Berpolitik Menghadirkan Kerajaan Allah Di Bumi Cenderawasih

136
Frater Anselmus Faan

Penulis: Fr. Anselmus Faan

Pengantar
Semuan manusia di dunia khususnya Indonesia dan termasuk orang Papua telah mengenal dunia politik. Tahun 2024 ini khususnya di Papua Barat dan Papua Barat Daya ada calon Bupati dan Wali Kota. Pemilihan Kepala Daerah adalah moment untuk menentukan figur pemimpin yang akan memimpin masyarakat di Kepala Burung untuk lima (5) tahun ke depan. Para calon bupati dan wakil bupati telah berkompetensi dalam pesta demokrasi itu. Dalam pesta demokrasi ini, yang menentukan pemimpin untuk lima tahun ke depan adalah rakyat, bukan dari si calon dan partai pengusung. Karena memang pilikada seperti begitu. Demokrasi adalah system pemerintahan yang diselengarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam tulisan ini lebih fokus pilikada di Provinsi Papua Barat dan Papua Barat Daya.

Apa itu Politik?
Secara etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani dari kata polis dan teta. Polis berarti Negara-kota dan teta berarti urusan. Dengan demikian hakekat politik itu sendiri merupakan sebuah usaha untuk mengelola dan menata system pemerintahan demi mewujudkan kepentingan dan cita-cita dari suatu Negara (bdk. Bertens, 1978:163-167). Selain itu, politik klasik menurut pandangan Aristoteles adalah usaha memperjuangkan kebaikan bersama.

Maka secara otomatis kita pahami bahwa berpolitik tidak berkaitan dengan kekerasan, penipuan, pembunuhan, balas dendam, ancaman, korupsi, nepotisme, dan kolusi seperti yang terjadi di Papua Barat dari Sorong sampai Samarai. Di dalam dunia politik orang-orang duduk bersama untuk berbicara baik mengenai hal-hal yang baik tentang perilaku bersama dan mencari cara untuk mengatasi berbagai masalah seperti masalah pendidikan, ekonomi, Kesehatan, kehilangan ras Melanesia di Papua, kehilangan budaya dan masalah agama yang timbul dalam masyarakat di Negara Indonesia, khususnya di Papua ini. Kaum elit Papua yang sudah belajar baik tentang politik dan berperan aktif dalam berpolitik sudah sangat mengetahui bahwa berpolitik adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan kebijakan-kebijakan dalam tatanan Negara agar dapat merealisasikan cita-cita Negara demi kebaikan dan kebahagiaan yang sesungguhnya bagi Masyarakat di Papua.

Apa itu suara hati?
Suara hati berasal dari kata bahasa Latin, conscientia yang berarti “mengetahui bersama atau mengetahui dengan”. Secara tradisional suara hati dipahami dalam pengertian psikologi, yaitu “kesadaran” dan dalam pengertian moral yaitu “ kesadaran tentang yang benar dan yang salah”. Dalam bahasa Yunani, syneidesis yang berarti “melakukan kebaikan dan menjauhi kejahatan,” (Denis J. Billy dan James F. Keating, 2009: 21). Suara hati seorang pemimpin di sini lebih pada moral seorang pemimpin. Moral seorang pemimpin akan menentukan berjalannya sebuah pemerintahan. Pemimpin adalah seorang pemimpin yang memimpin individu-individu lain.

Sehingga seorang pemimpin memiliki sikap hidup yang bermartabat dan bermakna bagi sesama. Ia menjadi pribadi yang bermakna karena secara konsisten berjuang agar hidupnya memancarkan kebaikan bagi sesama yaitu bawahan atau rekan kerja dan masyarakat luas yang dipimpinnya. Menjelang pesta demokrasi dalam media masa terutama status di facebook mewarnai dengan seruan “pilih pemimpin berdasarkan ‘suara hati’ jangan memilih pemimpin berdasarkan bujukan dari orang lain”, kalimat ini saya membaliknya seperti ini “pilihlah pemimpin yang suara hatinya hidup bukan memilih pemimpin yang suara hatinya mati”. Suara hati dari pemimpin akan menentukan moralitas kepemimpinan dalam menjalani roda pemerintahan terkait dengan upaya mewujudkan bonum commune (kebaikan/kesejahteraan bersama).

Apa Itu Kerajaan Allah?
Kerajaan Allah berarti pemerintahan Allah yang kekal yang secara khas dimanifestasikan dalam pelayanan Yesus dan kerajaan Allah tertanam dalam hati semua manusia termasuk orang Papua. “Kerajaan Allah bukan soal makanan dan minuman tetapi soal kebenaran (keadilan), damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus,” (Roma 14:17), maka Kerajaan Allah adalah Keadilan, Damai Sejahtera, dan Sukacita. Jadi, Kerajaan Allah adalah manusia hidup dalam keadilan, damai sejahterai, sukacita dan cinta kasih kepada Allah dan sesama manusia dalam hidup di dunia Papua ini.

Politik Praktis di Papua Barat yang Menghadirkan Kerajaan Allah
Masayarakat di Papua Barat, jika menjelang pelaksanaan pesta politik mereka sangat sibuk untuk mengikuti pemilihan umum kepala daerah. Baik itu pemilihan presiden, gubernur, bupati, dan DPR secara serentak. Adanya banyak fenomena yang terjadi pada pesta pelaksanaan politik tersebut. Terutama berkaitan dengan keikutsertan masyarakat pada pesta politik itu. Di beberapa tempat ada orang yang tidak mencalonkan diri untuk menjadi DPR, bupati dan gubernur tetapi di daerah lain di Indonesia khususnya Papua dan Papua Barat ada orang yang berlomba-lomba untuk mencalonkan diri.

Keterlibatan masyarakat dalam dunia politik seperti itu sangat didukung oleh gereja khususnya gereja Katolik. Karena mereka yang mencalonkan diri itu mengabdikan diri kepada kepentingan umum semua orang di Provinsi Papua Barat dan Papua Barat Daya. Dan panggilan diri untuk mengabdikan diri kepada kepentingan umum seperti itu merupakan panggilan setiap warga Negara, khususnya segenap umat Kristiani di Papua (bdk. Dokumen Konsili Vatikan II, Gadium et Spes artikel 75). Dalam renungan Paus Fransiskus pada 16 september 2013 lalu dikatakan “seorang Katolik yang baik ikut terlibat dalam bidang politik dengan memberikan yang terbaik dari dirinya.”

Penutup
Pernyataan dari Paus dan dari Gaudium et Spes itu dapat menunjukkan kepada kita bahwa berpolitik merupakan salah satu cara menghadirkan kerajaan Allah di bumi cenderawasih. Tentu dengan tujuan mewujudkan kesejahteraan untuk masyarakat Papua. Dengan demikian muncul bertanyaan untuk semua orang Papua dan khususnya untuk Papua Barat dan Papua Barat Daya, apakah kita sudah berpartisipasi dalam bidang sosial-politik praktis sesuai dengan kedudukan kita masing-masing, demi menciptakan kesejahteraan bersama?

Untuk menjawab pertanyaan itu perlu setiap individu yang pernah dan akan terlibat dalam politik praktis merefleksikannya. Menurut saya tentu ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan. Keuntungan dari berpolitik itu tentunya kita jumpai dalam hidup kita baik melalui bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan agama. Misalnya dalam bidang ekonomi, masyarakat mendapat bangunan air bersih, rumah sehat, dan pesawat subsidi. Atau dalam dunia pendidikan dibangun fasilitas sekolah yang baik untuk mendukung pendidikan generasi emas (generasi muda dan mudi).

Hasil bangunan itu dari kerja politik yang baik. Politik praktis berbeda dengan hak berpolitik. Politik praktis dalam kalangan pemerintah konkretnya seperti mencalonkan diri sebagai kandidat bupati. Sedangkan politik praktis dalam kalangan masyarakat seperti berusaha berkampanye untuk memilih kandidat tertentu. Sedangkan hak berpolitik adalah hak untuk memilih salah satu kandidat. Hak berpolitik juga seperti hak untuk menyampaikan pendapat secara politis demi tercapainya aspek kesejahteraan/kebaikan bersama. Hak berpolitik berdasarkan suara hati.

Referensi
1. Bertens, K. 1979. Sejarah Filsafat Yunani Dari Thales ke Aristoteles. Jakarata: Gramedia.
2. Hardawiryana, R. 2017. Dokumen Konsili Vatikan II, Jakarta: Obor.
3. Denis J. Billy dan James F. Keating. 2009. Jakarta: Obor.