Mateus Syukur
Duka adalah luapan rasa yang mencuat keluar lewat tetesan air. Air yang menyembul keluar dari hati yang pilu. Dari hati setiap anak manusia yang terhempas ke pinggiran perkotaan. Tak seorang pun tahu pada duka lara yang menyelimuti seluruh raganya. Hanya nyanyian burung pipit dan belalang hijau yang beterbangan kesana kemari, kerap menemani kesunyian hidupnya di awal senja. Peluh yang mengalir ke seluruh tubuhnya tak pernah ia hiraukan. Kerap kali ia melongok ke atas awan-awan putih yang meliuk-liuk menebarkan pesona alam yang menyembunyikan rahasia kehidupan. Namun tak kunjung datang juga keajaiban dari langit yang ia nanti-nantikan sepanjang bulan. Selama ini ia pandai membaca tanda-tanda alam. Tak pernah meleset dari dugaannya akan kapan musim kemarau berakhir. Semuanya telah berubah. Kini alam tidak bergerak sesuai siklus pergerakan musim yang sudah lazim terjadi di atas bumi. Dalam kesunyian ia duduk terpekur di sebuah gubuk kecil sembari menatap ke arah cahaya matahari di ufuk barat yang mulai perlahan-lahan tenggelam ke dalam kabut.
***
Sementara matahari bercahaya sepanjang masa, ia menyembunyikan kegelapan yang abadi. Ia menjadi pusat segala keluh-kesah dari setiap anak manusia yang mencari kedalaman dari setiap keajaiban hidup yang berjatuh ke bumi. Ia terus memancarkan cahaya ke setiap lorong-lorong kumuh. Menerobos masuk ke dalam jantung para pengais kehidupan di tong-tong sampah di pinggiran jalan. Dan ke dalam ruang-ruang kegemegahan yang diciptakan para kesatria yang telah menang mengangkat kehidupan di atas tahta kekayaan, kehormatan dan kekuasaan. Kini matahari yang sama cahayanya menembus masuk ke dalam pelupuk matanya. Senja sebentar lagi akan hilang, malam akan segara turun ke bumi. Ia belum beranjak pula dari kenyamanan tempat ia duduk setiap sehabis menekuri petak sawahnya.
“Saya sudah berdoa novena selama sembilan hari tetapi toh sampai sekarang saya belum mendapatkan jawaban atas doa-doa saya. Apakah memang ini tahun sial bagi saya.” Ah, dari pada saya duduk meratapi nasib lebih baik kembali menyiram sayur-sayur di petak ini, dengan air yang masih tersisa sedari tadi pagi. Bisikkan hatinya memelas.
Segerombolan awan-awan tipis terus berkejar-kejaran di atas kepalanya. Langit sekejab berubah bentuk. Matahari sudah diselimuti kabut, yang tersisa hanya cahaya yang terpancar dari kaki langit. Ia berada dalam keadaan harap-harap cemas sambil membelai pucuk-pucuk sayur yang berjejeran sepanjang petak. Dengan air yang sudah hampir habis hingga tetesan terakhir, ia berjuang membasahi seluruh dedaunan sayur yang masih bertahan hidup. Kini kali mati yang letaknnya kira-kira beberapa meter jarak dari kebunnya tak lagi bisa menjadi penampung. Semua telah disedot masuk ke dalam lereng gunung sekitar. Lereng gunung yang telah rontok dilahap oleh para pecandu kayu di alam liar. Sementara langit di atas kian pekat disusul dengan gemuruh guntur pertama yang berderik lantang menggetarkan segala tetumbuhan dan tenaman yang ada di seluruh ladangnya. Sejenak ia berhenti dan melemparkan pandangan menyusuri wilayah alam semesta jauh ke arah kaki langit. Binar matanya melukiskan kebahagian yang tiada taranya. Wajahnya cerah berlawanan dengan wajah langit yang kian kelam. Ia merasakan adanya mujizat di senja itu.
“Rupanya sebentar lagi akan hujan, terimakasih Tuhan ternyata engkau telah mendengar keluh kesahku sepanjang bulan ini. Saya tak menyangka kalau sore ini hujan yang saya tunggu-tunggu selama sebulan ini turun juga.” Gumamnya penuh syukur.
Gerimis mulai jatuh ke setiap tanaman yang sudah lama merindukan tetesan air dari langit. Disusul dengan guntur yang terus menerus meraung-raung memecahkan kebisuan senja itu. Perlahan-lahan tapi pasti. Gerimis berubah menjadi tetesan air hujan yang tak terbendung lagi. Ia bergegas masuk ke dalam gubuk reotnya. Dari sana ia menikmati tetesan air yang datang bak penyelamat untuk setiap kekeringan petak sawah yang sudah lama terjadi . Hujan turun sejadi-jadinya tanpa mengenal ampun hingga retakan seluruh tanah petak sawahnya tak nampak lagi. Detik, menit dan jam terus berjalan sebagai mana adanya, nampak cahaya raja siang itu sudah menghilang ditelan senja pertanda hari sudah malam. Ia belum juga beranjak dari gubuk reotnya. Ia menanti hujan berakhir agar bisa kembali ke rumah dan mengabarkan kegembiraan kepada keluarganya, bahwa seluruh tanaman di ladang sudah kembali hidup normal. Kelaparan tidak jadi datang tahun ini. Dengan segala keyakianan pula bahwa ia pasti bisa menebus semua utangnya kepada bapa kepala kampung yang paling kaya di kampungnya, ketika nanti musim panen tiba. Bersama dengan angan-angannya hujan yang terus-menerus menghantam semakin tak terkendalikan. Rasa dingin mulai menjalar ke seluruh tubuhnya lalu ia menyalakan api dengan tangan bergetar. Kehangatan sudah sedikit menghilangkan kebekuan raganya. Namun ia tetap tak bisa keluar dari gubuknya hingga ia tertidur lelap.
Rupanya hujan tidak lagi surut sampai besok. Di luar sudah terdengar air mengalir dari barbagai arah. Ia tak sadar kalau hujan berubah jadi banjir yang menyapu seluruh petak sawah. Hingga tanamannya berakhir di telan habis oleh banjir. Tak ada lagi yang tersisa. Hujan yang adalah berkat telah menjelma menjadi malapetaka bagi pak tani yang tertidur lelap di gubuk reotnya. Ia berada di pulau mimpi ketika banjir memporak-porandakan seisi ladangnya hingga pagi menjelang.
***
Hujan mulai reda. sang fajar telah membangunkannya dari tidur. Dari mimpi-mimpinya yang tak satu pun ia ingat. Beruntung gubuk reotnya di bangun di atas tanah perbukitan hingga nyawanya selamat. Ia tersaruk-saruk keluar gubuk dan menatap ke arah sawah teraseringnya. Betapa hancur jiwanya menyaksikan keadaan yang sangat memilukan. Ia menggelesot ke tanah sambil membekap dada, napasnya tercekat, hatinya kelu. Ia lalu menjerit kepada Tuhannya
“Ya Tuhanku dan Allahku… apa salah dan dosaku.*