My Trip My Adventure-Sastra

19
 My Trip My Adventure
 (Mateus Syukur)

Pukul 10.45, barangkat dari kota Oksibil. Jalan kami berkelak-kelok, melewati lereng-lereng gunung yang bersilimutkan kabut, gerimis terus berjatuhan sepanjang rerimbunan hutan. Sesekali kami menyaksikan kepak-kepak sayap burung yang berterbangan di antara pepohonan.  Jalanan yang sempit dan berlubang membuat mobil kami kerap kali tergelincir. Menyetir mobil di jalanan yang terjal membutuhkan keahlian khusus. Kami tidak melihat sedikitpun keraguan yang menyembur keluar dari wajah penyetir mobil. Rupanya ia sudah berpengalaman melewati lereng gunung yang terjal. Mobil kami terus menggerung, naik turun gunung.  Hingga kami menemui malapetaka kecil. Persis lima kilometer dari gunung Utek, ban mobil tergelincir dasyat. Penyetir mobil dengan berbagai strategi mencari posisi yang baik agar mobil bisa keluar dari tantangan yang sedemikian hebat itu tetapi tetap gagal.  Kami telah menghabiskan waktu selama tiga puluh menit hanya untuk keluar dari jalanan yang licin itu tetapi belum juga berhasil.  

“Kita turun semua, masukkan batu-batu di truk mobil sampai penuh.” Perintah Om sopir.

Sekali lagi mobil melaju dengan kecepatan tinggi menggelek tanah dan bebatuan yang berlumpur, meraung-raung hingga hampir sejengkal lagi mencapai atas gunung, tiba-tiba mendadak kembali mundur jauh ke belakang. Mobil kami gagal lagi. Nampak aura wajah penyetir mobil sudah kelelahan. Dugaan kami ia telah jengah dengan situasi yang terjadi. Ternyata tidak juga. Ia menyuruh kami berpegangan kuat pada hand grip mobil, lalu dengan keahliannya yang tersisa, melaju mobil dengan  bergaya zig-zag ditambah lagi dengan suara mobil yang menggelegar memecahkan keheningan rerimba raya, berjuang sampai ke puncak bukit.

“Kita berhasil.” Kata Alosius.
“Ya, ini adalah kejayaan yang kecil.” Jawab Met dengan nada sedikit bercanda.
“Sedikit lagi kita sampai ke gunung Utek.” Ujar om sopir dengan senyuman sumringah.

Setidaknya kami telah  berhasil melewati bukit kecil, walaupun berjuang dengan bersusah payah. Mobil kami melaju lagi di antara rerimbunan pohon. Melewati tikungan-tikungan terjal, dan kerikil tajam, tak secuilpun suara keluar dari dalam mulut kami. Sebuah perjalanan yang menegangkan untuk orang yang pertama kali melewati lika-liku alam yang dihiasi gunung-gemunung  itu, seperti kami. Di dalam mobil kami hanya bersitatap dengan wajah kuyu kusam, akbiat bercak-bercak lumpur yang menempel di seputaran pipi. Lalu mobil terus bergerak hampir mendekat ke gunung  Utek. Sebuah gunung yang gundul dan menjulang tinggi.

***

Mobil kami pun berhasil menggapai puncak Utek. Sebuah tantantangan yang lebih besar lagi telah membentang di depan hidung kami. Bagaimana tidak deg-degkan, jauh dari atas ketinggian gunung, nampak sungai Digul di bawah yang luas tetapi terlihat begitu kecil. Jurang yang sangat panjang, membuat jantung kami juga berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Bagaimanapun mobil kami harus menurun ke lembah, melewati jalan pegunungan yang berkelak-kelok hingga mencapai sungai Digul yang jauh berapa kilometer ke lembah. Tiada pepohonan besar di seputaran lereng, yang bila ada setidaknya bisa menghalangi pandangan mata kami dari jurang yang dalam itu. Penyetir mobil dengan lihainya menyetir seolah-olah tidak ada yang perlu ditakutkan. Semuanya baik-baik saja. Tidak demikian bagi kami. Kami memang baru pernah mengalami sebuah perjalanan melewati bibir jurang gunung yang dalam. Ini bukan mendramatisir sebuah kisah, tetapi sebuah realitas nyata yang baru pernah terjadi dalam sejarah hidup kami. Sebuah pengalaman yang sangat menggetarkan sekaligus menarik.

“Batas jalan ini sampai di bawah di pinggiran sungai Digul.” Kata Om sopir.
“Selanjutnya Alosius jalan kaki menuju ke Pepera.” Demikian ia melanjutkan pembicaraan.
Kami hanya mengangguk dalam diam. Mobil lalu perlahan-lahan menurun dengan ekstra hati-hati. Beberapa meter lagi sudah mencapai sungai Digul. Ban mobil tiba-tiba pecah di tengah-tengah jurang hingga tidak bisa melanjutkan perjalanan.  Sebuah kegagalan kecilpun  terjadi lagi untuk sekian kalinya. Tidak ada jalan lain lagi, selain kami menurunkan Alosius dan membiarkan Ia berjalan kaki menuju ke Pepera yang masih membutuhkan bebarapa jam perjalanan. Akhirnya kami berpisah di tengah lereng gunung Utek.
“Selamat jalan sobat, semoga sampai di Pepera dalam keadaan selamat.” Kata Met.
“Alosius nanti harus melewati sungai Digul itu.” Om sopir menambahkan.

Selang beberapa menit kami berbalik arah kembali untuk menghantar Met ke Bulangkop. Tetapi apalah daya mobil kami mogok.  Kami membiarkan mobil itu terkapar di tengah jurang. Kami kembali dengan berjalan kaki mendaki lereng gunung Utek.  Sembari  menikmati panorama alam sekitar yang indah nan permai. Sesekali kami berhenti untuk berswafoto. Kami ingin mengabadikan sebuah pengalaman yang  belum pernah kami alami sebelumnya. Foto-foto itu akan kami jejalkan dalam lembaran sejarah hidup kami. Karena tidaklah mudah mendaki gunung untuk sebuah tujuan menemukan jemaat Katolik  yang tinggal di balik gunung-gunung. Sebuah tujuan mulia dengan sedikit tantangan.

***

Sudah setengah perjalanan kami tempuh untuk kembali ke puncak Utek. Di luar dugaan kami, tiba-tiba seorang lelaki tua muncul dari lembah sungai Digul. Lelaki itu mendekati kami dengan sesungging senyuman yang amat bersahabat. Tidak ada kecurigaan sedikitpun yang menguar dari wajahnya. Padahal kalau mau dibilang kami adalah orang asing, yang wajar saja kalau masyarakat setempat terkadang curiga akan keberadaan kami. Apalagi di tengah-tengah rerimba raya yang hampir saja kami tidak menemukan siapapun selama perjalanan kecuali lelaki tua itu. Begitu mendekat, lelaki itu menyalami kami dengan gelagat yang sangat sopan.  

“Selamat siang adik-adik.” Ujar lelaki itu.
“Selamat siang juga bapa”
“Kamu mau ke mana.”
“Kami barusan antar frater ke Pepera tetapi ban mobil kami pecah akhirnya fraternya turun jalan kaki ke Pepera.”
“Oh…kamu gembala ka?”
“Ia bapa”
“Adik saya barusan pulang Pepera, jembatan sungai Digul itu sudah rusak dan setengah mati untuk lewat apalagi orang baru.” Kasian frater itu nanti.” Katanya.
“Kalau frater tidak bisa lewat jembatan sungai Digul pasti dia akan kembali.” Ujar om sopir.
“Saya yakin frater itu akan berjuang untuk lewat itu jembatan, dia gembala jadi pasti dia tidak takut mati.” Kata Met setengah bercanda.

Dalam beberapa menit saja kami sudah menjadi akrab dengan lelaki tua itu, Maklum karena ternyata lelaki itu juga umat Katolik. Gunung Uteklah yang memperkenalkan kami dengan lelaki tua itu. Dalam perjalanan lelaki itu kerap mengisahkan cerita mistis, sisi terang dan gelapnya sungai Digul. Sampai di puncak gunung Utek. Kami beristerahat sejenak sembari menanti jemputan dari Oksibil.

***

 Jarum jam telah menunjuk angka 12.20. Selama satu jam beristrahat mobil jemputan baru muncul juga. Perjalanan berbalik arah. Kami berserta lelaki tua itu, kini berjalan bersamaan dengan tujuan yang berbeda. Ia hendak ke kota Oksibil dan kami hendak mengantar Met ke Bulangkop.  Melalui rute yang sebelumnya kami telah lewati. Kali ini mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Bergerak naik turun gunung. Menembus kabut yang telah menyelimuti jagat raya alam Oksibil.

“Frater maaf kita buru-buru.” Ujar om sopir kepada Met.
“Tidak apa-apa yang penting selamat sampai tujuan.” Jawab Met.

Setengah jam perjalanan semuanya lancar-lancar saja, tiada hambatan, kecuali hujan yang terus-menerus mengguyuri seantero jagat raya alam Oksibil. Gemuruh guntur yang kian menggelegar tidak menghambat perjalanan kami. Mobil terus melaju menaiki tanjakan yang berlubang. Sesekali berpapasan dengan kendaraan  lain dari arah berlawanan.  Terkadang juga kendaraan bermotor lihai melesat  melewati mobil kami. Sungguh luarbiasa mereka yang mengendarai mobil melewati tantangan alam Oksibil yang berkelak kelok naik dari satu gunung ke gunung yang lain.

***

Hingga sore kembali jatuh ke bumi. Bulangkop sudah dekat di depan mata. Sore yang lengang, tidak nampak seorangpun yang lalulalang di sekitar daerah Bulangkop. Rupanya hujan yang lebat membuat orang-orang enggan ke luar  rumah. Mobil kami parkir di gereja yang berada di depan jalan masuk stasi Bulangkop.

“Kita ke ketua stasi.” Perintah om sopir.  

Dengan semangat yang masih tersisa kami merangsek jalan menuju rumah ketua stasi. Tiba persis di depan rumah. Lelaki tua yang sedari tadi berjalan bersama kami, mengambil posisi di bagian depan. Ia menyalami ketua stasi mendahului kami, Lelaki tua itu berbicara dengan menggunakan bahasa setempat beberapa detik, entah apa yang dibicarakan. Oh rupanya lelaki itu memperkenalkan kami kepada ketua stasi, sungguh pekerjaan yang mulia.

“Selamat sore mama.” Tanpa menunggu lama, Met menyalami ketua stasi.
“Selamat sore juga anak frater, syukur kamu tiba dengan selamat, saya dari tadi sudah tunggu.”  
“Maaf mama kami terlambat karena mobil macet.”
“Tidak apa-apa anak frater.”
“Terimakasih mama,  bagaiman persiapan paskahnya?” Tanya Met.
“Aduh anak frater kami, semua sibuk dengan pilkada dan pilpres, sehingga kami di stasi ini semua sibuk dengan pesta demokrasi ka apa dia pu nama.”  Demikian ketua stasi menjelaskan
“Oh tidak apa-apa mari kita siap sama-sama untuk pesta paska lagi.” Ujar Met.
***

Selama beberapa menit, Met berbincang-bincang dengan ketua stasi. Kami kerap duduk mematung di antara banyaknya kisah yang mereka ceritakan. Kami yakin Met sangat menikmati alam Bulangkop yang dihiasi dengan panorama gunung-gemunung itu. Sejauh mata memandang, terbentang gunung-gunung yang elok di seantero alam Bulangkop. Dan aliran sungai Digul terus mengalir di bawah lembah daerah seribu gunung itu.
Pukul 16.30,  mobil kami kembali menggerung meninggalkan Bulangkop, dikala  matahari perlahan tenggelam.  

            
Keterangan : Sebuah kisah nyata yang dikemas dalam sebentuk fiksi