Oleh Rikardus Jehaut
Pendahuluan
Misa krisma (Missa chrismatis) merupakan salah satu di antara perayaan liturgis Pekan Suci. Penyebutan Misa krisma merujuk pada perayaan Ekaristi khusus di mana Uskup memberkati tiga minyak, yakni minyak katekumen (oleum catechumenorum), minyak orang sakit (oleum infirmorum) dan krisma suci (sacrum chrisma) yang akan digunakan dalam pelayanan sakramen di seluruh wilayah keuskupan sepanjang tahun dan sekaligus dalam perayaan tersebut para imam memperbarui janji imamat di hadapan Uskup.
Sekalipun perayaan ini bukan merupakan sesuatu yang baru dalam Gereja, namun aneka pertanyaan kritis seringkali muncul di tengah umat beriman, bahkan menjadi tema perbincangan lepas di antara para imam. Bagaimana sejarah munculnya perayaan ini? Adakah pendasaran normatif-liturgisnya? Apa konsekuensi praktis pastoralnya? Dengan mengelaborasi pelbagai sumber historis dan ajaran magisterium Gereja, penulis berusaha menawarkan sedikit jawaban tanpa berlagak memberikan jawaban rasional argumentaif yang sistematis dan komprehensif, selain karena keterbatasan ruang juga karena memang tidak ada maksud untuk itu. Tulisan ini hanyalah pemantik kecil untuk menyalakan semangat pencarian pembaca dalam menemukan jawaban yang lebih utuh dan memuaskan.
Sejarah Selayang Pandang
Telaah kritis atas pelbagai data sejarah memperlihatkan bahwa sekitar abad II uskup memberkati minyak sakramental dan menguduskan minyak krisma dalam perayaan Malam Paskah. Dalam perkembangan selanjutnya, yakni pada abad V di Roma terdapat perayaan Perjamuan Tuhan (in coena Domini) dan pada hari yang sama diadakan konsekrasi minyak krisma dan rekonsiliasi para peniten (bdk. H. Schmidt, Hebdomada sancta, Herder, Romae–Friburgi Brisgoviae– Barcinone 1956, hlm. 715).
Pada paruh pertama abad VII, perayaan Kamis Putih dirangkai dengan upacara pemberkatan minyak yang dihadiri oleh para imam. Hal ini termuat dalam Sacramentarium Gelasianum, dokumen pertama yang berbicara tentang Missa chrismatis (Fontes, Rerum ecclesiasticarum documenta, Herder, Roma 19813, nn. 375-390). Sekitar abad XII dan XIII perayaan Ekaristi diatur sedemikian sehingga waktu pelaksanaanya dimajukan ke pagi hari demi memenuhi kebutuhan pastoral saat itu sehingga di gereja katedral kedua perayaan Kamis Putih terpaksa digabungkan menjadi satu.
Pada abad XX terjadi perubahan terkait Misa krisma melalui reformasi liturgi Pekan Suci dari Paus XII dengan diterbitkannya Ordo Hebdomadae Sanctae (OHS) tahun 1955, yang kemudian dituangkan dalam edisi tipikal Missale Romanum tahun 1962. Dalam OHS, dinyatakan bahwa Kamis Putih dengan Missa chrismatis yang di dalamnya disisipkan Benedictio olei catechumenorum et infirmorum, et confectio sacri chrismatis, dirayakan terpisah dari Misa Perjamuan Tuhan in cena Domini. Dengan ini Paus Pius XII mengembalikan identitas perayaan Trihari Suci Paskah yang dirayakan pada sore/malam hari dan Misa krisma ke pagi hari Kamis Putih.
Pada masa Konsili Vatikan II, tata perayaan Misa krisma diatur secara lebih baik dan memiliki makna yang lebih jelas berkat pembaruan liturgi yang dicanangkan oleh Paus Paulus VI, yang ingin memperkenalkan ke dalam Misa krisma pembaruan janji imamat, dengan maksud memberikan ciri khas Misa krisma sebagai “pesta imamat”. Pembaruan liturgis ini dapat dipandang sebagai perwujudan dari intuisi pastoralnya ketika masih menjabat sebagai Uskup Agung Milan di mana ia menyoroti makna khusus Kamis Putih bagi para klerus Ambrosian (bdk. Segreteria della Pontificia Commissione centrale preparatoria del Concilio Vaticano II (a cura di), Acta et documenta Concilio Oecumenico Vaticano II apparando, (Series II- praeparatoria), Typis Polyglottis Vaticanis, Città del Vaticano 1968, 2, pars III, hlm. 135).
Setelah Konsili Vatikan II, muncul dokumen Variationes in Ordinem hebdomadae sanctae (VOHS) yang di dalamnya, antara lain, berbicara tentang konselebrasi Misa krisma (Ephemerides Liturgicae, 80, 1966, hlm. 41-44). Selain itu, dalam dokumen ini terdapat revisi teks liturgi Sabda untuk menjawabi interpretasi baru perayaan yang sesuai dengan imamat Kristus. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa semua variationes yang diperkenalkan dalam dokumen ini mengarah pada upaya untuk mengklarifikasi rumusan Misa krisma.
Selain itu, muncul Instruksi Tres abhinc annos pada tahun 1967. Dalam dokumen tersebut ditetapkan bahwa umat beriman yang telah menerima komuni dalam Misa krisma, dapat juga menerima komuni kudus dalam perayaan Misa sore hari. Penetapan ini barangkali terlihat sebagai sesuatu hal yang biasa, namun sesungguhnya dapat dipandang sebagai sebuah langkah maju yang signifikan. Dari sudut pandang yang lebih umum, terlihat bagaimana umat beriman berpartisipasi dalam perayaan tersebut melalui komuni Ekaristi. Dan dari sudut pandang yang lebih khusus, kenyataan bahwa umat beriman dapat mengambil bagian di dalamnya menunjukkan secara lebih jelas bahwa mereka bukanlah penonton, melainkan sebagai bagian integral dari perayaan tersebut (bdk. Acta Apostolicae Sedis, 59, 1967, hlm. 442-448).
Dalam perkembangan lebih lanjut, muncul Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Kongregasi untuk Klerus tahun 1969 tentang formasi permanen klerus. Dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa untuk memperkuat kehidupan rohani dan hati nurani para imam, pada hari Kamis pagi setiap imam memperbarui tindakan pemberiaan dirinya kepada Kristus, dengan merujuk secara khusus pada selibat dan ketaatan. Berdasarkan Surat Edaran tersebut Kongregasi Ibadat Ilahi mengusulkan dua teks baru, yakni I untuk pembaruan janji imamat dan yang kedua untuk prefasi baru. Usulan ini kemudian dituangkan di dalam Missale Romanum 1970 (Kongregasi Ibadat Ilahi, ”Notitiae” 6, 1970, hlm. 86-89).
Pendasaran Normatif-Liturgis
Secara normatif-liturgis terdapat ketentuan khusus menyangkut perayaan Misa krisma. Ketentuan tersebut digariskan dalam dua dokumen penting, yakni:
Pertama, Surat Edaran Kongregasi Ibadah Ilahi tahun 1988 Paschalis Solemnitatis tentang Perayaan Paskah (bdk. Congregazione per il Culto Divino, Lettera circolare Preparazione e celebrazione delle feste Pasquali, Paschalis Solemnitatis, https://www.liturgyoffice.org.uk/Calendar/Seasons/Documents/Paschale-Solemnitatis.pdf). Dalam dokumen tersebut digariskan pelbagai hal, antara lain bahwa Misa krisma, yang dirayakan oleh uskup dengan para imamnya dan di mana krisma suci dikuduskan dan minyak diberkati, memanifestasikan persekutuan para imam dengan uskup dalam imamat dan pelayanan Kristus yang sama (bdk. Paschalis Solemnitatis, n. 35). Umat beriman juga didorong untuk mengambil bagian dalam perayaan Misa tersebut dan menerima sakramen Ekaristi. Selain itu, Misa krisma dirayakan pada hari Kamis (pagi) dalam Pekan Suci. Namun, jika karena situasi dan kondisi ternyata sulit bagi para imam dan umat untuk berkumpul dengan uskup, maka waktu perayaan dapat dipindahkan ke hari lain, tetapi selalu dekat dengan Paskah. Minyak krisma dan minyak katekumen akan digunakan dalam perayaan sakramen inisiasi pada malam Paskah.
Selain itu, dalam dokumen yang sama dinyatakan bahwa hanya ada satu perayaan Misa krisma karena maknanya dalam kehidupan keuskupan dan perayaan tersebut diadakan di gereja katedral atau, atas alasan pastoral, dapat dirayakan di gereja lain yang memiliki makna khusus (bdk. Paschalis Solemnitatis, n. 36). Minyak-minyak suci dapat dibawa ke masing-masing paroki sebelum perayaan Misa Kamis Putih atau pada waktu lain yang sesuai.
Kedua, dokumen Caeremoniale episcoporum yang diterbitkan pada tahun 1989 (Caeremoniale episcoporum: ex decreto Sacrosancti Oecumenici Concilii Vaticani II instaura tum auctoritate Ioannis Pauli PP. II promulgatum, Typis Polyglottis Vaticanis, Città del Vaticano 1984, hlm. 83). Dalam dokumen ini dinyatakan bahwa Misa krisma, yang dikonselebrasikan oleh uskup dengan para imam di mana uskup menguduskan minyak krisma dan memberkati minyak-minyak lainnya, mewujudkan persekutuan para imam dengan uskup mereka (bdk. Caeremoniale episcoporum, n. 274). Selain itu, ditegaskan bahwa para presbiter dikumpulkan dan berkonselebrasi dalam Misa ini sebagai saksi dan kooperator uskup dalam konsekrasi krisma suci karena mereka ikut mengambil bagian dalam tugas suci uskup dalam membangun, menguduskan, dan memimpin umat Allah. Oleh karena itu, Misa ini merupakan ekspresi yang jelas dari kesatuan imamat dan kurban Kristus, yang terus hadir di dalam Gereja (bdk. Caeremoniale episcoporum, n. 275).
Konsekuensi Praktis Pastoral
Misa krisma merupakan ekspresi paling bermakna tentang perhatian Gereja terhadap kebutuhan sakramen umat beriman dan simbol kesatuan Gereja melalui kehadiran Uskup dan para imam. Atas dasar itu maka ada beberapa konsekuensi praktis pastoral yang perlu mendapat perhatian yang serius, yakni:
Pertama, Misa krisma harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Persiapan dalam hal ini bukan saja menyangkut teks liturgi dan perlengkapan lainnya yang diperlukan untuk perayaan tersebut, melainkan juga menyangkut waktu dan tempat perayaan. Hukum liturgis memberikan kemungkinan bagi uskup untuk membuat kebijakan pastoral yang sesuai dengan situasi dan kondisi keuskupan terkait waktu dan tempat perayaan. Dalam hubungan dengan hal ini, uskup misalnya dapat menetapkan bahwa hari Selasa sore sebelum Kamis Putih sebagai waktu perayaan dan gereja katedral (gereja ibu dari satu keuskupan) sebagai tempat perayaan. Penetapan ini dijadikan sebagai kebijakan pastoral yang berlaku di keuskupan sambil tetap terbuka terhadap perubahan situasi dan kondisi tertentu yang seringkali tak terhindarkan dan menuntut penyesuaian. Kebijakan pastoral yang pasti sangat membantu umat beriman, khususnya para imam untuk mempersiapkan diri dengan baik dan mengantisipasi sejak awal jadwal kegiatan dan pelayanan pastoral bagi umat beriman di paroki maupun bagi kelompok-kelompok kategorial.
Kedua, kehadiran para imam yang berkarya di keuskupan dalam perayaan tersebut sangat penting. Mengapa? Pada kesempatan itulah para imam memperbarui janji imamat di hadapan uskup. Secara publik mereka mengulangi janji yang pernah diucapkan pada saat ditahbiskan menjadi imam yang meliputi janji untuk menyelaraskan hidup secara erat dengan Yesus; menjadi pelayan setia misteri-misteri Allah, termasuk sakramen-sakramen; dan dengan setia mengikuti Kristus Sang Gembala Baik, termasuk janji ketaatan kepada uskup dan komitmen untuk hidup selibat. Kehadiran para imam juga penting karena Misa krisma merupakan salah satu manifestasi kepenuhan sakramen imamat yang ada pada uskup dan merefleksikan secara kuat persatuan di antara para imam dan uskup sebagai gembala. Persatuan para imam dan uskup semakin dibutuhkan dewasa ini. Tidak seorang imam pun sanggup menjalankan perutusannya sendirian. Seorang imam mampu menuaikan tugasnya dengan baik jika ia bersatu dengan rekan-rekan imam dan uskupnya. Misa krisma menjadi kesempatan untuk mengendapkan kembali kebenaran fundamental ini.
Pertanyaan (yang sebetulnya tidak perlu) adalah apakah semua imam di keuskupan wajib hadir/berkonselebrasi pada Misa krisma? Mengingat bahwa perayaan liturgis lebih dari sebuah kewajiban yuridis, maka dapat dikatakan bahwa semua imam sangat dianjurkan untuk mengambil bagian dalam perayaan Misa krisma tersebut. Dokumen-dokumen resmi Gereja menyinggung tentang hal ini, baik secara implisit maupun eksplisit. Dalam dokumen Konsili Vatikan II tentang liturgi, Sacrosanctum Concilium dinyatakan bahwa Misa konselebrasi seperti Misa krisma sangat cocok untuk menampakkan kesatuan imamat (bdk. Sacrosanctum Consilium, art. 57, 1a). Juga dalam Presbyterorum Ordinis dinyatakan bahwa kadang-kadang dengan cara yang sangat jelas para imam mewujudkan persekutuan dalam konselebrasi liturgi sebagaimana yang mereka lakukan bersama dengan uskup ketika merayakan Ekaristi (bdk. Presbyterorum Ordinis, art.7). Selain itu, dalam The General Instruction of the Roman Missal<span;> (GIRM) dinyatakan secara eksplisit tentang pentingnya konselebrasi para imam di keuskupan dengan uskup mereka sendiri, khususnya pada hari-hari raya, termasuk pada Misa krisma yang memperlihatkan secara jelas tanda kesatuan imamat dan juga kesatuan Gereja (bdk. GIRM, n. 203, https://www.vatican.va/roman_curia/congregations/ccdds/documents/rc_con_ccdds_doc_20030317_ordinamento-messale_en.html). Penegasan tentang hal ini juga tertuang dalam rubrik Misa krisma dalam Misale Romawi di mana dinyatakan bahwa Misa ini, yang dirayakan bersama oleh uskup dengan para imamnya, hendaknya merupakan perwujudan persekutuan para imam dengan uskup mereka. Oleh karena itu, diharapkan agar semua imam ikut serta di dalamnya, sejauh mungkin, dan selama Misa berlangsung, menerima komuni, bahkan dalam dua rupa. Untuk menandakan kesatuan para imam di keuskupan, para imam yang merayakan bersama uskup hendaknya berasal dari berbagai daerah di keuskupan (bdk.Rubrik, n. 4). Ungkapan “diharapkan” dan “sejauh mungkin” hendak mendemonstrasikan kehendak Gereja agar sebanyak mungkin imam hadir dan mengambil mengambil bagian dalam Misa krisma. Mengingat pentingnya kehadiran para imam dan mempertimbangkan situasi dan kondisi di keuskupan masing-masing, maka Ordinaris dapat menentukan waktu perayaan Misa krisma pada salah satu hari dalam Pekan Suci sebelum perayaan Kamis Putih. Hukum liturgi memberikan kewenangan kepada Uskup Diosesan untuk mengantisipasi perayaan Misa krisma pada hari lain mendekati Paskah (bdk. <Rubrik, n. 3). Dalam prakteknya, kebijakan pastoral terkait waktu pelaksanaan Misa krisma terjadi di keuskupan-keuskupan yang wilayahnya luas di mana perayaannya dilaksanakan pada salah satu hari di Pekan Suci sebelum Kamis Putih demi memberikan kekeluasaan bagi para imam untuk kembali ke paroki untuk merayakan Tri Hari Suci.
Jadi, mengingat makna penting Misa krisma maka sangat diharapkan agar para imam hadir dan mengambil bagian secara langsung dalam perayaan ini, kecuali jika ada alasan yang wajar dan masuk akal (iusta et rationabili causa) untuk tidak hadir dan karena itu tidak dapat berpartisipasi di dalamnya. Alasan ”wajar dan masuk akal” dalam hal konteks ini misalnya, sedang menderita sakit tertentu (baik fisik maupun psikis), harus melayani sakramen pengurapan orang sakit ataupun kasus (imaginer) yang bisa saja terjadi tanpa diantisipasi sebelumnya, misalnya dalam perjalanan ke tempat perayaan, jembatan penghubung satu-satunya hanyut terbawa banjir atau jalan terputus akibat tanah longsor dan dibutuhkan waktu beberapa hari jika harus berjalan kaki ke tempat perayaan tersebut. Di lain pihak, alasan ketidak-hadiran karena ’menjaga’ rumah pastoran (dan karena itu ’mengutus’ vikaris parokial untuk mengikuti Misa krisma) atau karena telah memiliki jadwal pelayanan pastoral lainnya atau karena ketidaknyamanan personal lantaran sedang berkonflik dengan rekan imam tertentu atau ketidak-sukaan terhadap uskup atau sedang menjalankan diet tertentu, kiranya tidak dapat dikategorikan sebagai alasan yang wajar dan masuk akal.
Ketiga, umat beriman juga didorong untuk mengambil bagian dalam perayaan Misa krisma dan menerima sakramen Ekaristi. Misa krisma menjadi pengingat yang kuat akan pentingnya sakramen dalam kehidupan umat beriman dan peran gereja serta imam dalam memelihara kehidupan rohani mereka. Selain itu, dengan mengambil bagian dalam perayaan ini, umat beriman juga mendukung pelayanan uskup dan para imam dan sesuai dengan kedudukan khas dan tugas mereka masing-masing bekerja sama membangun Gereja.
Penutup
Misa Krisma memiliki makna yang sangat penting sebagai ungkapan persatuan Gereja Lokal/keuskupan. Pada saat itulah uskup memberkati minyak-minyak suci yang digunakan untuk pelayan sakramen bagi umat beriman sepanjang tahun. Selain itu, para imam membarui janji imamat mereka di hadapan uskup.
Perayaan ini juga memiliki beberapa konsekuensi praktis pastoral yang perlu mendapat perhatian serius dari para imam dan juga umat beriman. Lebih dari sebuah kewajiban yuridis, para imam sangat dianjurkan untuk hadir secara fisik dan mengambil bagian di dalamnya. Dengan kata lain, perayaan ini perlu mendapat prioritas dan tidak boleh dilihat sebagai sesuatu yang opsional atau fakultatif. Ketidak-hadiran dapat dimaklumi hanya jika ada alasan yang wajar dan masuk akal. Umat beriman juga dihimbau untuk hadir dalam perayaan tersebut, selain untuk mendukung para imam, juga untuk menimba kekuatan spiritual dan mempererat kesatuan dengan para gembala serta memperdalam kesadaran akan pentingnya sakramen sebagai santapan kehidupan.
Penulis: RD. Rikardus Jehaut
Artikel ini telah dimuat di: https://www.mirifica.net/misa-krisma-sejarah-pendasaran-normatif-liturgis-dan-konsekuensi-praktis-pastoral/