Manusia: Pribadi Dialogal yang Menyejarah

18
Rm. Daniel W. Gobai, Pr
Rm. Daniel W. Gobai, Pr
Manusia: Pribadi Dialogal yang Menyejarah

Rm. Daniel W. Gobai, Pr
Imam Keuskupan Manokwari-Sorong 

Live is both, not ambiguous (hidup itu berdua, bukan mendua, persaudaraan itu bersaudara dengan siapapun tanpa tebang pilih)

       Diskursus mengenai manusia sebagai pribadi dialogal lama dikenal. Bahkan dalam peradaban kuno Yunani, tokoh seperti Aristoteles memakai istilah Zoon Politicon (makhluk social/animal social). Terminnologi ini sedikit banyak merujuk kuat, kendati tidak secara langsung tetapi utamanya kental bernuansa dialogal. Manusia bukan pribadi eksklusif, menyendiri, terisolir, dan terbatas. Namun pada dirinya, makhluk sosial bernama “manusia” pada hakikatnya adalah eksistensi yang terbuka, tak terbatas, melampaui, dan menyejarah. Tak terbatas di sini tidak bisa dipahami sebagai pribadi immortal, untouchable, invissible, unlimitable. Manusia tetap termasuk dalam kategori fana, terjangkau, kasat mata juga terbatas. Lantas apa itu manusia sebagai ciptaan yang tak terbatas. Bagi penulis, manusia memiliki naluri gregariousness, yakni suatu naluri yang memampukan kita (manusia) untuk selalu terpanggil untuk hidup “bersama” orang lain. Manusia bukan hidup untuk dirinya sendiri. Selalu terbuka chance (peluang/kesempatan) untuk bergaul tanpa mesti terbatas pada ruang dan waktu. Karena itu, manusia pada dasarnya tidak terpenjara untuk memupuk kerinduan, persahabatan, komunikasi, dialog, dengan siapapun juga dengan medote atau pendekatan apapun.

      Manusia unik tetapi tidak seragam, atau seragam tetapi khas. Keunikan dan kekhasan dengan demikian menjadi dua faktor yang membuat manusia selalu termovitasi untuk bersama, bergaul, akrab dan bersekutu. Manusia sebetulnya bukanlah pribadi introvert, melainkan ekstrovert. Tidak terkungkung juga tidak sekedar dependen melainkan independen, bukan statis, lemah, terbatasi, melainkan keterciptaan yang dinamis-sosialis dan menyejarah. Predikat dinamis yang menyejarah tidak sekedar penyematan sembarang kepada setiap insan yang kita sebut “manusia” tadi. Penyebutan itu menjadi saking penting karena manusia melalui/melewati sejarahnya sendiri. Hidupnya diwarnai rentetan dinamika, pasang surut pengalamannya amat variatif, berbeda tetapi sekaligus unik. Kemudian manusia sungguh terpanggil, terdorong, termotivasi untuk bersama yang lain. “Yang lain” bisa dibagi dalam relasi empat rangkap. Manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam ciptaan dan manusia dengan Tuhan penciptanya. Itulah mengapa, manusia sebagai zoon politicon, selalu terarik, terpaut, terpikat, terdorong, terikat pada dimensi lain di luar dirinya. Termasuk terlibat atau terpesona kepada keempat unsur yang baru disebutkan di atas. Dengan demikian, benarlah adagium terkenal yang menegaskan bahwa no man is an island (Tidak seorang pun manusia, hidup ibarat sebuah pulau). Kita saling terkait atau saling terhubung. Dengan begitu, ada relasi berdimensi relasi mutualistik. Manusia selalu mencari dan akan terus mencari yang namanya prinsip sama-sama beruntung. Tak satupun menaruh ekspektasi pada yang bersifat merugikan.
Tolak ukur yang tepat sebagai neraca untuk mengakar perihal mengapa manusia disebut pribadi dialogal sejatinya amat sangat ditentukan oleh hasrat berkoloni atau bersatu. Toh manusia sekalipun disebut subyek yang berbeda, unik dan khas serta otentik, akan tetapi tetap akan mencari aneka kesamaan-kesamaan. Misalnya kita menyebut beberapa di antaranya di sini yaitu hobi yang sama, bakat minat yang sama, profesi yang sama, bidang kerja yang sama, etnis yang sama, budaya yang sama, bahasa yang sama, pola pikir yang sama, tingkah laku yang sama, kegemaran music yang sama, kegemaran olahraga yang sama dan seterusnya. Lalu apakah manusia bisa disimpulkan sebagai subjek yang tugas pokoknya mencari pribadi lain yang berlatar belakang yang sama? Jawabannya tentu tidak. Sekali lagi, tentu tidak. Manusia adalah eksistensi yang bukan saja mencari rekognisi/pengakuan. Juga bukan pribadi yang mencari reputasi baik lalu selesai (final). Manusia pribadi menyejarah, terus berproses sebab manusia adalah ketidaksempurnaan yang sedang menuju kesempurnaan. Manusia ciptaan tidak final, tetapi ciptaan yang berlanjut. Tidak selesai tetapi berkelanjutan dan karena itu tidak bertepi. Sebab itu, ia tidak terbatas. Selalu ada dorongan dalam diri untuk terkoneksi ke semua lini. Ingat naluri tadi, selalu muncul hasrat untuk bersatu dengan rekan sesama ciptaan lain, yang tidak lagi terbatas kepada kesamaan-kesamaan tertentu di atas. Melainkan melampaui unsur-unsur kesamaan tadi. Dalam hidupnya, manusia selalu mengkomunikasikan, mendistribusikan, mendemontrasikan, mengaktualisasikan, mengontekstualisasikan, mengekspresikan segala ke-aku-annya di hadapan sesama dan Tuhan. Juga dalam relasi intrapersonal (relasi dengan dirinya sendiri) dan dalam kesatuan dengan alam sekitar.

      Kecuali itu, sejatinya manusia adalah tercipta yang terluka. Mencari balutan, tetapi tidak kunjung dapat. Lalu, lantas apa yang dicari? Apakah hidupnya diperuntukkan demi suatu “pencarian sia-sia”, jawabannya tidak. Manusia bukan tercipta yang menghidupi suatu kehidupan yang sia-sia. Hidup manusia penuh arti. Manusia selalu bertendensi kepada kebaikan bersama. Manusia ada demi mendatangkan anugerah dan berkat bagi dirinya dan bagi sesamanya. Manusia yang tidak sempurna sengaja ada (diadakan) supaya dalam hidupnya yang menyejarah saling menyempurnakan. Sebutlah Si A ada bagi B, dan si B ada bagi si C dan si C tentu ada bukan saja bagi si A melainkan perlu ada pula bagi si C demikian seterusnya. Dengan demikian, makna perjumpaan antara manusia selalu bernuansa simbiosis mutualisme, yaitu suatu asas yang perlu menjadi dasar pemikiran manusia. Di mana semua hal perlu diupayakan dengan baik, supaya sama-sama beruntung, tanpa merugikan pihak lain. Relasi yang baik, adalah relasi yang saling menopang, mendukung, memelihara. Manusia bukan saja ada bagi dirinya sendiri, tetapi juga ada bagi sesama, begitu pula sebagaimana ia ada bagi alam ciptaan dan juga ada bagi Allah penciptanya. Untuk itulah, rasio (akal budi dan pengertian)  kita, perlu diperuntukkan secara tepat agar berpikir untuk kehidupan, kebersamaan, persaudaraan, keakraban, persahabatan, dan bukan sebaliknya yang bersifat destruktif misalnya permusuhan, pemusnahan yang saling mengancam, membunuh dan saling meniadakan satu dengan lainnya. Live is both, not ambiguous (hidup itu berdua, bukan mendua, persaudaraan itu bersaudara dengan siapapun tanpa tebang pilih).*