Realita-Sebuah Cerita Pendek

42
gambar ilustrasi ini sumbernya dari, Creative Commons licenses

Perempuan itu tiada hari tanpa mengeluh. Ia mengeluh tentang piring-piring yang berserakan di dapur, mengeluh tantang pakaian yang tidak disimpan pada tempatnya dan terutama ia mengeluh tentang suaminya yang dicap sebagai lelaki yang tidak punya semangat juang. Tatkala ia bangun pagi ia akan berteriak membangunkan seisi rumah. Mulutnya komat-kamit tiada hentinya hingga hanya suaranyalah yang kerap terdengar oleh tetangga sebelahan rumahnya. Seolah-olah tiada manusia lain lagi yang mendiami rumah perempuan itu. Suaminya memang tak banyak bicara, ia membiarkan istrinya membanjiri seluruh rumah mereka dengan kata-kata setiap hari, minggu bulan dan tahun. Suaminya berpikir bahwa istrinya itu produk kelam masa lalu yang dipantulkan kembali dalam rumah tangga mereka. Saking pendiamnya suami perempuan itu saban hari hanya pasrah menerima kenyataan, anak-anak mereka apalagi tak punya hak untuk membantah.  Aneh juga seorang lelaki yang notabenenya sebagai kepala keluarga kok jatuh tersungkur di hadapan istrinya. Begitulah takdir telah membawa lelaki itu kepada sang mempelai perempuan untuk hidup dalam keabadian bersama dalam untung dan malang selalu bersatu.  Lelaki itu tak sadarkan diri kalau ia telah dinahkodai oleh istrinya. Ia hanya merasakan perempuan itu adalah bagian dari tubuhnya yang lain. Demikianlah ia membiarkan istrinya berkuasa mengatur bahtera rumah tangga mereka.
***
“Isabel seharusnya bersyukur mendapatkan suami yang baik seperti itu, tidakkah ia mendengar banyak perempuan di dunia ini yang malang, mendapatkan suami yang memperlakukan istri mereka layaknya seperti babu.” Begitu kata tetangga sebelahan rumah Isabel.
Perempuan itu tak peduli akan desas- desus tentang dirinya yang keras kepala. Bahkan ia sempat membuat pernyataan kalau tetangga sebelahan rumahnya keranjingan mencampuri urusan rumah tangga orang. Ia mengekang tiga anaknya untuk tidak boleh bermain-main ke rumah tetangganya. Tetangga sebelah menyebarkan pengaruh negatif jadi tak ada ruang bagi mereka untuk menjalin relasi. Pikirnya. Kecurigaan Isabel menciptakan sebuah jurang pemisah antara tetangga sekitar dengan keluarganya. Suaminya tak kuasa mengontrol perilaku Isabel yang menunjukkan gambaran sikap manusia anti sosial. Suaminya tak berkutik karena ia tinggal di atas tanah warisan orangtua Isabel. Itulah yang menjadi alasan lelaki itu lebih memilih untuk mengalah di hadapan istrinya. Sehingga istrinya leluasa menguasai kehidupan bahtera rumah tangga mereka.
Rumah Isabel dihiasi dengan dua pohon mangga yang tumbuh persis di halaman. Ia kerap merasa terganggu lantaran dedaunan berserakan di segala tempat. Ia bahkan mengeluh tentang pohon mangga agar sebaiknya pohan itu ditebang saja karena merusak pemandangan. Pohon mangga itu menyebarkan daun kemana-mana bahkan sampai menyelinap masuk ke dalam kamar rumah mereka. Hati siapa yang tidak panas menjalani hidup bersama perempuan semacam itu. Suaminya yang sabar pun tak bisa membendung perilaku Isabel yang sangat diktator. Suaminya berubah menjadi panas hati, ia mengambil kampak menebang kedua pohon mangga itu. Begitulah ia meluapkan rasa gerahnya kepada Isabel. Perempuan itu mengulum senyum memandang suaminya telah berhasil menumbangkan pohon mangga penyebar daun di seputaran rumah mereka. Isabel tidak tahu kalau suaminya itu sedang marah karena aura wajah suaminya tidak menampakkan tanda-tanda itu.
“Sudah ka bapa?”   Tanya Isabel
“Sudah.” Jawab lelaki itu
“Lihat sudah bersihkan?”  Lanjut Isabel
“Betul.” Jawab lelaki itu ketus, sembari menerobos masuk ke dalam rumah.
Hawa tubuh suaminya panas setelah membuncahkan tenaga dalam amarah yang  tersembunyi dan mencuat keluar dengan menumbangkan pohon mangga seturut permintaan istrinya. Keringat berleleran membasahi sekujur wajahnya. Lalu ia mengambil poci yang berisi air putih, menuangkannya ke dalam muk, dan ia menyesapnya sampai tandas. Dengan demikian hatinya yang tadi panas telah menjadi dingin oleh semuk air putih.  Sepertinya ia mulai jengah dengan tingkah laku istrinya.  Meski demikian ia sangat mencintai istrinya. Itu yang tidak bisa diketahui oleh Isabel. Isabel merasa paling banyak berkurban dalam rumah tangganya. Pangkatnya juga sudah jauh lebih tinggi dari suaminya. Suaminya hanya seorang tukang kayu sedangkan Isabel adalah kepala sekolah. Isabel tidak menyadari andaikata ia tidak menikah dengan lelaki itu barangkali nasibnya tidak sebaik yang ia alami. Dengan diam-diam Isabel merancang sebuah keputusan untuk menceraikan suaminya. Untuk tujuan itulah ia selalu menekan suaminya. Ia kerap menjulurkan kata-kata yang tidak sedap ke arah telinga suaminya. Ia mengamuk karena sudah sebulan suaminya belum juga mendapat pekerjaan. Pekerjaannya hanya mencuci pakaian, masak atau hanya membersihkan halaman rumah. Bagi Isabel itu bukan pekerjaan lelaki. Karena beratnya tekanan baik dari Istrinya maupun dari pihak keluarga besar Isabel, lelaki itu akhirnya jatuh sakit.  Tetapi Isabel tidak peduli ia mereka-reka itu hanya strategi suaminya untuk diperhatikan. Ia membiarkan suaminya mengobati dirinya sendiri. Bahkan ia mengutuk agar suaminya secepat mungkin dijemput maut.
“Kalau suamiku meninggal biarlah jenazahnya dikirim kembali ke Kampung asalnya saja.” Gumam Isabel dalam hati.  
Suatu ketika Isabel keluar rumah dengan alasan kantor. Motor matic menggerung meninggalkan rumah. Tujuannya adalah kota Sorong. Ia melaju dengan kecepatan tinggi membelah angin hingga sampai juga di lampu merah ia berhenti. Siang lengang tak seramai hari-hari sebelumnya entah mengapa hari itu agak sepi. Dari kejauhan di seberang lampu merah ia melihat sosok seorang wanita, mendekap bayi di dada, menyembul keluar dari angkutan kota disusul seorang lelaki berbadan tegap dan berkulit hitam manis. Lelaki itu sontak menampar dan menendang istrinya dengan beringas. Perempuan itu sama sekali tidak berkutik entah alasan apa sehingga suami istri itu bertengkar di jalanan. Setelah melampiaskan amarahnya lelaki itu berjalan membelakangi si perempuan tanpa mempedulikan isterinya yang menjerit kesakitan. Kejadian itu berlalu begitu saja karena tak seorangpun yang mencegat lelaki itu untuk tidak bertindak kasar terhadap isterinya. Baru kali itu Isabel menyaksikan sebuah tindakan yang sangat tak bermoral. Isabel merasa terganggu dengan apa yang ia saksikan. Hatinya tiba-tiba dikerubuti perasaan sedih.
“Suamiku belum pernah memperlakukan saya sejahat ini.” Bisikan hatinya memelas.
Sepanjang perjalanan ia dihantui dengan peristiwa itu. Ia menaruh iba kepada sang perempuan yang menjadi korban dari keganasan suaminya. Pikiran Isabel tak keruan ia masuk keluar toko tanpa tujuan. Realitas telah menyadarkan Isabel bahwa ternyata ada perempuan  yang mengalami nasib tidak seberuntung dirinya. Dalam kekalutan jiwa ia teringat akan suaminya yang terbaring sakit di rumah. Air mata Isabel akhirnya jatuh juga mengenang perlakuan kasar terhadap suaminya sendiri sepanjang hidup yang telah mereka lewati. Ia kembali meninggalkan geriap kota Sorong dan membeli kado terindah untuk suaminya yang merayakan ulang tahun sehari yang telah berlalu.
***
“Bapa bangun.” Ia membangunkan suaminya. Suaminya bangun dengan wajah pucat namun ia heran atas perlakuan Isabel yang mendadak berbeda dari hari-hari sebelumnya.
“Bapa makan dulu dan minum obat. Saya juga tadi sempat beli baju dan sepatu baru buat bapa. Kemarinkan bapa ulang tahun to.” Kata Isabel dengan melemparkan sesungging senyuman ke arah suaminya.
Suaminya terharu dan memeluk Isabel lekat-lekat dan berbisik kepada Istrinya.
“Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Injil Mateus Pasal 19:6). (Mateus Syukur)

Penulis: Mateus Syukur, suka menulis dan music. Seruput kopinya dulu yuk…