Misa Krisma: Sejarah, Pendasaran Normatif Liturgis Dan Konsekuensi  Praktis Pastoral

49
ILUSTRASI

Oleh Rikardus Jehaut

Pendahuluan

Misa krisma (Missa chrismatis)  merupakan salah satu  di antara perayaan liturgis  Pekan Suci. Penyebutan Misa krisma  merujuk pada  perayaan  Ekaristi khusus  di mana Uskup memberkati  tiga  minyak, yakni minyak katekumen (oleum catechumenorum), minyak orang sakit  (oleum infirmorum) dan  krisma  suci (sacrum chrisma) yang  akan digunakan dalam pelayanan  sakramen di seluruh  wilayah  keuskupan sepanjang tahun  dan  sekaligus dalam perayaan tersebut para imam  memperbarui  janji imamat  di hadapan Uskup.

Sekalipun perayaan ini bukan merupakan  sesuatu yang baru dalam  Gereja, namun aneka pertanyaan  kritis seringkali muncul di tengah umat beriman, bahkan menjadi tema perbincangan lepas di antara para  imam. Bagaimana sejarah munculnya perayaan ini? Adakah pendasaran normatif-liturgisnya?  Apa konsekuensi praktis pastoralnya? Dengan mengelaborasi pelbagai sumber  historis dan ajaran magisterium Gereja, penulis  berusaha menawarkan sedikit  jawaban  tanpa berlagak memberikan  jawaban rasional argumentaif  yang  sistematis dan komprehensif, selain  karena  keterbatasan  ruang  juga  karena memang tidak ada maksud untuk itu. Tulisan ini hanyalah pemantik  kecil untuk menyalakan semangat  pencarian pembaca dalam menemukan  jawaban yang lebih utuh dan memuaskan.

Sejarah Selayang Pandang

Telaah kritis   atas  pelbagai  data sejarah  memperlihatkan bahwa  sekitar  abad II uskup memberkati minyak sakramental dan menguduskan minyak krisma dalam perayaan Malam Paskah. Dalam perkembangan selanjutnya, yakni pada abad V di Roma terdapat  perayaan Perjamuan Tuhan (in coena Domini) dan pada hari yang sama diadakan konsekrasi minyak krisma dan rekonsiliasi para peniten (bdk. H. Schmidt, Hebdomada sancta, Herder, Romae–Friburgi Brisgoviae– Barcinone 1956, hlm. 715).

Pada paruh pertama abad VII,  perayaan Kamis Putih  dirangkai dengan upacara pemberkatan minyak   yang dihadiri oleh para imam. Hal ini termuat  dalam Sacramentarium Gelasianum, dokumen  pertama yang berbicara  tentang Missa chrismatis (Fontes, Rerum ecclesiasticarum documenta, Herder, Roma 19813, nn. 375-390). Sekitar abad XII dan  XIII perayaan  Ekaristi  diatur sedemikian sehingga waktu pelaksanaanya dimajukan ke  pagi hari demi  memenuhi  kebutuhan  pastoral   saat itu  sehingga  di gereja  katedral  kedua  perayaan Kamis Putih terpaksa  digabungkan menjadi satu.

Pada abad XX terjadi perubahan terkait Misa krisma melalui reformasi liturgi Pekan Suci dari Paus XII dengan diterbitkannya  Ordo Hebdomadae Sanctae (OHS) tahun 1955, yang  kemudian dituangkan dalam  edisi tipikal Missale Romanum  tahun 1962. Dalam OHS, dinyatakan bahwa  Kamis Putih dengan Missa chrismatis yang di dalamnya disisipkan Benedictio olei catechumenorum et infirmorum, et confectio sacri chrismatis, dirayakan terpisah dari Misa  Perjamuan Tuhan in cena Domini. Dengan ini  Paus Pius XII mengembalikan  identitas perayaan Trihari Suci Paskah yang dirayakan  pada sore/malam hari  dan  Misa krisma  ke pagi hari Kamis Putih.

Pada masa Konsili Vatikan II, tata perayaan Misa krisma  diatur secara lebih  baik dan memiliki makna yang lebih  jelas berkat pembaruan liturgi yang dicanangkan  oleh  Paus  Paulus VI, yang ingin memperkenalkan ke dalam Misa krisma  pembaruan janji imamat, dengan maksud memberikan ciri khas  Misa krisma sebagai “pesta imamat”. Pembaruan liturgis ini dapat dipandang sebagai perwujudan dari  intuisi pastoralnya ketika masih  menjabat sebagai Uskup Agung Milan di mana ia  menyoroti makna khusus Kamis Putih bagi para klerus Ambrosian (bdk. Segreteria della Pontificia Commissione centrale preparatoria del Concilio Vaticano II (a cura di), Acta et documenta Concilio Oecumenico Vaticano II apparando, (Series II- praeparatoria), Typis Polyglottis Vaticanis, Città del Vaticano 1968, 2, pars III, hlm. 135).

Setelah Konsili Vatikan II, muncul dokumen Variationes in Ordinem hebdomadae sanctae (VOHS) yang di dalamnya, antara lain, berbicara  tentang  konselebrasi Misa krisma (Ephemerides Liturgicae,  80, 1966, hlm. 41-44). Selain itu,  dalam dokumen ini  terdapat revisi teks liturgi Sabda untuk menjawabi interpretasi baru perayaan yang sesuai dengan imamat Kristus. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa semua  variationes yang diperkenalkan dalam dokumen ini  mengarah pada upaya untuk mengklarifikasi rumusan Misa krisma.

Selain itu, muncul Instruksi Tres abhinc annos pada tahun 1967. Dalam dokumen tersebut ditetapkan  bahwa umat beriman yang telah menerima komuni dalam Misa krisma, dapat juga  menerima komuni kudus dalam perayaan  Misa sore hari.  Penetapan ini  barangkali terlihat sebagai  sesuatu hal yang biasa, namun sesungguhnya dapat dipandang sebagai sebuah  langkah maju  yang signifikan.  Dari sudut pandang yang lebih umum, terlihat bagaimana  umat beriman berpartisipasi  dalam perayaan tersebut  melalui komuni Ekaristi. Dan dari sudut  pandang yang lebih khusus, kenyataan bahwa umat beriman dapat mengambil bagian di dalamnya menunjukkan secara lebih jelas bahwa mereka bukanlah penonton, melainkan sebagai bagian integral dari  perayaan tersebut  (bdk. Acta Apostolicae Sedis, 59, 1967, hlm. 442-448).

Dalam perkembangan lebih lanjut, muncul Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Kongregasi untuk Klerus  tahun 1969 tentang formasi  permanen klerus. Dalam dokumen tersebut  dinyatakan bahwa untuk  memperkuat kehidupan rohani dan hati nurani para imam, pada hari Kamis pagi setiap imam  memperbarui tindakan pemberiaan dirinya  kepada Kristus, dengan merujuk secara  khusus pada selibat dan ketaatan. Berdasarkan Surat Edaran tersebut Kongregasi Ibadat Ilahi   mengusulkan dua teks baru,  yakni I   untuk pembaruan janji  imamat dan yang kedua untuk  prefasi baru.  Usulan ini kemudian dituangkan di dalam Missale Romanum 1970 (Kongregasi Ibadat Ilahi, ”Notitiae”  6, 1970, hlm. 86-89).

Pendasaran Normatif-Liturgis

Secara normatif-liturgis terdapat  ketentuan khusus  menyangkut perayaan Misa krisma. Ketentuan tersebut digariskan dalam   dua dokumen  penting, yakni:

Pertama, Surat Edaran Kongregasi Ibadah Ilahi tahun 1988 Paschalis Solemnitatis tentang Perayaan Paskah (bdk. Congregazione per il Culto Divino, Lettera circolare Preparazione e celebrazione delle feste Pasquali, Paschalis Solemnitatis, https://www.liturgyoffice.org.uk/Calendar/Seasons/Documents/Paschale-Solemnitatis.pdf). Dalam dokumen tersebut digariskan pelbagai hal, antara lain bahwa Misa krisma, yang dirayakan  oleh uskup dengan para imamnya dan di mana krisma suci dikuduskan dan minyak diberkati, memanifestasikan persekutuan para imam dengan uskup  dalam imamat dan pelayanan Kristus yang sama (bdk. Paschalis Solemnitatis, n. 35). Umat beriman juga didorong untuk mengambil bagian  dalam perayaan Misa tersebut dan  menerima  sakramen Ekaristi. Selain itu,  Misa krisma dirayakan pada hari Kamis  (pagi) dalam Pekan Suci. Namun, jika karena situasi dan kondisi  ternyata sulit bagi para imam  dan umat untuk berkumpul dengan uskup, maka waktu perayaan  dapat dipindahkan ke hari lain, tetapi selalu dekat dengan Paskah. Minyak krisma dan  minyak katekumen  akan digunakan dalam perayaan sakramen inisiasi pada malam Paskah.

Selain itu, dalam dokumen yang sama  dinyatakan  bahwa hanya ada satu perayaan Misa krisma karena maknanya  dalam kehidupan keuskupan dan perayaan tersebut  diadakan di gereja katedral  atau,  atas  alasan pastoral, dapat dirayakan  di gereja lain yang  memiliki makna khusus (bdk. Paschalis Solemnitatis, n. 36). Minyak-minyak suci dapat dibawa ke masing-masing paroki sebelum perayaan Misa Kamis Putih atau pada waktu lain yang sesuai.

Kedua, dokumen Caeremoniale episcoporum yang diterbitkan pada tahun 1989 (Caeremoniale episcoporum: ex decreto Sacrosancti Oecumenici Concilii Vaticani II instaura tum auctoritate Ioannis Pauli PP. II promulgatum, Typis Polyglottis Vaticanis, Città del Vaticano 1984, hlm. 83). Dalam dokumen ini dinyatakan bahwa  Misa krisma, yang dikonselebrasikan oleh uskup dengan para imam  di mana  uskup  menguduskan minyak krisma dan memberkati minyak-minyak lainnya, mewujudkan persekutuan para imam  dengan uskup mereka (bdk. Caeremoniale episcoporum, n. 274). Selain itu, ditegaskan bahwa para presbiter  dikumpulkan dan berkonselebrasi dalam Misa ini sebagai saksi dan kooperator  uskup  dalam konsekrasi  krisma suci  karena mereka ikut mengambil bagian dalam tugas suci uskup dalam membangun, menguduskan, dan memimpin umat Allah. Oleh karena itu, Misa ini merupakan ekspresi yang jelas dari kesatuan imamat dan kurban Kristus, yang terus hadir di  dalam Gereja (bdk. Caeremoniale episcoporum, n. 275).

Konsekuensi  Praktis Pastoral

Misa krisma  merupakan ekspresi  paling  bermakna  tentang  perhatian  Gereja terhadap kebutuhan  sakramen  umat  beriman  dan  simbol kesatuan Gereja melalui kehadiran Uskup dan para imam.  Atas dasar itu maka ada beberapa konsekuensi praktis pastoral yang perlu mendapat perhatian yang serius, yakni:

Pertama, Misa krisma harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Persiapan dalam hal ini bukan saja menyangkut teks liturgi dan perlengkapan lainnya  yang diperlukan untuk perayaan tersebut, melainkan juga menyangkut waktu dan tempat perayaan. Hukum liturgis memberikan kemungkinan bagi uskup  untuk membuat kebijakan pastoral yang sesuai dengan situasi dan kondisi keuskupan  terkait waktu dan tempat perayaan. Dalam hubungan dengan hal ini,  uskup misalnya  dapat menetapkan bahwa hari Selasa sore sebelum Kamis Putih sebagai waktu  perayaan  dan  gereja katedral  (gereja ibu dari satu keuskupan) sebagai tempat perayaan. Penetapan ini dijadikan sebagai  kebijakan pastoral yang berlaku  di keuskupan sambil  tetap terbuka terhadap perubahan situasi dan kondisi tertentu yang seringkali tak terhindarkan dan menuntut penyesuaian. Kebijakan pastoral yang pasti sangat membantu umat beriman, khususnya para imam untuk mempersiapkan diri dengan baik  dan mengantisipasi sejak awal jadwal  kegiatan dan  pelayanan pastoral bagi umat beriman di paroki maupun bagi kelompok-kelompok kategorial.

Kedua, kehadiran  para imam yang berkarya di keuskupan  dalam perayaan tersebut   sangat penting. Mengapa?  Pada kesempatan  itulah  para imam  memperbarui  janji  imamat di hadapan uskup. Secara publik  mereka  mengulangi janji  yang  pernah  diucapkan  pada  saat ditahbiskan  menjadi imam yang meliputi janji untuk  menyelaraskan hidup secara erat dengan Yesus; menjadi pelayan  setia  misteri-misteri  Allah, termasuk sakramen-sakramen; dan dengan setia mengikuti Kristus Sang Gembala Baik, termasuk janji ketaatan  kepada  uskup dan komitmen untuk hidup selibat. Kehadiran para imam juga penting karena Misa krisma  merupakan salah satu manifestasi  kepenuhan sakramen imamat yang  ada pada uskup dan merefleksikan secara kuat persatuan di antara para imam dan uskup sebagai gembala. Persatuan para imam dan uskup semakin dibutuhkan dewasa ini. Tidak seorang imam pun sanggup menjalankan perutusannya sendirian. Seorang imam mampu menuaikan tugasnya dengan baik jika ia bersatu dengan rekan-rekan imam dan uskupnya. Misa krisma menjadi kesempatan untuk mengendapkan kembali kebenaran fundamental ini.

Pertanyaan (yang sebetulnya tidak perlu) adalah apakah semua imam di keuskupan wajib hadir/berkonselebrasi pada Misa krisma? Mengingat bahwa perayaan liturgis lebih dari sebuah kewajiban yuridis, maka dapat dikatakan bahwa semua imam sangat dianjurkan untuk mengambil bagian dalam perayaan Misa krisma tersebut. Dokumen-dokumen resmi Gereja menyinggung tentang hal ini, baik secara implisit maupun eksplisit. Dalam dokumen Konsili Vatikan II tentang liturgi, Sacrosanctum Concilium dinyatakan  bahwa Misa konselebrasi seperti Misa krisma  sangat cocok untuk menampakkan kesatuan imamat (bdk. Sacrosanctum Consilium, art. 57, 1a). Juga dalam  Presbyterorum Ordinis dinyatakan bahwa  kadang-kadang dengan cara yang sangat jelas para imam mewujudkan persekutuan  dalam konselebrasi liturgi sebagaimana yang mereka lakukan bersama dengan uskup ketika  merayakan Ekaristi (bdk. Presbyterorum Ordinis, art.7). Selain itu, dalam  The General Instruction of the Roman Missal<span;> (GIRM)  dinyatakan secara eksplisit tentang  pentingnya konselebrasi  para imam di keuskupan dengan uskup mereka sendiri, khususnya pada hari-hari raya, termasuk  pada Misa krisma yang memperlihatkan secara jelas  tanda kesatuan imamat dan juga kesatuan Gereja (bdk. GIRM, n. 203, https://www.vatican.va/roman_curia/congregations/ccdds/documents/rc_con_ccdds_doc_20030317_ordinamento-messale_en.html).  Penegasan tentang hal ini juga tertuang dalam rubrik  Misa krisma dalam Misale Romawi di mana dinyatakan bahwa Misa ini, yang dirayakan bersama oleh uskup dengan para imamnya, hendaknya merupakan perwujudan persekutuan para imam dengan uskup mereka. Oleh karena itu, diharapkan agar semua imam ikut serta di dalamnya, sejauh mungkin, dan selama Misa berlangsung, menerima komuni, bahkan dalam dua rupa. Untuk menandakan kesatuan para imam di keuskupan, para imam yang merayakan bersama uskup hendaknya berasal dari berbagai daerah di keuskupan (bdk.Rubrik, n. 4).  Ungkapan “diharapkan” dan “sejauh mungkin”  hendak mendemonstrasikan  kehendak  Gereja agar sebanyak mungkin imam hadir dan mengambil mengambil bagian dalam Misa krisma. Mengingat pentingnya kehadiran para imam dan mempertimbangkan situasi dan kondisi di keuskupan masing-masing, maka Ordinaris dapat menentukan  waktu perayaan Misa krisma pada salah satu hari dalam Pekan Suci sebelum perayaan Kamis Putih. Hukum liturgi memberikan kewenangan kepada Uskup Diosesan untuk mengantisipasi perayaan Misa krisma pada hari lain mendekati Paskah (bdk. <Rubrik, n. 3).  Dalam prakteknya, kebijakan pastoral terkait  waktu  pelaksanaan Misa krisma  terjadi di keuskupan-keuskupan yang wilayahnya  luas di mana  perayaannya dilaksanakan pada salah satu hari di Pekan Suci sebelum Kamis Putih demi memberikan kekeluasaan bagi para imam untuk kembali ke paroki untuk merayakan Tri Hari Suci.

Jadi, mengingat makna penting Misa krisma  maka sangat diharapkan agar para imam hadir dan mengambil bagian secara langsung dalam perayaan ini, kecuali jika ada alasan yang wajar dan masuk akal   (iusta et rationabili causa) untuk tidak hadir dan karena itu tidak dapat  berpartisipasi di dalamnya.  Alasan ”wajar dan masuk akal” dalam hal konteks ini misalnya, sedang menderita sakit tertentu  (baik fisik maupun psikis), harus  melayani  sakramen pengurapan orang sakit  ataupun  kasus (imaginer) yang bisa saja terjadi tanpa diantisipasi sebelumnya, misalnya dalam perjalanan ke tempat perayaan, jembatan penghubung satu-satunya hanyut terbawa banjir  atau  jalan terputus  akibat  tanah  longsor  dan dibutuhkan waktu beberapa hari jika harus  berjalan kaki ke tempat perayaan tersebut.  Di lain pihak, alasan ketidak-hadiran karena ’menjaga’  rumah pastoran (dan karena itu ’mengutus’ vikaris parokial untuk mengikuti Misa krisma) atau karena  telah  memiliki  jadwal pelayanan pastoral lainnya atau karena ketidaknyamanan  personal lantaran  sedang berkonflik  dengan rekan imam tertentu atau  ketidak-sukaan terhadap uskup  atau  sedang menjalankan diet tertentu, kiranya tidak dapat dikategorikan sebagai alasan yang wajar dan masuk akal.

Ketiga,  umat beriman juga didorong untuk mengambil bagian  dalam perayaan Misa krisma dan  menerima  sakramen Ekaristi. Misa krisma menjadi pengingat yang kuat akan pentingnya sakramen dalam kehidupan umat   beriman  dan peran gereja serta imam  dalam memelihara kehidupan  rohani  mereka. Selain itu,  dengan mengambil bagian dalam perayaan ini, umat beriman juga  mendukung pelayanan uskup dan para imam dan sesuai dengan kedudukan khas dan tugas mereka  masing-masing  bekerja sama  membangun Gereja.

Penutup

Misa Krisma  memiliki makna yang sangat  penting  sebagai ungkapan  persatuan Gereja Lokal/keuskupan. Pada saat itulah uskup  memberkati minyak-minyak suci yang digunakan untuk pelayan sakramen bagi umat beriman sepanjang tahun.  Selain itu, para imam membarui janji imamat mereka di hadapan uskup.

Perayaan ini juga  memiliki beberapa konsekuensi  praktis pastoral yang perlu mendapat perhatian serius  dari  para imam dan juga umat beriman. Lebih dari sebuah kewajiban yuridis, para imam sangat dianjurkan untuk  hadir secara fisik dan  mengambil bagian di dalamnya.  Dengan kata lain, perayaan ini  perlu mendapat prioritas  dan  tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang opsional atau  fakultatif. Ketidak-hadiran  dapat  dimaklumi  hanya jika  ada  alasan  yang wajar dan masuk akal. Umat beriman juga  dihimbau  untuk  hadir  dalam  perayaan  tersebut, selain  untuk mendukung para imam,   juga  untuk menimba kekuatan spiritual dan  mempererat kesatuan dengan para gembala  serta  memperdalam kesadaran akan pentingnya  sakramen  sebagai santapan kehidupan.

Penulis: RD. Rikardus Jehaut

Artikel ini telah dimuat di: https://www.mirifica.net/misa-krisma-sejarah-pendasaran-normatif-liturgis-dan-konsekuensi-praktis-pastoral/