Paus Fransiskus Menyampaikan Katekese di Gereja Katedral Jakarta

57
Paus memberi katekese di hadapan Kardinal, Para Uskup, Para Imam, Biarawan/i, Seminaris dan Katekes di Gereja Katedral Jakarta (4/9/2024)

Paus Fransiskus dalam rangkaian kunjungan Apostoliknya bertemu dengan Kardinal, para Uskup, Imam, Biarawan-biarawati, seminaris dan Katekis di Gereja Katedral Jakarta pada 4 September 2024. Dalam kesempatan tersebut Paus Fransiskus memberikan katekese dalam bahasa Italia dan diterjemahkan oleh Pastor Markus Solo, SVD. Dalam Katekesenya, Paus menegaskan tentang tema kunjungannya yakni Iman, persaudaraan dan bela rasa.

Mengawali katekesenya, Paus menyapa semua yang hadir, Kardinal, Uskup, imam, biarawan-biarawati, katekis dan seminaris sebagai saudara. Paus menegaskan bahwa kita semua adalah saudara.

Berkaitan dengan tema kunjungan yang memiliki tiga kata kunci yakni iman, persaudaraan dan bela rasa, Paus menegaskan bahwa ketiga keutamaan ini mengungkapkan perjalanan kita sebagai sebuah Gereja dan karakter dari sebuah bangsa yang secara etnik dan budaya berbeda. Pada saat yang sama, bangsa kita dicirikan oleh sebuah pergumulan yang dalam untuk mewujudkan persatuan dan kehidupan bersama yang bersatu dan damai seperti yang dicerminkan oleh prinsip-prinsip traditional Pancasila. 

Pada point pertama dari katekesenya, Paus menggarisbawahi tentang iman (Fede). Paus menegaskan bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar dengan banyak kekayaan alam terutama marga dan satwa, sumber daya energi, bahan baku dan seterusnya. Kalau dilihat secara sepintas, kekayaan yang begitu besar ini dapat menjadi alasan untuk menjadi sombong atau angkuh. Tetapi kalau dilihat dari pikiran dan hati yang terbuka, kekayaan ini sebaliknya dapat menjadi pengingat akan Allah, akan kehadiran-Nya di alam semesta dan dalam kehidupan kita seperti diajarkan Kitab Suci. Sesungguhnya Tuhanlah yang memberi semua itu kepada kita. 

Tidak ada sejengkal pun wilayah Indonesia yang menakjubkan ini dan tidak ada suatu momen pun dalam jutaan penduduknya yang bukan merupakan anugerah dari Allah. Sebuah tanda akan kasih-Nya yang cuma-cuma dan abadi sebagai Bapa. Melihat semuanya, yang diberikan kepada kita dengan mata anak-anak yang ugahari, memampukan kita untuk percaya dan mengenal diri kita sendiri sebagai insan kecil yang dikasihi dan memelihara rasa syukur dan bertanggung jawab. 

Dalam katekesenya, Paus menyinggung apa yang disampakaikan dalam kesaksian oleh Agnes. Agnes mengundang kita untuk menjalin relasi dengan alam ciptaaan dan dengan saudara-saudari, khususnya dengan mereka yang paling membutuhkan. Melalui gaya hidup pribadi dan komunal yang ditandai dengan sikap menghormati keadaban dan rasa kemanusiaan bersamaan dengan ketentraman dan kasih Fransiskan. 

Point kedua dari katekese Paus Fransiskus adalah persaudaraan (Fraternita). Setelah iman, kata kedua dari moto kunjungan ini adalah persaudaraan. Seorang penyair abad 20 menggunakan sebuah ungkapan yang sangat indah untuk menggambarkan sikap ini. Seorang penyair menulis bahwa menjadi saudara dan saudari artinya mencintai satu sama lain dengan mengakui bahwa masing-masing pribadi sama berbedanya seperti dua tetes air. 

Ungkapan tentang dua tetes ini, melukiskan tentang persaudaraan yang sempurna. Tidak ada dua tetes air yang sama. Tidak ada pula dua saudara-saudari, bahkan saudara kembar pun yang identik. Menghidupi persaudaraan, karenanya menyambut satu dengan yang lain, mengakui satu sama lain sederajat dalam perbedaan. Nilai inipun akrab dengan Gereja Indonesia dan diperlihatkan melalui keterbukaan yang dengannya kalian semua menunjukkan beragam kenyataan dari dalam dan luar yang dijumpai dalam tingkatan budaya, etnik, sosial dan agama. 

Secara khusus, Gereja setempat menghargai sumbangsih semua orang dan dengan senang hati menawarkan bantuan dalam setiap situasi. Ini penting karena mewartakan Injil bukan berarti memaksakan iman kita untuk mempertentangkannya dengan iman orang lain. Dilarang untuk melakukan proselitisme. Selalu dengan penghargaan yang besar dan kasih sayang persaudaraan untuk semua orang. Saya terkesan dengan satu sikap dengan saling bergandengan tangan, sebagaimana tadi diungkapkan oleh Romo Maksi. Dan satu hal, apa yang menjadi pemecah belah adalah kerja setan. Maka harus hati-hati.

Kita tadi sudah diingatkan oleh Suster Rina, tentang pentingnya untuk mencoba menjangkau setiap orang. Mengenai hal ini, diharapkan bahwa tidak hanya teks-teks Sada Allah tetapi juga ajaran-ajaran Gereja diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar dijangkau oleh sebanyak mungkin orang. Nicolas juga menunjukkan perlunya menjangkau setiap orang seraya melukiskan misi seorang katekis dengan perumpamaan jembatan yang menyatukan. 

Hal itu menyentuh Paus dan berpikir tentang visi indah di dalam negara kepulauan yang luas, yang terdiri dari ribuan jembatan hati yang menyatukan semua pula. Dan bahkan lagi ada jutaan jembatan yang menyatukan semua orang yang hidup di sana. Perumpamaan indah lainnya tentang persaudaraan adalah sebuah permadani besar dari benang cinta yang melintasi lautan, mengatasi rintangan dan merangkul semua perbedaan dan membuat semua orang menjadi sehati dan sejiwa. Itulah jembatan kasih.

Point ketiga adalah bela rasa (Compasione). Bela rasa sangat terkait erat dengan persaudaraan. Kita tahu bahwa bela rasa tidak dibatasi pada memberi sedekah kepada saudara-saudari yang membutuhkan, sambil memandang rendah mereka dari menara rasa aman akan keberhasilan kita. Sebaliknya, bela rasa berarti mendekatkan kita, satu dengan yang lain, menghapuskan segala sesuatu yang menghalangi kita untuk turun menyentuh  mereka yang ada di bawah, mengangkat mereka dan memberikan mereka harapan (Fratelli Tuti 70). Terlebih, bela rasa merangkul mimpi dan hasrat mereka akan kebebasan dan keadilan, memelihara mereka sambil mendukung orang lain untuk memperluas jaring dan batas-batasan untuk menciptakan akan kekuatan kasih yang luas dan besar.

Adalah penting untuk menyentuh orang-orang kecil atau kaum miskin. Ketika saya mendengarkan pengakuan, biasanya saya bertanya kepada orang, apakah dia pernah memberikan sedekah kepada orang miskin. Pertanyaan kedua, apakah dia juga menyentuh tangan orang yang meminta. Beliau ingin mengatakan bahwa kita tidak hanya memberi tetapi bersentuhan langsung kepada orang-orang miskin dan kecil.

Ada pula orang yang takut akan bela rasa karena mereka menganggapnya sebuah kelemahan. Sebaliknya mereka menjunjung tinggi seakan-akan sebuah keutamaan kelicikan mereka yang melayani untuk kepentingan diri sendiri dengan menjaga jarak dari semua orang dan tidak membiarkan diri tersentuh oleh apapun dan oleh siapapun. Mereka berpikir bahwa mereka lebih cerdas dan bebas untuk mencapai tujuan mereka sendiri. Ini adalah cara yang salah dalam melihat realitas. 

Jangan melupakan ini, bahwa setan selalu ada dalam saku kita. 

Yang membuat dunia bergerak maju bukanlah perhitungan pribadi yang umumnya berujung pada kerusakan ciptaan. Tetapi mempersembahkan kasih kepada sesama. Bela rasa tidak menggelapkan sisi kehidupan yang sejati, sebaliknya bela rasa membuat mampu segala sesuatu lebih baik dalam terang kasih. Kita melihat realitas dengan baik hanya dengan mata hati. 

Berkaitan dengan itu, Paus mengajak melihat arsitektur pintu masuk utama Katedral dengan titik berat pada corak Marianya. Hal tersebut merangkum dengan baik tentang apa yang dikatakan tadi. Di pusat lengkungan yang menuju ke atas  terdapat pilar yang diatasnya ada patung perawan Maria. 

Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa Bunda Allah di atas segala-galanya adalah teladan iman. Tetapi dia juga secara simbolis menopang seluruh bangunan Gereja dengan kesanggupannya terhadap rencana Allah. Tubuhnya yang rapuh, yang diletakkan di atas pilar, di atas bahu wadas yang adalah Kristus sendiri, seolah memikul beban bangunan diatasnya. Seolah-olah mau mengatakan pada akhirnya bahwa karya manusia dan kecerdasan manusia tidak dapat mendukung dirinya sendiri. 

Oleh karena itu, Maria dalam hal ini tampil dengan citra persaudaraan, citra yang menyambung, di tengah pintu utama kepada mereka semua yang ingin masuk. Akhirnya, Bunda Maria juga adalah ikon bela rasa yang mengawasi dan melindungi umat Allah yang dalam suka dan duka mereka bekerja dan berharap berkumpul di rumah Bapa. 

Diakhir katekesenya Paus menegaskan dengan mengulangi apa yang disampaikan oleh Santo Yohanes Paulu II ketika memberi sambutan kepada para Uskup, Klerus dan biarawan-biarawati selama kunjungannya di Indonesia beberapa puluh tahun yang lalu. Mengutip ayat dari Kitab mazmur 97:1, “Biarlah banyak pulau bersukacita”, Beliau mengundang para pendengarnya untuk melaksanakannya dengan menjadi saksi sukacita kebangkitan dan melalui pemberian diri demikian, bahkan pulau-pulau yang jauh pun dapat bersukacita karena mendengar Injil yang mana Anda semua adalah pewarta, para guru dan saksi-saksi yang otentik. 

Paus juga ingin memperbaharui ajakan ini dan mendorong semuanya untuk meneruskan misi menjadi kuat dalam iman, terbuka kepada semua dalam persaudaraan dan dekat dengan satu sama lain dengan bela rasa. Paus memberkati semua dan berterima kasih kepada atas semua hal baik yang dilakukan pada hari ini.

Diakhir katekese mengajak semua untuk mendoakan dia dalam karya kegembalaannya dengan senang hati.  

Penulis: Fransiskus Katino, Pr