(Pater Renold Alexander Laike)
Penafsiran yang keliru: Manusia adalah Pusat Alam Semesta?
Ada sebuah pandangan lama, yang masih dianut hingga sekarang ini, bahwa manusia adalah pusat dari seluruh alam semesta. Karena menjadi pusat dari alam semesta, manusia pun mendominasi atas semua ciptaan lainnya. Pandangan ini umumnya disebut Antroposentrisme. Pandangan ini mengandaikan kedudukan dan peran moral lingkungan hidup terpusat pada manusia, sehingga disebut juga human-centered ethic (Wilem Chang, 2001:42).
Pembahasan mengenai lingkungan hidup selalu terpusat pada kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di alam semesta. Kedudukan manusia dipandang lebih dominan daripada ciptaan-ciptaan yang lain sehingga manusia semacam diberi privilese khusus untuk memanfaatkan, bahkan memanipulasi mereka, demi kepentingan manusia. Eksploitasi alam secara berlebihan diperbolehkan asal untuk kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, tindakan eksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab dapat saja terjadi.
Lynn White menuduh keterpusatan pada manusia dan dominasinya atas alam dalam tradisi biblis Yahudi-Kristen bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan pengerukan kekayaan alam demi kebutuhan konsumtif manusia modern (Harun, 2019:1-2). Teks-teks Kitab Suci yang dituduh menjadi dasar antroposentrisme adalah Kej. 1:26 dan Kej. 1:28. Kedua teks tersebut merupakan kisah perciptaan manusia menurut tradisi Priester (P). Ada dua hal yang disorot dari kedua teks tersebut.
Pertama, Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya (Kej. 1:26). Manusia diciptakan secitra dengan Allah (imago Dei). Kedua, manusia diberi tugas untuk “berkuasa” (Kej. 1:26), “penuhilah bumi”, “taklukkanlah itu” dan “berkuasalah” (Kej. 1:28) atas seluruh bumi. Keistimewaan manusia tersebut kemudian salah ditafsirkan sebagai tanda bahwa manusia adalah pusat dan penguasa seluruh alam semesta.
Gereja dengan tegas menolak intepretasi yang salah atas kisah Penciptaan yang dituduh mendorong eksploitasi alam secara tidak terkendali. Penolakan tersebut diungkapkan dalam ensiklik Paus Fransiskus, Laudato Si.
“Kita bukan Allah. Bumi sudah ada sebelum kita dan telah diberikan kepada kita. Hal ini memungkinkan kita untuk menanggapi tuduhan tersebut terhadap pemikiran Yahudi-Kristen: dikatakan bahwa cerita Kejadian yang mengundang manusia untuk ‘berkuasa’ atas bumi (Kej. 1:28), telah mendorong eksploitasi alam tanpa kendali dengan menggambarkan manusia sebagai yang menguasai dan merusak. Ini bukan intepretasi yang benar tentang Alkitab, seperti yang dipahami oleh Gereja. Meskipun benar bahwa kadang-kadang kita umat Kristiani telah salah menafsirkan Kitab Suci, saat ini kita harus tegas menolak gagasan bahwa penciptaan kita menurut gambar Allah dan misi untuk menaklukkan bumi, membenarkan dominasi mutlak atas makhluk lainnya. Teks Alkitab harus dibaca dalam konteksnya, dengan hermeneutika yang tepat, dan konteks itu mengundang kita untuk ‘mengusahakan dan memelihara’ taman dunia (lihat Kej. 2:15). Sementara ‘mengusahakan berarti menggarap, membajak atau mengerjakan, ‘memelihara’ berarti melindungi, menjaga, melestarikan, merawat, mengawasi” (LS 67).
Makna Imago Dei
Dianne Bergant mencoba menganalisis metafora biblis Imago Dei dengan perspektif lain, yakni dikaitkan dengan tradisi Israel kuno tentang monarkhi (Dianne Bergent, 2018:34-42). Meskipun narasi penciptaan dihubungkan dengan monarkhi bangsa Israel, ia pada akhirnya merefleksikan gagasan tersebut dalam konteks manusia dan tugasnya sebagai citra Allah. Manusia sebagai citra Allah menyiratkan tanggung jawabnya untuk menjaga dan melindungi alam semesta dan segala isinya.
Menurutnya, narasi Penciptaan Kej. 1 tidak menvalidasi superioritas manusia dan haknya untuk menghancurkan kekayaan alam semesta (Dianne Bergent, 2018:36). Dua kisah penciptaan, baik tradisi P (Kej. 1-2:4a) maupun tradisi Y (Kej. 2:4b-25) lebih dipengaruhi mitos-mitos dari Mesopotamia. Misalnya, kisah penciptaan menurut tradisi P merupakan intepretasi ulang bangsa Israel atas epik Enuma Elish dari Babilonia. Elemen utama dalam Enuma Elish adalah chaos. Menurut Bergant, hal ini merupakan refleksi kosmogonik dari peristiwa alamiah di Mesopotamia (Dianne Bergent, 2018:37). Peristiwa bencana banjir sering terjadi di titik pertemuan sungai Tigris dan Efrat membuat bangsa-bangsa di Mesopotamia memandang air sebagai lambang chaos.
Oleh karena itu, dalam mitos tersebut ada tiga hal utama, yaitu pertempuran kosmik, tindakan penciptaan dan pembangunan tempat perlindungan. Kisah penciptaan menurut tradisi P menekankan hal yang berbeda, yakni tidak menunjukkan pergulatan YHWH dengan kekuatan chaos. Allah bangsa Israel menunjukkan kuasa-Nya, yang melampaui dewa-dewi Mesopotamia, karena menciptakan dari kebaikan dan kebijaksanaan-Nya. Allah bahkan menciptakan manusia seturut dengan citra-Nya. Hal ini sama seperti pembebasan bangsa Israel dari tanah Mesir merupakan tanda bahwa Allah mengalahkan dewa-dewi bangsa Mesir.
Menurut Bergant, metafora imago Dei tidak berarti bahwa manusia itu mengalami deifikasi (Dianne Bergent, 2018:39). Di dunia kuno, imaji dari para dewa merepresentasikan kekuatan dan otoritas dari dewa-dewa tersebut. Oleh karena itu, ketika narasi penciptaan tradisi P mengungkapkan bahwa manusia diciptakan secitra dengan Allah, itu berarti mereka merepresentasikan kekuatan dan otoritas Allah, dan tidak benar-benar memiliki posisi yang sama dengan Allah (Dianne Bergent, 2018:39). Mereka juga harus “beranakcucu dan bertambah banyak” (Kej. 1:28) dalam konteks mengusahakan kelangsungan hidup mereka.
Bergant juga berpendapat bahwa metafora imago Dei merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kisah kejatuhan manusia ke dalam dosa (Kej. 3). Manusia pertama tidak merasa puas dengan hanya menjadi imago Dei, tetapi juga menginginkan sesuatu yang lebih, yakni menjadi sama dengan Allah (Dianne Bergent, 2018:40). Mereka terhasut dengan godaan ular sehingga berujung pada ketidaktaatan terhadap Allah.
Alasan ketidaktaatan mereka adalah hubris, yakni kebanggaan yang berlebihan (keangkuhan) dan pembangkangan terhadap Allah (Dianne Bergent, 2018:40). Bergant menunjukkan bahwa dalam teks Yeh. 28:2, 9, hubris selalu berujung pada akhir yang buruk (Dianne Bergent, 2018:40). Karena hubris, manusia pertama jatuh ke dalam dosa dan raja Tirus mengalami kematian tragis.
Metafora biblis imago Dei, dalam kisah penciptaan tradisi P, bukanlah sebuah tiket yang memberikan hak kepada manusia untuk mengeksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab atau berlaku secara sewenang-wenang terhadap ciptaan-ciptaan yang lainnya. Imago Dei justru mengungkap bahwa manusia seharusnya bertindak sebagaimana Allah bertindak, yakni melindungi dan menjamin kelangsungan hidup ciptaan-ciptaan lainnya, memelihara dan melestarikan alam semesta, bukan sebaliknya mengeksploitasi dan menghancurkannya. Hal penting yang harus diingat oleh manusia adalah “TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya” (Mzm. 24:1) dan seluruh ciptaan bernilai karena Allah melihat “segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” (Kej. 1:31).
Sebagai citra-Nya, Allah memanggil manusia untuk bekerja sama dengan-Nya. Manusia dipanggil menjadi co-creator Allah dengan misi hidup, bekerja dan mengelola alam semesta sesuai dengan kehendak-Nya(Wilem Chang, 2001:108). Sebagai co-creator Allah, manusia seharusnya menunjukkan sikap bertanggung jawab atas ciptaan-ciptaan lainnya. Ciptaan-ciptaan lain tidak dapat dimengerti begitu saja sebagai sosok-sosok yang diciptakan oleh Allah untuk manusia, sehingga manusia merasa berhak untuk memperlakukan mereka sesuka hati. Allah menciptakan makhluk hidup lain dan alam semesta bersama dengan, bukan untuk, manusia.
Semua ciptaan-Nya memiliki derajat yang sama. Hanya saja manusia diberi-Nya sebuah kepercayaan untuk menjadi pelindung dan penjaga ciptaan-ciptaan lainnya. Kepercayaan tersebut merupakan tugas perutusan manusia yang luhur dan mulia. Hal ini membuat martabat manusia sebagai imago Dei menjadi memiliki arti. Manusia hanyalah makhluk yang penuh hubris jika tanpa pemahaman yang demikian.
Sumbangan Pemikiran Lokal
Relasi antara manusia dan ciptaan-ciptaan lain sebenarnya merupakan sebuah hubungan timbal-balik. Manusia memiliki kewajiban untuk menjaga dan memelihara ciptaan-ciptaan lainnya, dan sebaliknya ciptaan-ciptaan lain akan senantiasa menunjang kelangsungan hidup manusia. Jika manusia menjaga dan melestarikan alam, maka alam akan memenuhi kebutuhan manusia yang menunjang kelangsungan hidupnya. Hubungan saling memberikan diri kepada satu sama lain seperti ini memungkinkan manusia dan ciptaan-ciptaan lain membentuk suatu persekutuan kekeluargaan semesta, yang diikat dan disatukan oleh Allah. Di dalam relasi kekeluargaan semesta ini, semua pihak yang saling terhubung menunjukkan kasih-Nya dalam bersikap dan bertindak.
Pandangan kosmologis orang-orang Papua dapat memberikan sumbangan pertimbangan etis untuk menentukan sikap manusia terhadap alam dan ciptaan lainnya. Salah satu prinsip dasar pandangan kosmologis Papua adalah relasi (Ngari, 2010:41). Relasi yang dimaksudkan adalah relasi antara sosok-sosok ilahi dan manusia, manusia dan sesamanya, serta manusia dan alam. Ketiga relasi tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Itu artinya bahwa ketika berbicara mengenai relasi manusia dan sosok-sosok ilahi, relasi dengan sesama dan alam tidak dapat diabaikan. Orang-orang Papua pada umumnya menjaga keharmonisan dan keseimbangan relasi tersebut, karena mereka percaya bahwa jika salah satu relasi tersebut rusak maka akan ada dampak buruk yang menimpa mereka.
Orang-orang Papua memandang ciptaan lain dan alam semesta sebagai sesama. Bagi mereka, ciptaan lain dan alam semesta itu hidup, memiliki pikiran dan emosi seperti manusia (Ngari, 2010:41). Seluruh kosmos merupakan suatu wujud hidup yang memiliki pikiran, berkemauan dan mempunyai emosi, serta setiap bagiannya mengambil peran masing-masing. Semuanya saling terhubung satu sama lain dan saling mempengaruhi secara kelihatan dan tidak kelihatan. Makhluk hidup yang lain dan alam semesta merupakan bagian integral dari diri manusia.
Pandangan semacam ini memperlihatkan kedekatan orang-orang Papua dengan alamnya. Orang-orang Papua dan alamnya memiliki keterikatan emosional. Misalnya, ketika melihat kekayaan hutan, pohon atau daun, orang-orang Papua merasa bahwa mereka masih memiliki harapan hidup. Ikatan emosional tersebut membuat mereka memandang alam dalam bingkai kekeluargaan, yaitu alam dipandang sebagai ibu. Alam memberikan dan menjamin hidup, serta membesarkan mereka. Sebaliknya, mereka, sebagai anak-anak, menjaga sang ibu pemberi kehidupan.
Implikasi etis dari pandangan ini adalah manusia menghargai dan menghormati seluruh ciptaan Allah, sebagai sesama yang bernilai. Semua ciptaan Allah memiliki nilai, yang terlepas dari fungsi masing-masing dan pengakuan manusia. Fungsi apapun setiap ciptaan-Nya tidak mempengaruhi mereka sebagai yang bernilai. Tanpa diakui oleh manusia pun, semua ciptaan-Nya tetap bernilai. Mereka dihargai karena bernilai di dalam diri mereka. Seluruh ciptaan Allah harus dihormati dan dihargai demi sebuah relasi yang tetap bermartabat.