Manusia dan Ciptaan Lainnya Adalah Satu Keluarga

102
Penulis: Pater Renold Alexander Laike

KOMSOSKMS.ORG-Manusia sebagai citra Allah memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara setiap makhluk yang lain dan bumi itu sendiri. Sementara itu, posisi manusia ini juga mengingatkan bahwa “setiap makhluk memiliki fungsi sendiri dan tidak ada satu pun yang berlebihan” (LS 84). Oleh karena itu, Paus Fransiskus mengungkapkan bahwa manusia seharusnya memahami ciptaan-ciptaan yang lain, merefleksikannya dalam seluruh rencana keselamatan Allah dan berelasi dengan mereka (LS 86). Allah menciptakan segala sesuatu baik adanya, karena itu manusia seharusnya mengakui bahwa makhluk lainnya dan alam semesta itu bernilai bagi-Nya.

Manusia, makhluk lainnya dan alam semesta merupakan ciptaan-ciptaan Allah yang saling terhubung dan bergantung satu sama lain. Paus Fransiskus mengungkapkan bahwa manusia dan semua makhluk alam semesta disatukan di dalam sebuah ikatan yang tidak kelihatan dan membentuk sebuah keluarga universal (LS 89). Dasarnya adalah semuanya merujuk pada satu Pencipta, yaitu Allah. Manusia, makhluk lain dan alam semesta diciptakan oleh Bapa yang sama. Oleh karena itu, model relasi bapa-anak antara Allah dan manusia juga berlaku bagi semua makhluk (Martin Chen, 2019:128). Jika Allah itu sangat memperhatikan manusia dengan kasih sayang-Nya yang tanpa batas, maka Ia pun menunjukkan kasih sayang kebapaan-Nya tersebut kepada makhluk-makhluk lainnya. Setiap makhluk adalah objek kelembutan hati Bapa yang memberinya tempat di dunia, bahkan kehidupan sekilas dari mereka berarti bagi Allah (LS 77).

Jika Allah telah menunjukkan kasih-Nya kepada makhluk-makhluk yang lain, maka tidak ada alasan bagi manusia untuk menolak menjalin persekutuan bersama mereka, selaku saudara-saudari yang memiliki satu Bapa. Manusia diundang oleh Allah untuk mengakui nilai intrinsik dari setiap ciptaan-Nya (LS 69). Oleh karena itu, semua ciptaan yang lain seharusnya dipandang oleh manusia sebagai sesama ciptaan, saudara-saudari, keluarga, yang bersama-sama mengarahkan hidup kepada Allah. Ciptaan-ciptaan yang lain bukan objek belaka yang harus tunduk pada supremasi manusia yang sewenang-wenang. Dengan memandang ciptaan-ciptaan lainnya hanya sebagai objek yang dapat dieksploitasi, manusia bukan hanya merendahkan martabat mereka di hadapan Allah, melainkan juga merusak relasi persekutuan keluarga universal. Relasi yang rusak membawa pengaruh buruk terhadap pihak manapun yang terlibat di dalamnya.

Kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kej. 3) memperlihatkan bahwa relasi yang rusak membawa dampak buruk bagi manusia dan juga ciptaan lainnya. Relasi antara Allah dan manusia menjadi rusak karena manusia jatuh ke dalam dosa. Hal ini tentu saja membawa penderitaan bagi manusia. Penderitaan tersebut juga dirasakan oleh ciptaan yang lain. Tanah dikutuk karena tindakan manusia tersebut (Kej. 3:17). Rusaknya relasi Allah dan manusia berpengaruh pada relasi manusia dan alam semesta. Relasi harmonis serba bahagia terlukis dari pengalaman saat berada di taman Eden. Sebaliknya, sejak kejatuhan manusia, “semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkan bagi manusia dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makanan manusia” (Kej. 3:18). Di sini ada peralihan dari hidup yang sejahtera ke hidup penuh kesengsaraan.

Rusaknya relasi antara manusia dan alam selalu membawa dampak buruk bagi kedua belah pihak tersebut. Misalnya, penggundulan hutan yang dilakukan oleh manusia berdampak buruk bagi alam dan manusia itu sendiri. Pertama, alam mengalami kerugian karena dieksploitasi. Berbagai keanekaragaman hayati menjadi punah. Hewan-hewan terancam kehilangan tempat tinggal. Pemanasan global terjadi karena atmosfer mengandung lebih banyak karbondioksida akibat hilangnya hutan. Kedua, manusia juga menderita karena bencana-bencana alam yang terjadi, seperti banjir dan pencemaran. Kelaparan bisa saja terjadi karena kekurangan sumber makanan. Banyak penyakit baru yang bermunculan, bahkan sampai skala luas. Oleh karena itu, ketika merusak hubungannya dengan alam dan ciptaan lain, manusia sedang menghancurkan diri sendiri.

Sikap paling tepat yang harus diambil oleh manusia adalah menjaga keutuhan relasi persekutuan tersebut. Segenap ciptaan lain dipandang sebagai anugerah dari Allah, sebagai kenyataan yang disinari kasih yang memanggil semuanya ke dalam suatu persekutuan universal (LS 76). Relasi antara saudara-saudari di dalam persekutuan universal tersebut terjalin begitu erat. Karena begitu erat relasi tersebut, Paus Fransiskus membahasakannya demikian: “kita dapat merasakan penggundulan tanah hampir seperti penyakit pada setiap orang, dan punahnya suatu spesies seperti mutilasi yang menyakitkan” (LS 89; EG 215). Di dalam relasi yang begitu erat, karena dipersatukan oleh sang Bapa, terjalin suatu ikatan perasaan empati antara satu sama lain. Penderitaan ciptaan lain dan alam semesta seharusnya juga menjadi luka yang perih dirasakan oleh hati setiap manusia; dan begitupun sebaliknya. Oleh karena itu, sebagai saudara dan saudari keluarga universal, manusia dan ciptaan lainnya harus saling menjaga satu sama lain, sebagaimana hubungan antarsaudara di dalam sebuah keluarga ideal.

Santo Fransiskus dari Asisi menunjukkan teladan yang sangat baik tentang bagaimana cara manusia memandang sesama ciptaan Allah. Beliau mendambakan sebuah persaudaraan yang mencakup semua lapisan manusia, makhluk hidup dan alam semesta. Hal ini tampak dengan jelas ketika ia memanggil ciptaan-ciptaan lain dengan sebutan saudara dan saudari. Ia adalah pribadi yang memiliki kekompakan istimewa dengan makhluk ciptaan lainnya. Santo Fransiskus dari Asisi menjalin relasi yang baik dengan sesama manusia dan makhluk ciptaan lainnya. Relasi tersebut membuat setiap pihak memahami diri dan keberadaannya. Hal yang terpenting adalah relasi tersebut berasal dari Allah yang menyatukan semuanya dan bergerak kembali menuju Allah.