Perjanjian Bersyarat Antara Allah Dan Abraham (Analisis Naratif Kejadian 17:1-25)

79
Pastor Renold Alexander Leike Memberkati Anak-anak

(RD. Renold Alexander Laike)

Pengantar

Berdasarkan teori sumber, teks Kej. 17:1-27 dianggap berasal dari tradisi P (Priester). Teks tersebut berisi dua narasi dari tradisi P. Pertama, Kej. 17:1-4 berkaitan dengan catatan tradisi J (Yahwista) tentang Perjanjian (Bdk. Kej. 15:1-20). Kedua, Kej. 17:15-21 berkaitan dengan pemberitahuan kelahiran Ishak (Bdk. Kej. 18:1-15). Teks Kej. 17:1-27 memang masih berbicara mengenai janji Allah kepada Abraham, kemudian memperkenalkan unsur baru, yakni perjanjian bersyarat. Kedua belah pihak tersebut terlibat dalam suatu perjanjian dan memiliki tanggung jawab masing-masing.

Batas-batas Teks

Kriteria yang digunakan dalam menentukan batas awal dan batas akhir adalah kriteria dramatis dengan memperhatikan pergantian waktu, tokoh dan tema, serta kriteria stilistik. Batas awal narasi ini adalah Kej. 17:1. Ada dua pertimbangan dalam penentuan batas awal ini. Pertama, Bab sebelumnya (Kej. 16) berisi kisah lain, yaitu tentang Hagar dan Ismael. Kedua, adanya petunjuk transisi waktu dan tokoh dalam Kej. 17:1, yaitu “ketika Abram berumur sembilan puluh sembilan tahun, maka TUHAN menampakkan diri… ”(Kej. 17:1). Petunjuk ini mengindikasikan adanya cerita yang baru.

Batas akhir dari narasi ini adalah Kej. 17:24-25. Ada pun beberapa pertimbangannya sebagai berikut. Pertama, batas ini dipilih dengan menggunakan kriteria stilistik inklusio, yakni ungkapan yang sama untuk mengawali dan mengakhiri cerita. Kej. 17:1 dan Kej. 17:24-25 memiliki ungkapan yang sama, yaitu “ketika Abram (Abraham) berumur sembilan puluh sembilan tahun”. Kedua, Kej. 17:24-25 merupakan respon atas Kej. 17:1. Abraham melakukan hal yang diperintahkan oleh Allah (sunat) agar tema cerita (perjanjian) dapat berlangsung secara resmi. Pertimbangan kedua ini menjadi alasan mengapa Kej. 17:22 tidak dipilih sebagai batas akhir, padahal salah satu tokoh utama (Allah) telah meninggalkan panggung cerita.

Alur Cerita

Teks Kej. 17:1-25 disinyalir adanya penggunaan teknik “sandwich”. Teknik “sandwich” berarti sebuah cerita utama dimulai lalu diinterupsi oleh cerita lain, kemudian dilanjutkan lagi dengan cerita pertama. Cerita pertama mengenai pengadaan perjanjian dua pihak antara Allah dan Abraham, serta sunat sebagai tanda perjanjian dari pihak Abraham (Kej. 17:1-14). Cerita ini diinterupsi dengan pemberitahuan mengenai kelahiran Ishak (Kej. 17:15-22). Lalu, cerita pertama tadi dilanjutkan lagi dengan pelaksanaan sunat (Kej. 17:23-25). Selipan firman Allah tentang pemberitahuan kelahiran Ishak membuat semacam jeda sehingga pembaca dapat bertanya-tanya mengenai respon Abraham terhadap firman Allah sebelumnya (Kej. 17:1-14).

Cerita dimulai dengan menampilkan dua tokoh protagonis dalam keseluruhan narasi, yaitu Allah dan Abraham. Narator mengisahkan penampakan Allah dan tujuan-Nya, yaitu mengadakan perjanjian antara Allah dan Abraham. Sejak awal, narator memperkenalkan Allah sebagai tokoh “yang Mahakuasa”, dalam dialog-Nya, untuk menegaskan bahwa Allah mendominasi seluruh cerita.

Komplikasi di cerita ini agaknya kurang jelas keberadaannya. Sebaliknya, aksi transformatif malah ditunjukkan dengan sangat jelas, yaitu perubahan nama Abraham, diikuti dengan pemberian janji-janji (keturunan dan tanah). Allah mengubah nama Abram menjadi Abraham karena Allah menetapkannya menjadi bapa sejumlah bangsa (Kej. 17:5). Perubahan nama Abraham berimplikasi pada perjanjian itu sendiri. Sejak perubahan nama Abraham, perjanjian diadakan oleh Allah dengan Abraham, dan keturunannya, menjadi “perjanjian turun-temurun dan kekal” (Kej. 17:7). Begitu juga dengan tuntutan perjanjian yang harus dipegang oleh Abraham dan keturunannya, berlangsung “turun-temurun dan kekal” (Kej. 17:9-14).

Komplikasi justru muncul, agaknya implisit, dalam isi dialog, yaitu janji keturunan dan tanah. Kedua janji itu agaknya problematik. Abraham dijanjikan keturunan, namun belum memiliki anak dari istrinya Sara (Bdk. Kej. 17:17). Ia juga dijanjikan suatu negeri, tanah Kanaan, tetapi tenyata negeri itu sudah ada orang lain yang mendiaminya (Kej. 17:8). Di samping itu, sunat, sebagai tanda perjanjian, haruslah juga dilakukan oleh orang-orang yang bukan keturunannya: “setiap laki-laki yang lahir di rumahnya dan setiap laki-laki yang dibelinya dengan uang (budak), dan keturunan mereka” (Kej. 17:12-14).

Selain memberi jeda cerita agar para pembaca bertanya-tanya tentang tanggapan Abraham terhadap perjanjian dua belah pihak, antara Allah dan dirinya, bagian ini menampilkan komplikasi dari janji Allah, tawaran solusi perspektif manusiawi dan intervensi solusi dari Allah. Cerita selipan ini dimulai dengan aksi transformatif perubahan nama Sara (Kej. 17:15-16). Polanya sama dengan perubahan nama Abraham; diikuti dengan berkat “menjadi ibu bangsa-bangsa” (Kej. 17:16).

Perubahan nama Sara ini mempengaruhi dinamika batin tokoh Abraham. Melalui tokoh Abraham, narator membimbing para pembaca agar menyadari bahwa adanya komplikasi di dalam janji keturunan. Perspektif Abraham tentang komplikasi janji keturunan merupakan perspektif manusiawi: faktor fisik menjadi tolak ukur (bdk. Kej. 17:17). Posisi Abraham (dan juga seharusnya para pembaca) menjadi penuh dengan keraguan. Karena itu, wajarlah jika Abraham menawarkan Ismael sebagai solusi atas masalah tersebut, yang sebenarnya merupakan semacam “jalan pintas” (Kej. 17:18). Solusi dari Allah ternyata berbeda dengan Abraham. Intervensi Allah atas masalah tersebut mencoba meyakinkan Abraham dengan mengumumkan kelahiran Ishak (Kej. 17:19-21). Kelahiran Ishak adalah solusi definitif ditawarkan oleh Allah atas masalah janji keturunan. Allah memberikan jaminan atas solusi ini, yaitu kepastiannya, yang tampak dalam ungkapan “yang akan dilahirkan Sara bagimu tahun yang akan datang pada waktu seperti ini juga” (Kej. 17:21).

Karena itu, hubungan cerita selipan ini dengan cerita utama adalah penjelasan komplikasi cerita dan solusinya, yang bisa menjadi konsekuensi logis adegan selanjutnya (situasi final) di dalam cerita utama dapat terjadi. Allah telah memberikan jaminan atas janji keturunan (dan juga janji yang lain) sehingga Abraham tidak memiliki pilihan lain selain percaya kepada Allah.

Alur cerita kini telah kembali ke cerita utama. Tokoh utama, Allah, telah meninggalkan panggung cerita (Kej. 17:22). Hal ini menandakan bahwa cerita akan segera berakhir. Abraham kini mengambil peran utama. Situasi final yang ditampilkan adalah respon Abraham terhadap keseluruhan firman Allah (Kej. 17: 1-22), yakni melakukan seperti yang telah difirmankan oleh Allah (Kej. 17:23). Ritus sunat yang dilakukan Abraham diberi keterangan waktu “pada hari itu juga” mengungkapkan makna “segera”. Hal ini menunjukkan kualitas iman Abraham, setelah mengalami penampakan dari Allah. Di sini narator memberikan ending yang memuaskan para pembaca (sesuai dengan keinginan para pembaca).

Tokoh-tokoh dalam Cerita

Allah menampakkan diri kepada Abram dan memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah yang Mahakuasa (Kej. 17:1). Dalam bahasa aslinya, Allah menyatakan diri sebagai El-Sadday, “Allah yang Mahakuasa”, yang diduga merupakan nama dari “dewa gunung” menurut kepercayaan orang Mesopotamia. Bertolak dari Kel. 6:3, ternyata itu bukanlah “nama asli” dari Allah.

Bersamaan dengan janji akan keturunan, Allah mengubah nama Abram menjadi Abraham. Ia semula bernama Abram, yang berarti “bapa yang ditinggikan”, kemudian menjadi Abraham, “bapa sejumlah besar bangsa” (Kej. 17:5). Perubahan nama ini seharusnya cocok dengan janji yang diberikan oleh Allah.

Sama halnya dengan Abraham, Sarai mengalami perubahan nama menjadi Sara (Kej. 17:15). Tidak ada penjelasan mengenai nama baru tersebut, dan secara etimologis pun tidak ada perbedaan. Perubahan nama Sara ini diikuti oleh berkat Allah bahwa ia akan menjadi ibu dari bangsa-bangsa (Kej. 17:16). Perubahan nama ini dapat berarti sebuah transformasi hidup, dari seorang yang “mandul” (tidak bisa memberikan keturunan) menjadi ibu dari banyak bangsa.

Latar Tempat, Waktu dan Sosio-Religius

Narasi Kej. 17:1-25, tidak menyebutkan latar tempat dengan pasti Allah menampakkan diri kepada Abraham. Jika bertolak dari Kej. 18:1, tempat yang disebutkan di situ adalah pohon tarbantin (oak) di Mamre. Beberapa kali disebutkan bahwa Mamre berada di barat gua Makhpela, yang dibeli Abraham dari Efron, orang Het (bdk. Kej. 23:17; 25:9; 49:30; 50:13), yang diidentifikasi sebagai Hebron. Abraham bisa jadi mengalami penampakan Allah di sekitar situ.

Ada beberapa keterangan waktu yang disebutkan di dalam narasi Kej. 17:1-25, antara lain: umur Abraham, umur Sara, umur Ismael, “tahun yang akan datang”, “pada waktu seperti ini juga”, dan “pada hari itu juga”. Umur Abraham 99 tahun digunakan untuk menunjukkan waktu peristiwa penampakan Allah terjadi (Kej. 17:1) dan waktu Abraham melakukan praktik sunat (Kej. 17:24). Umur Abraham (100 tahun) dan umur Sara (90 tahun) menunjukkan waktu kelahiran Ishak (Kej. 17:17). Hal ini menjelaskan maksud keterangan waktu “tahun yang akan datang”, jika dibandingkan dengan umur Abraham saat peristiwa penampakan Allah ini berlangsung, yaitu 1 tahun. Umur Ismael rupanya dicatat oleh tradisi P dengan hati-hati jika dibandingkan dengan Kej. 16:16.

Ada dua hal yang menunjukkan latar sosio-religius dari narasi Kej. 17:1-25, yaitu perjanjian bersyarat dan praktik sunat. Dalam narasi ini, perjanjian antara Allah dan Abraham dilukiskan dengan menggunakan rumusan perjanjian yang lazim pada tradisi Timur Tengah Kuno. Pola yang tampak dari teks ini adalah perjanjian raja dengan vassal, yang ditandai dengan adanya tuntutan yang wajib dilaksanakan oleh para vassal. Perjanjian antara Allah dan Abraham mewajibkan Abraham untuk melakukan sunat sebagai syaratnya (Kej. 17:9-14). Ada juga rumusan “berkat dan kutuk” di bagian akhir perjanjian itu (Bdk. Kej. 17:13-14).

Petunjuk latar sosio-religius lainnya adalah praktik sunat itu sendiri. Meskipun sudah menjadi praktik kuno di antara orang-orang Ibrani, sunat mendapatkan makna religius yang penuh hanya pada saat pembuangan. Bagi tradisi P, ritus sunat, yang menjadi tanda perjanjian kekal, menandakan bahwa janji Allah tetap berlaku tanpa adanya Bait Allah, karena sudah tertulis di dalam daging (bdk. Kej. 17:13).

Detail Sepele yang Bermakna

Detail sepele yang bermakna yang dimaksudkan adalah ungkapan-ungkapan yang menyatakan permainan kata-kata di dalam Kitab Suci. Permainan kata-kata ini merupakan hal yang umum ditemukan di dalam Kitab Suci, khususnya di dalam bahasa aslinya. Berikut ini adalah beberapa detail sepele yang bermakna di dalam teks Kej. 17:1-15.

Abraham “tertawa serta berkata di dalam hatinya” (Kej. 17:17)

Sikap “tertawa” di sini merupakan sebuah pola permainan kata yang merujuk pada nama Ishak, anak yang dijanjikan oleh Allah kepada Abraham (Kej. 17:19). Kata “tertawa” dalam bahasa Ibrani yang digunakan dalam Kej. 17:17, way-yiṣḥaq (way-yishaq) berhubungan dengan nama Ishak, Yiṣḥaq (Yishaq); memiliki akar kata yang sama, ṣḥq (shq). Ekspresi “tertawa” ini juga sering berhubungan dengan kelahiran Ishak (Bdk. Kej. 18:12-15; 21:6). Kata ini (shq) memiliki arti yang cukup luas, salah satunya adalah tawa (atau senyum) sebagai ekspresi atas kelahiran seorang bayi. Oleh karena itu, janji Allah tentang keturunan adalah suatu kebahagiaan yang luar biasa ketimbang sesuatu yang menimbulkan kerahuan yang problematik.

“Aku telah mendengarkan permintaanmu”(Kej. 17:20)
Sebenarnya ungkapan ini merupakan pola pemainan kata memiliki akar kata yang sama dengan nama Ismael, yaitu sm (ditemukan juga dalam Kej. 16:11). Oleh karena itu, walaupun Ismael bukanlah anak yang dijanjikan oleh Allah atau pewaris janji, ia tetap mendapat bagiannya dalam berkat tersebut. Ini juga merupakan ekstensifikasi (perluasan) dari janji Allah, bahwa berkat Allah juga diberikan kepada “yang bukan keturunan yang memiliki hak waris”. Artinya, Ismael tetap mendapat berkat dari Allah, meskipun bukan ahli waris yang telah ditentukan oleh Allah.

Penutup: Refleksi Teologis

Allah menampilkan diri sebagai Yang Mahakuasa mempengaruhi isi keseluruhan cerita; terlihat dari dominasi Allah di dalam cerita. Dominasi ini juga menjadi jaminan bahwa janji-janji-Nya akan terpenuhi, asalkan manusia mau percaya kepada-Nya dan melakukan perintah-perintah-Nya, seperti yang dicontohkan oleh Abraham. Allah membuat “yang tidak mungkin” menjadi “mungkin” (Bdk. Kej. 18:14). Misalnya, Ishak lahir dari sepasang suami-istri yang telah lanjut usia (Kej. 17:17).

Narasi Kej. 17:1-25 menunjukkan adanya perluasan berkat, bukan hanya bagi Abraham, melainkan juga keturunannya. Bahkan, lebih dari itu, “pihak-pihak luar” juga mengalami berkat tersebut. Perluasan ini sebenarnya merupakan pengembangan dari ungkapan Kej. 12:3, yakni Abraham menjadi berkat bagi semua orang di bumi. Di samping itu, perluasan lainnya adalah perjanjian antara Allah dan Abraham menjadi perjanjian yang kekal. Melalui narasi ini, tradisi P memberi jaminan bahwa Allah tidak menarik janji, juga di saat kritis yang dialami Israel dalam sejarah. Tradisi P juga menempatkan posisi penting ritus sunat di dalam perjanjian kekal itu. Dalam konteks bangsa Israel, terutama pada masa pembuangan, janji Allah tetaplah berlaku meski tanpa adanya kenisah, karena sudah tertulis di dalam daging (sunat). Hal ini juga memberikan keyakinan bagi kita, ketika mengalami situasi sulit, Allah akan senantiasa menyertai kita. Masa-masa sulit bukanlah penghalang bagi Allah untuk melimpahkan rahmat-Nya bagi manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, R. E., J. A. Fitzmyer & R. E. Murphy. The Jerome Biblical commentary Vol. I. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1996.
Freedman, D. N. The Anchor Yale Bible Dictionary Vol. 4 (New York: Doubleday, 1996.
Mandaru, Hortensius F. Daya Pikat dan Daya Ubah Cerita Alkitab; Pengantar Tafsir Naratif. Yogyakarta: Kanisius, 2019.
Sanjaya, V. Indra. Membaca Lima Kitab Pertama Alkitab I; Pengantar Umum Kitab Kejadian. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Speiser, E. A. Genesis: Introduction, Translation, and Notes. New Haven; London: Yale University Press, 2008.
St. Darmawijaya, Pentateukh atau Taurat Musa. Yogyakarta: Kanisius, 1992