versi Masyarakat Papua. Jayapura. Sekretriat Jaringan Damai Papua.
Mgr. Diepen van, Peetrus, OSA. 2000. Agustinus Tahanan Tuhan. Kanisius: Yogyakarta.
Rapar. 1995. Filsafat Politik Agustinus; Seri Filsafat Politik No. 3. PT RajaGrafindo Persada:
Jakarta.
Sandur, Simplesius, CSE. 2019. Filsafat Politik dan Hukum Thomas Aquinas. Kanisius:
Yogyakarta.
Schmandt, J. Henry. 2021. Filsafat Politik; Kajian Historis dari zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Tebay, Neles. 2009. Dialog Jakarta-Papua; Sebuah Perspektif Papua. Jayapura. SKP
Jayapura.
Tim SKP Jayapura. 2006. Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi; Dasar Menangani Konflik di Papua. Ed. Refisi. Jayapura. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura.

Bahasa Asing
Agustinus. 1990. The City of God. (trans. Gerald Bonner, Edmund Hill, dkk. New City Press:
Hyde Park, New York.
Barow, R. H. 1950. Intruductions to St. Agustine; The City of God. Faber: London.
Cambridge Texts in the History of Political Thought. 1998. Augustine; The City OF God
against the Pagans. Edited by. R. W. Dyson. Library of Congress Cataloguing in Publication data.
Gilson, E. 1931. Introduction to study of St. Thomas”. Paris.