Ens Realissum adalah konsep pemikirian Emanuel Kant akan Pengada Yang Maha-nyata. Kant tidak membuat konklusi bahwa ens realissimum (Tuhan) adalah suatu pribadi tertentu terutama Yesus, ini murni adalah inisiatif penulis. Sebab Jika memandang ens realisimum sebagai suatu pribadi maka terciptalah batasan kepada pengada yang maha-nyata itu, bahwa eksistensi dan potensinya terbatas sebagai pribadi, sedangkan pada Tuhan tidak memiliki batasan atau lebih tepatnya tidak terbatas. Dan di sini penulis tidak membahas secara khusus tentang konsep pengada Yang Maha-nyata dengan segala bentuk afirmasinya, namun penulis hanya menarik benang merahnya yang meskipun masih samar-samar dikaitkan pada pribadi Yesus. Tujuannya yakni penulis hanya hendak menunjukkan bahwa manusia yang oleh karena Yesus, Ia menunjukan suatu keberlanjutan bahwa yang real tidak selalu bereksistensi dalam dunia materi (ruang dan waktu), dan oleh karena itu kematian tubuh hanyalah bentuk peralihan kepada pengada yang Maha-nyata dalam hal ini yakni Yesus. Kristosentris adalah rumusan kristologi yang mendukung konsep ini bahwa segala sesuatu berasal dari satu pengada, dan itu tidak lain dan tidak bukan adalah Yesus yang juga disebut sebagai Kristus, di mana segala hal bermula dari pada-Nya sebagai Pengada yang Nyata.
Marilah kita pijakan kaki pada kehidupan saat ini, ditempat ini (spasial-temporal) untuk memulai bagian paling transsendental dari kehidupan itu sendiri. Setiap makhluk hidup tentunya hidup sebab kehidupan bermula dari hidup. Hidup tidak pernah mati dan mati tidak akan hidup, karena jika kita berpijak pada prinsip kontradiksi dari ens realissium, kita tidak mungkin mengatakan bahwa Tuhan tidak ada dan sekaligus ada, karena sesuatu yang tidak ada tidak butuh negasi bahkan tidak dapat dipikirkan. Seseorang tidak mungkin mengatakan “Jangan merokok” jika rokok itu tidak ada, karena sesuatu yang tidak ada tidak memerlukan bentuk pengingkaran. Seseorang dapat memikirkan suatu hal apabila ia telah memiliki konsep tentangnya. Sebagai contoh: seseorang yang buta sejak lahir, tentunya ia tidak memiliki konsep tentang terang, karena ia tidak mengalaminya dalam realita empiris. Begitu halnya dengan kehidupan tidak bisa merupakan kematian sekaligus, karena kematian tidak bisa dipahami dalam kehidupan, sebab ia bukan bagian darinya. Kematian itu melekat pada suatu hal materi, sedangkan materi jika disematkan pada manusia adalah tubuh. Tubuh tanpa jiwa adalah mati dan jiwa tanpa badan tak bisa diamati. Plato percaya bahwa Jiwa terperangkap dalam badan, sehingga eksitensi materi (badan) menentukan keadaan jiwa. Badan tidak bertindak atas kehendaknya, ia bereksistensi karena jiwa yang mempunyai kendali atasnya. Jiwa mempunyai kontrol untuk keinginan psikis maupun keinginan badan, namun taraf kontrol itu berada dalam batasan tertentu. Sebab keinginan badan berbeda dengan jiwa dan jiwa bukan badan namun di dalamnya. Harus ada diferensiasi antara keduanya untuk mengartikan kehidupan itu sendiri bahwa kehidupan yang real adalah jiwa yang transenden dalam tubuh atau badan.
Jika kita bercermin pada pribadi Yesus sebagai manusia, Ia memposisikan dirinya untuk memperjuangkan hal-hal yang dapat dikatakan tidak dimengerti oleh bangsa Yahudi, yakni suatu ide akan kesempurnaan yang tidak dijumpai dalam dunia fisik. Bahkan dalam doktrin iman Katolik mengakui Yesus sebagai manusia (tubuh) yang tidak berdosa (jiwa tidak terjebak dalam keinginan tubuh), Ia mengingkari keinginan daging atau tubuh, yang tidak sejalan dengan keselamatan Jiwa. Tentunya ini masih sejalan dengan ide yang sempurna, bahwa yang fisik tidaklah real, sebab ia akan tiada dan yang tetap hanyalah ide. Plato pergi meninggalkan ide akan kesempurnaan, dan Yesus adalah bentuk pernyataan akan ide yang sempurna itu. Manusia mengejar kesempurnaan itu hingga tubuh tak berkuasa lagi atasnya. Lalu jika tubuh telah tiada, dapatkah kita menemukan kehidupan di luar tubuh (materi). Jika kita runut ke belakang, kehidupan bermula dari jiwa yang dapat mewujudkan materi (tubuh) menjadi hidup, sebab materi pada dirinya sendiri adalah mati. Dan jika kita sepakat juga bahwa kehidupan ini bermula dari hal di luar fisik atau tubuh, maka ketika yang fisik tiada, bukan berarti kehidupan pun telah tiada, melainkan Ia kembali pada keadaan asalinya yakni keabadian jiwa.
Kehidupan ada, karena tidak ada sesuatu yang tidak ada dapat diketahui atau dialami. Adanya saya adalah suatu bentuk pernyataan diri dan adanya Yesus saat ini adalah pribadi yang dialami dalam ajarannya (ide), tetapi secara ketat dalam ajaran Katolik menempatkannya sebagai Anamnesis, yang tidak hanya tinggal dalam benak tetapi ada dan hadir saat ini. Tentunya hal ini masih sejalan dengan pemikirian Anselmus Canterbury bahwa Tuhan adalah sesuatu yang lebih besar dari padanya tak dapat dipikirkan, karena Jika Ia nyata sudah pasti Ia tidak hanya ada dalam pemikiran, tetapi juga dalam kenyataan. Dan Yang real adalah adanya saya atau adanya dia dalam ide. Dia yang dalam ide adalah real, namun pribadi manusia (tubuh) akan tiada, yang bertahan adalah ide. Sebelumnya untuk menyatakan sesuatu itu ada, maka perlu untuk diasumsikan ada. Inilah Dia yang menjanjikan kehidupan namun bukan di dunia, karena Ia bukan dari dunia, dan yang dari dunia akan punah namun Ia yang menyatakan diri sebagai benar dan hidup demi “menyelamatkan” dunia dari perhambahan dosa (keingininan badan), menuju pada hidup (kekekalan), tak terikat lagi pada keinginan tubuh dengan segala hasrat dan pemenuhannya telah tercermin pada pribadi Yesus, karena segala bentuk afirmasi transendetal telah termuat dalam-Nya.*
Editor: Dkn. Iven Kocu, Pr