Athanasius Bame, OSA
Pada tanggal 29 Juni 2023 telah diadakan pemberkataan gedung gereja paroki St. Yosep Ayawasi oleh Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr. Piero Pioppo. Peristiwa sukacita dan berahmat ini sudah lama dinantikan dan disambut oleh semua lapisan masyarakat di wilayah paroki St. Yosep Ayawasi. Bahkan orang Katolik asal Maybrat di manapun juga ikut merasakan kegembiraan dan kebesaran peristiwa sejarah ini. Saya pun ikut merayakan dengan membuat tulisan ini yang terdiri atas dua bagian yakni peristiwa sejarah dan pemaknaannya.
Saya yakin bahwa dengan perspektif masing-masing siapa saja bisa memberikan arti berbeda atas peristiwa ini. Bagi saya peristiwa ini dimaknai sebagai sebuah peristiwa sejarah.
Peristiwa Sejarah Iman dan Sejarah Peradaban: Lima dimensi peristiwa sejarah
Lantas apa yang membuat peristiwa ini disebut sebagai suatu peristiwa sejarah? Hemat saya peristiwa ini bersejarah dalam lima dimensi yakni sejarah berdirinya gedung gereja baru yang megah, sejarah keterlibatan dan pengorbanan umat, pastor Agustinian, gereja lokal dan pemerintah lokal, peristiwa sejarah dua puluh tahun tugas penggembalaan Mgr. Hilarion Datus Lega, sebagai uskup Keuskupan Manokwari-Sorong dan sejarah hadirnya seorang Nuncio Apostolik di wilayah pedalaman Kepala Burung serta sejarah hadirnya aparat keamanan yang tidak lazim atau berlebihan.
Gereja lama yang dibangun oleh para misionaris melalui para tukang misi (sebut saja sapaan akrab mereka bapak Bame Tukang, Tawer Tukang, dan kawan-kawan masih sangat kuat). Ini adalah simbol pertumbuhan dan perkembangan iman di wilayah paroki St. Yosep Ayawasi. Bagi saya gereja fisik baru yang megah ini dibangun atas dasar gereja lama yang kuat. Gereja fisik yang megah dan kuat ini dibangun atas dasar dan oleh Gereja hidup (umat beriman) yang memiliki dasar iman Katolik yang kuat dan kokoh pula. Dalam arti ini gereja lama itu dihadirkan seperjalanan dengan persemaian, pewartaan dan pertumbuhan iman Katolik di wilayah ini. Kita pasti melihat bahwa di mana bangunan gereja ini terletak di sana juga ada sekolah misi, polik misi, susteran, pastoran, perkampungan masyarakat dan lapangan terbang misi. Gereja ini dan hampir semua gereja lama di Kepala Burung identik dengan para Augustinian karena merekalah yang menjalankan misi awal di Keuskupan Manokwari-Sorong. Mereka meletakan dasar iman Katolik, dan kemudian dijaga, diperhatikan, diperbaiki dan diteruskan oleh generasi selanjutnya.
Seturut catatan dan laporan panitia pembangunan, peletakan batu pertama pembangunan gereja baru pada 17 Juli 2015 yang dihadiri langsung oleh P. Frans Jonkorgouw,OSA, P. Arnoldus Nayzen,OSA dan P. Lambertus Pati,OSA (pastor paroki). Dari situlah proses selanjutnya berjalan. Dana yang dikeluarkan untuk pembangunan ialah 11 Miliar lebih. Proses pembangunan gereja paroki ini mengalami pasang surut teriring dengan persoalan-persoalan yang terjadi seperti keuangan, agenda pembangunan gereja-gereja stasi yang sedang berlangsung, dan perbedaan pilihan politik. Ada beberapa kali terjadi pergantian kepengurusan panitia pembangunan (jika saya tidak salah tiga kali). Karena ini adalah pekerjaan Tuhan dan Tuhan itu hebat, proses pembangunan mengalir dimanis. Swadaya umat, partisipasi beberapa kampung dan marga menjadi modal dasar. Dukungan pemerintah daerah (kabupaten Maybrat dan Provinsi Papua Barat) serta komunitas-umat asal paroki St. Yosep diaspora di pelbagai pelosok sangat berarti dalam menunjang roda pembangunan gereja. Di atas semua ini doa, harapan dan semangat yang luarbiasa menjadi spirit menopang, mendobrak, menguatkan dan mengubah segalanya.
Selanjutnya, sejarah berdirinya gereja baru ini tidak terlepas dari kerjasama dan pengorbanan semua pihak khususnya umat di paroki dan secara lebih istimewa umat di Ayawasi dan sekitarnya sejak awal pembangun dari tahun 2015 hingga pemberkataan tahun 2023 ini. Dengan demikian gereja ini dibangun atas dasar pengorbanan. Partisipasi dan bahu membahu menjadi kekuatan yang memacu perjalanan pembangunan. Dukungan finansial, material dan tenaga serta pikiran dari umat sekalian tidak akan pernah dinilai dan diganti oleh apapun. Yang pasti bahwa anak cucu mereka akan berceritera bahwa orangtua mereka pernah berpartisipasi tanpa syarat dalam membangun sebuah gereja baru. Tantang-tantang yang muncul silih berganti tidak pernah memudarkan apalagi mematikan semangat mereka. Misalnya masalah keuangan serta masalah pilihan politik sama sekali tidak membunuh semangat kesatuan dan kerjasama dalam menyelesaikan proyek besar yang bernama gereja paroki St. Yosep Ayawasi. Saya hanya mengatakan: masyarakat dan umat, kamu hebat. Anu rae ati.
Umat dan masyarakat yang dimaksudkan di sini tidak hanya mereka yang berdomisili di wilayah paroki ini tetapi juga orang Maybrat dan non-Maybrat yang berada di tempat lain seperti di Timika, Jayapura, Manokwari, dll. Mereka ini juga berkontribusi bagi pembangunan gereja baru ini. Demikian juga, dukungan pastor paroki, komunitas Agustinian (secara khusus P. Lambertus Pati,OSA sebagai pioneer pembangunan, P. Markus Malar,OSA sebagai successor yang melanjutkan, dan P. Felix Jangur,OSA sebagai successor yang menyelesaikan) dan para suster Fransiskan di Ayawasi pun tidak kalah pentingnya dalam rangka penyelesaian pembangunan gedung yang megah ini. Proyek besar dan berat ini akhirnya dapat dituntaskan tidak terlepas dari dukungan finasial dan material dari pemerintah lokal, perorangan, umat dan masyarakat.
Lalu, aspek ketiga adalah peristiwa sejarah perayaan perjalanan uskup Datus Lega selama 20 tahun di KMS. Uskup Datus adalah uskup ketiga setelah uskup Petrus van Diepen,OSA dan uskup F.X. Hadisumarta, O.Carm. Banyak perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi selama kepemimpian uskup Datus. Perubahan skala besar maupun kecil terjadi di internal keuskupan maupun di kalangan umat beriman. Hemat saya yang terbesar ialah pembangunan seminari dan penambahan jumlah imam projo di KMS serta pembangunan fisik bangunan gereja yang didukung langsung oleh pemerintah daerah.
Peristiwa sejarah keempat ialah kunjungan pertama seorang Duta Besar Tahta Suci Vatikan untuk Indonesia di daerah pedalaman KMS (jika tidak salah kunjungan Nuncio yang terakhir ialah pada saat peresmian Gereja Katolik Santo Petrus Remu dan peletakan batu pertama pembangunan Seminari Petrus van Diepen di Aimas pada tahun 2005). Kunjungan seorang yang mewakili Paus Fransiskus atau hirarki Gereja Katolik Roma di Indonesia ini telah mendapat perhatian bersama dan perlakuan yang baik. Dengan kehadirannya, dia dapat melihat dan menyapa langsung umat Katolik Papua di wilayah pedalaman. Maka tidak heran dan kaget bahwa hampir seluruh orang Maybrat, umat Katolik dan pelbagai kalangan lainnya menyambut dan melayani utusan Paus ini dengan respek dan keramahtamahan.
Akhirnya peristiwa sejarah terakhir ialah sejarah kehadiran aparat yang tidak lazim atau berlebihan (jumlah banyak dan senjata lengkap). Perayaan iman umat tanggal 29 Juni 2023 ini menjadi sedikit tidak lazim karena banyak anggota tentara dan polisi dengan berseragam lengkap mengikuti dan atau mengawal perayaan sacral umat Katolik. Hal ini sebagai sesuatu yang baru karena tidak pernah terjadi sejak awal paroki ini dan kampung-kampung dibentuk oleh para misionaris. Dalam laporan media Kompas tanggal 29 Juni 2023 dan AntaraNews tanggal 28 Juni 2023 disebutkan bahwa ada 900 personel yang terdiri atas 600 prajurit TNI dan 300 personel kepolisian ditugaskan untuk mengamankan kunjungan Nuncio, keberadaannya di Ayawasi dan selama kegiatan-kegiatan berlangsung. Jumlah personel keamanan yang hadir itu hampir atau sudah melampaui jumlah umat paroki St. Yosep Ayawasi sendiri. Bahkan persiapan pengamanan sudah dilakukan seminggu sebelum kedatangan Dubes Vatikan ke Kabupaten Maybrat menurut Danrem 181/PVT Brigjen TNI Juniras Lumbantoruan.
Memakanai Peristiwa Sejarah Iman dan Peradaban
Hemat saya peristiwa sejarah yang terjadi di Paroki Santo Yosep Ayawasi pada tanggal 29 Juni 2023 pada Pesta Santo Petrus dan Paulus memiliki beberapa makna yang perlu diungkap dan diperhatikan secara saksama.
1) Lautan Manusia di Ayawasi karena pesta umat, pesta rakyat: Mari kita meriahkan bersama
Kampung Ayawasi yang menjadi pusat paroki tiba-tiba bergemuruh lautan manusia pada tanggal 29 Juni 2023. Bahkan beberapa hari sebelumnya suasana ini sudah nampak. Banyak umat, masyarakat, pegawai, politisi, pebisnis, pelajar, tua-muda, anak-anak berdatangan dari segala penjuru. Ada yang menggunakan mobil dari Sorong, ada juga langsung mengambil jalan darat dari Manokwari, Bintuni, dan Tambrauw. Warga paroki tampak sangat antusias dalam menyambut momen special ini. Untuk para tamu undangan khusus telah disiapkan tempat untuk menginap atau beristirahat sebentar.
Tidak hanya itu, umat dan masyarakat juga berpartisipasi dalam semua ajang persiapan dan pelaksanaan acara. Mereka bekerja menurut pembagian tugas dari panitia peresmian seperti kendaraan-transportasi, kelompok yang masak, kayu bakar, air, panggung dansa traditional (Taro), tarian, keamanan, koor, misdinar, dan sebagainya. Menjelang hari pelaksanaannya para warga dan umat menyambut Duta Vatikan bersama rombongan. Diawali dengan tarian tradisional mama Aifat, lalu diikuti acara seromonial lainnya. Mama-mama menyambut duta, lalu lanjutkan dengan sambutan tarian dansa tradisional para bapa yang mengatar rombongan tamu ke Taro dan dilanjutkan dengan acara-acara berikutnya. Selanjutnya, banyak orang juga terlibat pada saat misa pemberkataan diadakan. Misa pemberkataan diawali dengan perarakan dari rumah bapak Ferdinandus Taa dengan pengawalan para aparat keamanan. Acara misa pemberkatan berjalan lancar. Misa ini diperindah dan dimeriahkan oleh paduan suara yang telah mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Suara-suara peserta Koor menambah keluhuran dan keistimewaan misa pemberkataan gereja. Juga, makanan-minuman yang disajikan oleh panitia memberikan kekuatan bagi fisik mereka. Singkatnya banyak pihak terlibat langsung maupun tidak langsung sehingga peristiwa sakral ini berjalan lancar, tertib dan aman serta sukses dari awal hingga akhir.
Saya dapat menyakini bahwa mereka semua tanpa syarat, tanpa diminta, dan tanpa dibayar terlibat dengan cara masing-masing karena mereka merasa memiliki acara ini. Mereka memberi diri dan mengorbankan waktunya demi mewujudkan kesukesan acara yang istimewa ini. Mereka lebih memikirkan dan mengutamakan peristiwa iman daripada peristiwa urusan keluarga mereka. Luar biasa. Rae wisau mkah mait.
2) Partsipasi aktif umat Katolik separoki membangun gereja fisik yang besar dan megah karena mereka sebagai tubuh mistik Gereja terlebih dahulu dibangun oleh para misionaris
Gereja fisik yang megah dan kuat ini dibangun atas dasar dan oleh Gereja hidup (umat beriman) yang memiliki dasar iman Katolik yang kuat dan kokoh pula. Umat ini terlebih dahulu dibangun oleh para misionaris baik misionaris religius (Augustinian, Fransiskan) maupun misonaris awam (guru, katekis, petugas kesehatan, pegawai pemerintah, polisi, tentara katolik, dll). Umat yang membangun gereja fisik ini karena mereka yang adalah tubuh mistik Gereja terlebih dahulu dibangun oleh para misionaris lewat pelbagai sarana pendidikan dan pembinaan serta pelayanan-pelayanan lainnya yang dimiliki oleh Gereja maupun pemerintah.
Prinsip sederhana take and give atau receive and give back dapat berlaku di sini. Anda memberi supaya anda mendapat, anda menerima karena anda memberi. Ini sejalan dengan sistem relasi kain timur. Keterlibatan umat separoki dan lintas paroki tentu terinspirasi dari pandangan bahwa semakin banyak anda menerima semakin besar dan dalam kewajibanmu untuk memberi atau membalas. Demikian juga dengan prinsip semakin banyak anda memberi dan membantu, semakin banyak anda akan mendapat. Sebaliknya semakin banyak anda menyimpan atau menahan (kain timur) semakin kecil keuntungan yang anda dapatkan.
Hemat saya, keterlibatan orang-orang Maybrat separoki maupun lintas paroki dan kabupaten merupakan sebuah ungkapan terimakasih dan syukur atas kebaikan Gereja lokal dan para misionaris yang meletakan dasar iman dan pembangunan manusia. Mereka tahu diri dan tahu berterima kasih. Mereka menyadari bahwa mereka pernah diperhatikan, didengarkan, dibantu, dibiayai, diselematkan, disekolahkan, dididik dan dibina oleh para misionaris. Terus terang saja bahwa orang Maybrat atau Tambrauw Katolik menyadari bahwa mereka lahir dan berkembang di bawah dan dalam rahim Gereja Katolik. Mereka merasa bersyukur karena mereka atau orangtua mereka pernah naik pesawat gratis, sekolah gratis dan Kembali dipekerjakan. Sekarang mereka memberi lewat cara ini. Oleh sebab itu jangan heran bahwa angka 11 Miliar lebih untuk pembangunan gereja paroki dan 4 Miliar lebih (sama dengan 40% biaya pembangunan gereja) untuk panitia penyelenggara misi pemberkatan bukan menjadi masalah besar yang membuat orang kaget dan bertanya-tanya.
3) Misionaris dan Bangunan Fisik: “Kita bangun manusia dulu, baru bangun bangunan” (A.Tromp) dan OAP mesti menjadi misionaris lokal bagi dunia mereka
Dari refleksi pertama kita beranjak ke makna kedua di mana saya hendak menyajikan kembali beberapa pokok pikiran saya yang disampaikan dalam kesempatan lain. Refleksi kedua ini mengarah bagaimana orang-orang Papua atau Gereja lokal sekarang menjadi misionaris lokal bagi dunia mereka. Pertanyaan-pertanyaan dasar: Mengapa para misionaris Agustinian (secara khusus) sejak awal tidak membangun gereja fisik yang megah di mana-mana di wilayah keuskupan? Mengapa tidak ada karya-karya yang besar milik biara Augustinian seperti sekolah atau universitas, rumah retret, usaha-usaha lain di kepala burung? Mengapa para misonaris Augustinian tidak membeli lahan tanah milik biara yang besar?
Jawaban sederhananya yakni misi kedatangan para Augustinian untuk membangun Gereja lokal secara total lalu akan dilanjutkan oleh Gereja lokal itu sendiri. Ordo Augustinian tidak memiliki harta benda yang cukup berarti di wilayah keuskupan karena memberi semuanya kepada Gerejal lokal dan memang demikian tujuan awalnya. Awalnya pikiran dan fokus para Augustinian sudah sangat jelas yakni membangun Gereja lokal bukan membangun dan mengembangkan karya-karya Ordo. Salah satu realisasi dari misi itu ialah mereka harus membangun manusia Papua lewat pendidikan agar orang-orang Papua itu kemudian membangun diri dan dunianya.
Oleh karena itu saya melihat bahwa mereka memegang pada prinsip bahwa wang (uang) bukan bikin wang (uang) tetapi uang harus bikin manusia dan bangun manusia dahulu baru bangun bangunan. Mereka hanya menjadi fasilitator pembangunan manusia sehingga manusia-manusia itulah yang akan membangun duniannya. Mereka harus menggunakan sumber-sumber yang diperoleh untuk mempersiapkan dan membangun manusia sebagai aktor-aktor perubahan sosial dan budaya terlebih dahulu supaya orang-orang itulah yang kemudian mengubah dan mentransfromasi dunia mereka. Secara singkat, orang-orang Papua kini menjadi misionaris lokal bagi dunia mereka.
Pemikiran tentang membangun manusia lalu menusia itu yang membangun dunianya menjadi kenyataan. Maka tanpa ragu saya menegaskan bahwa pemikiran dan aktualisasi dari pemikiran ini dapat terwujud. Pasca tiga puluh atau empat puluh tahun hingga lima puluh tahun evangelisasi, orang Katolik atau Protestan asli Papua saat ini membangun dunianya. Misalnya, pada tahun-tahun terakhir ini, kita dapat saja memperhatikan hal itu di beberapa kabupaten di ‘Kepala Burung’ seperti di Kabupaten Maybrat, Kabapaten Tambrauw, Kabupaten Sorong, Kabupaten Teluk Bintuni, dan sebagainya. Dibawah kepemimpian bapak Gabriel Assem di Tambarauw dan bapak Johny Kamuru di Sorong perhatian terhadap Gereja Katolik dan masyarakat asli Papua menjadi sangat besar dan mendalam. Hal ini juga terjadi di Maybrat di mana banyak alumni sekolah katolik (baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup) memainkan peran penting dalam pembangun fisik dan iman umat dan masyarakat Maybrat. Bukan hanya mereka yang berada di Kepala Burung saja, beberapa alumni sekolah katolik dan beasiswa keuskupan kini menjabat di pelbagai bidang di wilayah Jayapura, Timika, Manokwari, dll. Mereka kini menjadi pembangun atau misionaris lokal bagi dunianya.
4) Dari gereja fisik menuju Gereja hidup (Umat Allah)
Gereja fisik yang megah sudah hadir di tengah-tengah umat yang masih hidup dalam rumah-rumah sederhana dan sedang bergumul dalam memikirkan biaya pendidikan anak-anak mereka. Tugas selanjutnya yang paling berat ialah membangun Gereja hidup dalam aspek pengembangan iman umat, katekese, pelayanan pastoral, kunjungan pastoral, pelayanan liturgis, perhatian terhadap pelayanan pendidikan di kampung-kampung, pelayanan ketegorial, perhatian terhadap karya karitatif dan advokasi. Misalnya sikap dan tindakkan konkrit Gereja dalam mengadvokasi para pengungsi dan keberpihakan terhadap warga negara dan warga Gereja yang wilayahnya diduduki oleh aparat keamanan secara sepihak. Demikian juga perhatian terhadap pelayanan pendidikan di tingkat dasar di beberapa sekolah ditingkatkan supaya sekolah-sekolah katolik tidak boleh menjadi ‘sekolah dasar papan nama’. Polik misi juga mesti ditingkatkan sehingga orang sakit mudah mendapat akses pelayanan kesehatan.
5) Perayaan Iman Umat Biasa Seolah-Olah Menjadi Perayaan Umat Saat Darurat Militer dan di Medan Perang
• Banyak aparat keamanan: Intensi atau motif liturgis Vs murni motif militer
Perayaan iman umat tanggal 29 Juni 2023 ini menjadi sedikit tidak lazim dan sangat mengganggu penglihatan dan pikiran saya ketika saya mendengar dan melihat banyak anggota tentara dan polisi dengan berseragam lengkap mengikuti dan atau mengawal perayaan sakral ini. Saya mulai berpikir dan bertanya; Apakah semua tantara dan polisi yang banyak itu juga beragama Katolik dan memiliki intensi, misi dan motivasi liturgis dan iman yang satu dan sama? Misi atau intensi liturgis atau iman yang dimaksud ialah syukur, pujian, kenangan, permohonan bahkan persaudaraan, persekutuan, pengorbanan dan pelayanan. Umat katolik yang hadir pasti memaknai perayaan suci ini sebagai perayaan ucapan syukur, perayaan kenangan akan mistery paskah Kristus, perayaan kurban Kristus, perayaan kasih, perayaan keselamatan, perayaan Gereja dalam semangat persatuan dan pelayanan. Umat juga percaya bahwa para imam atau uskup yang hadir khususnya Mgr. Pioppo adalah presiden liturgi yang sah dan bertindak in persona Christi untuk mengumpul, mempersatukan, mengurbankan, menjamu, memberikan, menguduskan, memberkati, melayani serta mengutus. Saya yakin bahwa hampir seluruh aparat yang ada di sana memiliki agenda, misi, intensi dan motivasi yang amat berbeda sama sekali.
Saya yakin semua orang tahu bahwa ini upacara sakral, pesta iman umat. Karena perayaan ini adalah perayaan sakral maka wajib hukumnya bahwa peserta yang hadir adalah orang-orang yang layak dan pantas untuk mengambil bagian seperti orang katolik, umat protestan, orang Maybrat, dan pelbagai tokoh yang diundang. Pesta ini umpama Pokuo atau upacara-upacara dalam lingkaran hidup masyarakat Maybrat-Aifat seperti upacara masa kehamilan (morus tere atau mach tere), upacara kelahiran (naku pokuo/samu kre atau mbeak komuk), upacara pemberian nama atau upacara masa kanak-kanak (makuo hwiat/chowiat), upacara inisiasi (Inisiasi Wuon dan Fenia Meroh, upacara-upacara penyembuhan dan rekonsialiasi (Maut Hpa, Po Sitmi/ Po Sokamto, Manes Kaya dan Hamamos (ritual pengusiran roh jahat, rekonsiliasi dan penyembuhan), dan upacara syukur atas hasil pesta panen (Raot, Hwiat) (lih. Bame, 2012). Semua orang yang hadir dan terlibat di dalam upacara-upacara traditional tersebut adalah orang-orang yang layak dan pantas serta memiliki relasi-relasi, misi, intensi dan motivasi yang satu dan sama yakni motivasi spiritual, kultural dan sosial.
Supaya lebih jelas marilah kita melihat fenomena ini. Pria dewasa atau remaja tidak diperkenankan masuk dalam Samu Kre dan rumah pembinaan Fenia Mkiar/Fenia Meroh. Sebaliknya wanita bahkan pria biasa dilarang berkontak dengan kaum Pembina Wuon maupun para murid. Bahkan bepergian melewati area penyelenggaraan pendidikan Wuon pun tidak diperkenankan. Hanya rae wuon yang dapat melakukan pengusiran roh jahat (deliverance) atau penyembuhan (healing). Orang lain harus mempersiapkan hati dan membersihkan diri agar menerima manfaat pelayan para wuon. Demikian juga dengan orang yang tidak diundang tidak diperkenankan mengambil bagian dalam perayaan Raot atau Hwiat.
Mengapa semua demikian? Sederhana saja, orang Maybrat pasti tahu bahwa kehadiran atau kontak mereka akan membuat intensi atau motif dari upacara itu ‘dingin’, morem’, bencana, malapetaka, sanksi, kematian, ketidaksuburan hasil panen dan berburu KARENA orang-orang yang TIDAK PANTAS dan TIDAK LAYAK serta memiliki INTENSI, MOTIF yang berbeda itu mengambil bagian dalam suatu upacara sakral. Bandingkan saja dengan para aparat yang tampil tidak lazim dan mengambil bagian dalam acara pemberkatan gereja pada 29 Juni 2023.
Penjelasan di atas ada kaitannya dengan salah satu ciri agama Melanesia yakni kemujaraban/kemanjuran ritual adat. Menurut Whiteman sebagaimana dicatat oleh Alua bahwa ritual sebagai jembatan yang menghubungkan dunia empiris (dunia atas) dan dunia non empiris (dunia bawah). Upacara itu dapat berhasil dan mendatangkan keuntungan bila upacara itu dilaksanakan secara tepat dan benar. Kunci sukses suatu ritual adalah ketepatan dalam mengikuti pola atau tata cara ritual yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Salah satu unsur yang menentukkan ketepatan itu adalah kerahasiaan dan keikutsertaan pihak lain atau orang luar. Kehadiran orang lain hanya bersifat partisipan dan mereka tidak boleh mengikuti bagian-bagian inti sebuah ritual dan mereka tidak diperkenankan untuk mendengarkan pembicaraan kunci seperti pembacaan mantra-mantra. Jangan heran bahwa seringkali hal-hal kunci itu dibicarakan secara berbisik-bisik (memu ania mimara) atau tidak terbuka secara umum. Jikalau orang lain terlibat di dalamnya dan mendengarkan semunnya maka kemujaraban dari ritual itu tidak dapat terjadi (Alua, 2004, 22-24).
Meskipun hal ini berbeda dengan prinsip pewartaan Kristen yang bersifat terbuka dan misioner, saya pikir bahwa dalam prakteknya prinsip di atas juga dapat terjadi. Misalnya pada saat Yesus mengadakan Perjamuan Terakhir Bersama para rasul-Nya (Yoh 14:23-29). HANYA para rasul dan di TEMPAT TERTUTUP atau ruang atas. Hal ini berhubungan dengan esensi dan efektifitas dari ritual/perayaan perpisahan. Dalam arti bahwa para rasul adalah orang-orang yang khusus, kelompok inti dan kunci serta orang terpercaya. Mereka adalah orang-orang yang PANTAS DAN LAYAK mengambil bagian dalam upacara sekaligus mereka memiliki MOTIF, INTENSI DAN MAKSUD yang sama. Karena itu mereka adalah orang-orang yang PANTAS DAN LAYAK mendengarkan pesan kunci, penting dan terakhir dari Yesus. Yesus menyampaikan pesan terakhir itu dari hati ke hati dan tertutup untuk umum. Sementara itu, Yudas Iskariot, salah seorang rasul Yesus meninggalkan meja perjamuan karena dia memiliki MOTIF, INTENSI DAN MAKSUD yang berbeda. Dia adalah pribadi yang tidak PANTAS DAN LAYAK mendengarkan pesan kunci, penting dan terakhir dari Yesus.
Isi pesan terakhir Yesus ialah PERINTAH BARU (kasih vertical dan kasih horizontal) sebagai lawan perintah lama (gigi ganti gigi), JANJI berupa kehadirian Roh Kudus atau penyertaan Allah Tritunggal (“jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia”), dan BERKAT berupa janji atau jaminan hidup damai. Perintah baru yang berisi mengasihi sesama dan mengasihi Allah sebagai syarat mutlak perwujudan identitas dan pemuridan Yesus. Janji atau jaminan kedatangan dan kehadiran Roh Kudus dan penyertaan Allah Tritunggal adalah sesuatu yang terus-menerus dialami (Yoh 14:23-29). Damai adalah berkat pertama dan luar biasa dari Tuhan pasca kebangkitan-Nya (“damai Tuhan besertamu”).
• Banyak aparat keamanan: Antara kebutuhan umat dan tuntutan rantai komando
Apakah umat katolik dan masyarakat membutuhan aparat keamanan sebanyak itu? Atau ini merupakan ajang memamerkan kekuatan militer untuk meyakinkan ‘orang-orang pusat’ dan Indonesia lainnya bahwa inilah kenyataan di Maybrat, medan perang? Sekali lagi, perayaan iman umat tanggal 29 Juni 2023 ini menjadi sedikit tidak lazim dan sangat mengganggu pengelihatan dan pikiran saya ketika saya mendengar dan melihat banyak anggota tentara dan polisi dengan berseragam lengkap mengikuti dan atau mengawal perayaan sakral.
Di satu pihak, sebenarnya ruang sakral ini harus dijauhkan dari ruang profan. Ini adalah pesta atau perayaan iman umat Katolik. Maka orang katolik atau orang non-katolik yang menjadi pejabat negara atau pimpinan militer atau polri hadir di sana sebagai umat katolik dan non-katolik yang diundang. Semua jabatan duniawi mereka mesti ditanggal sejenak selama perayaan sakral berlangsung. Mereka tidak perlu merasa takut dan khawatir atas keamanan diri mereka. Di pihak lain, pada saat perayaan akbar ini, umat membutuhkan keamanan. Khususnya kehadiran para aparat adalah demi pengamanan para pejabat atau tamu resmi negara seperti duta, gubernur, kapolda, pangdam, bupati, dan lain sebagainya. Hal ini karena para pejabat ini mesti mendapat pengawalan khusus sesuai dengan SOP yang berlaku. Kita mengakui bahwa memang penyelenggaran acara sebesar itu harus memerlukan pengamanan tetapi tidak perlu berlebihan. Sebenarnya jumlah dan penampilan mereka harus dibatasi. Jangan terlalu berlebihan. Jika tampak seperti kemarin maka saya bisa berpikir bahwa seolah-olah misa pemberkatan gereja Paroki St. Yosep Ayawasi dilakukan di medan perang. Jadi, umat saat perayaan pemberkataan membutuhkan keamanan tetapi bukan tampilan aparat yang berlebihan dan dominan.
• Aparat keamanan yang berlebihan: Antara antipasti ancaman hingga tidak adanya bukti histrois kejahatan terhadap tokoh agama dan kegiatan keagamaan
Semestinya penyelenggara acara ini (pemimpin Gereja, pemerintah, tokoh umat dan semua umat paroki) harus membuktikan dan menyakinkan para tamu dan aparat keamanan bahwa wilayah Maybrat sangat aman. Dasar ukuran itu adalah analisis pastoral dan kegembalaan kita. Orang/pimpinan Gereja tidak perlu terlalu percaya pada analisis para militer dan mengikuti nasihat-nasihat mereka. Karena saya yakin bahwa pemberkatan gereja dan kunjungan Duta Besar Vatikan adalah perayaan umat Katolik maka tidak mungkin dan tidak pernah akan terjadi kekacauan saat acara berlangsung.
Mengapa demikian? Alasan utamanya ialah orang Papua termasuk mereka yang berjuang untuk kemerdekaan Papua sudah pasti tahu dan percaya bahwa pesta suci/sakral apapun termasuk misa pemberkatan gereja di Ayawasi tidak boleh dan tidak akan pernah diganggu atau dikacaukan apalagi dimanfaatkan. Kedua, khusus untuk Duta Besar Vatikan, kita jangan lupa bahwa Nuncio pertama-tama adalah seorang uskup atau kardinal dalam Gereja Katolik. Dia hadir dalam rangka kunjungan pastoral. Dia hendak bertemu dan berdialog dengan umatnya. Maka saya yakin bahwa dugaan dan analisis keamanan mengenai kemungkinan adanya tindakkan kriminal oleh kelompok yang pro kemerdekaan Papua tidak akan pernah terjadi. Kelompok orang Papua yang berjuang demi kemerdekaan sudah pasti tahu bahwa Duta Besar Vatikan untuk Indonesia adalah pimimpin Gereja mereka. Mereka tidak mungkin mengganggu. Uskup, pastor, suster, bruder, pendeta, guru jemaat, katekis, ustad, haji, dan pemimpin agama lain saja tidak pernah diganggu apalagi Nuncio yang sangat dihormati ini. Ketiga, tidak pernah ada peristiwa sejarah yang membuktikan bahwa kaum rohaniawan/rohaniwati dari agama apa saja pernah disandera, dianiaya dan dibunuh oleh kelompok pro Papua merdeka. Rumah ibadat pun tidak pernah dibakar atau dihancurkan. Juga kaum pro kemerdekaan tidak pernah mengganggu perayaan sakral apapun di Papua. Keempat, kelompok orang yang diduga akan melakukan kekacauan adalah orang Papua yang tahu adat dan percaya tentang apa itu tempat suci (sacred place-space), waktu suci (sacdred time), mana sebagai ‘kekuatan hidup’, kata-kata suci (sacred words), atau barang-barang suci dan pemali (sacred means). Mereka memiliki pandangan dunia yang terintegrasi baik dunia empiris (dunia atas) yang mencakup segala yang dapat dilihat dan disentuh dan dunia non-empiris (dunia bawah) yang mencakup roh-roh, kekuatan gaib dan kadangkala totem (bdk. Alue, 2004). Oleh karena itu, jikalau ada kelompok orang yang mengganggu apalagi merusak kegiatan sakral tertentu maka konsekuensi yang diterima berganda baik dari dunia atas (empiris) dan dari dunia bawah (non empiris).
• Banyak aparat keamanan: Berpegang dan percaya pada analisis pastoral-kegembalaan Vs analisis pihak keamanan
Bagi orang banyak kehadiran aparat yang tidak lazim di Ayawasi saat pemberkataan gereja adalah suatu yang biasa saja dan tampak sepele. Tapi bagi saya inilah suatu gambaran tentang daya pastoral, spiritual, dan kegembalaan yang bisa dikatakan tumpul karena kita (Gereja) lebih mengikuti analisis, tuntutan dan nasihat profan atau sekuler (dalam konteks ini nasihat pihak keamanan) dari pada kita mengikuti daya timbang kegembalaan dan menunjukkan sifat-sifat gembala yang baik. Ada yang berpikir, mereka tidak mau mengambil resiko karena Maybrat tidak aman, darurat. Ini adalah bahasa-bahasa, istilah-istilah profan yang diterima dan diterapkan utuh oleh masyarakat sipil termasuk pihak Gereja.
Gereja tidak perlu mengikuti analisis, tuntutan dan nasihat profan atau sekuler. Mengapa demikian? Sejatinya, rencana dan rancangan Gereja berbeda sekali dengan rencana dan rancangan militer. Mereka bekerja berdasarkan analisis intelejen, analisis keamanan, kita (Gereja) bekerja menurut analisis pastoral dan kegembalaan. Mereka memakai senjata, kita (Gereja) memakai kitab dan kata. Misi mereka melumpuhkan atau mematikan, misi kita (Gereja) adalah menghidupkan dan menyelematkan. Bagi mereka taat asas pada perintah tanpa bertanya, kita (Gereja) taat pada pimpinan dengan dialog dan dialektika. Mereka memerintah, kita (Gereja) melayani dengan kasih. Mereka berperang demi keamanan dan perdamaian, kita (Gereja) adalah sarana perdamaian itu sendiri.
• Implikasi apparat keamanan: Benarkah ini legitimasi pendekatan keamanan?
Hemat saya hadirnya para pasukan keamanan dengan senjata lengkap dan dalam jumlah yang berlebihan ini dalam upacara pemberkataan gereja Paroki Santo Yosep Ayawasi meninggalkan beberapa catatan. Pertama, kehadiran itu akan menjadi indikasi dan legitimasi bahwa Maybrat adalah sebuah daerah rawan atau daerah perang sehingga penambahan pasukan keamanan menjadi suatu kebutuhan dan keharusan. Karena informasi dan pemberitaan mengenai peristiwa sejarah pemberkataan dan kunjung Nuncio meluas maka banyak pihak yang buta huruf tentang Papua dan Maybrat (seperti anggota DPR RI, para petinggi militer dan masyarakat Indonesia lainnya) akan selalu mendukung kebijakan apapun yang diambil oleh negara maupun pihak keamanan. Simpati publik Indonesia yang tidak tahu situasi real akan menjadi besar terhadap penerapan pendekatan keamanan (security approach) dalam menangani pelbagai masalah di Papua khususnya masalah di Maybrat. Hadirnya pasukan keamanan yang berlebihan bisa saja akan menjadi legitimasi operasi militer atau paling tidak pengiriman pasukan keamanan sekaligus pembukaan pos-pos baru secara sepihak.
• Kehadiran Nuncio bisa saja membawa berkat sekaligus kegembiraan dalam ketakutan secara batin
Mengapa pasukan keamanan dengan seragam lengkap begitu banyak mengikuti perayaan ini? Kehadiran aparat yang tidak lazim atau berlebihan ini (jumlah banyak dan perlengkapan siaga) tentu memberi dampak tertentu. Katanya mereka ikut mengawal atau mengamankan perayaan. Padahal hemat saya kehadiran mereka dengan cara demikian saja sudah pasti melahirkan rasa takut dan trauma dalam diri setiap orang. Orang bisa saja bergembira dan berpesta dalam keadaan tidak bebas atau ‘ketakutan’ karena mereka dijaga, diamati, diawasi dan diikuti. Seolah-olah kampung Ayawasi dan sekitarnya adalah medan perang dan penjara besar. Para penyelenggara perayaan umat ini (pemimpin Gereja, umat, tokoh umat dan pemerintah daerah) mesti juga mempertimbangkan aspek psikologis masa ketika mereka berkontak dengan pasukan/aparat militer dengan seragam lengkap. Masyarakat Papua tidak terkecuali orang Maybrat sudah mempunyai pengalaman penderitaan panjang (memoria pasionis) dengan aparat militer Indonesia.
6) Kemuliaan tiga komunitas Gereja: Kemuliaan di bumi seperti di dalam surga bagi para peletak dasar atau pencetus yang ada di bumi dan di surga.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa ada tiga jenis Gereja (umat Allah, umat beriman) yakni Gereja yang masih berziarah di dunia atau Gereja peziarah (kita yang masih hidup), Gereja yang berada di purgatori atau api penyucian (jiwa-jiwa yang belum dimurnikan atau diselematkan) dan Gereja yang sudah berjaya mengalami kebagian abadi termasuk di dalamnya para kudus yang (persekutuan para kudus) dan semua umat beriman meskipun sebagian besar belum atau tidak dinyatakan kudus seturut hukum gerejawi.
Perayaan iman dan peradaban tanggal 29 Juni tidak bisa terlepas dari kerja keras, kemurahan hati, dan pertolongan banyak orang baik yang masih mengembara di dunia ini maupun saudara-saudari yang telah berpulang ke surga. Setiap orang yang terlibat dengan caranya masing-masing harus mendapat penghargaan yang selayaknya. Menghargai pendahulu kita menunjukan kebesaran kita sebagai sebuah komunitas beriman (bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu sejarahnya dan menghormati para pendahulunya). Bagi mereka yang telah meninggal mesti disebutkan nama mereka, dipanggil roh-roh mereka dan didoakan. Kita jangan lupa untuk menyebutkan nama mereka dan mendoakan mereka. Karena selama masih hidup mereka terlibat secara langsung atau tidak dalam pembangunan iman dan gereja fisik di wilayah paroki. Mereka telah menjalankan amanat doa ‘Bapa Kami’ di mana mereka dan kita memuliakan Tuhan di bumi seperti di surga [“Bapa kami yang ada di surga, dimuliakanlah nama-Mu, datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga”].
Saya yakin meskipun tidak melihat bahwa mereka juga hadir dalam perayaan meriah ini. Mereka ikut memeriahkan acara itu mesti tidak kelihatan. Mereka telah memuliakan Tuhan dengan kebaikan-kebaikan selagi masih hidup dan pujian saat di surga sehingga mereka pantas untuk dihargai. Saya percaya bahwa mereka yang hidup di alam yang berbeda ini juga ikut memeriahkan perayaan sejarah ini. Kita sebut saja keluarga-keluarga dari marga Tenau, Kosho, Yumte, Air, Kocu, Fatie, Kosamah, Fanataf, Wafom, Saa, Baru, Bame, Turot, Taa, Korain, Semunya, Nauw, Kinho, Sedik, Sasior, Fatem, Assem, dan seterusnya. Mereka semua turut memuliakan Tuhan dalam perayaan abadi di surga.
Mereka adalah para leluhur historis umat paroki St. Yosep. Khususnya kita harus menyebutkan roh-roh dari nama-nama para kepala suku, tuan tanah, panglima besar, tokoh besar, rae popot, tukang sihir, pemimpin kelompok. Selain itu, para leluhur mitis yang hidup pada zaman primordial (pencipta, penyebab benda dan keadaan sekarang). Representasi mereka dalam barang pusaka (kain timur pusaka) atau tempat sakral. Tokoh leluhur mistis inilah yang dipercaya membuat segala yang ada (Takuo, Fre, Siwa, Mafif, Yefun). Tokoh leluhur mitis mesti mendapat tempat dalam perayaan suci dan agung tanggal 29 Juni lalu (bdk. Alua, 2004, 28-29).
Secara khusus, kita sebagai Melanesia kita percaya bahwa kita membutuhkan leluhur historis dan sebaliknya mereka juga membutuhkan kita. Relasi harmoni dan resiprositas ini memberi manfaat pada dua pihak (kita dan roh-roh leluhur. Roh-roh leluhur kita sangat membutuhkan doa-doa dan persembahan kita. “Hubungan ini bukanlah demi harmoni sepihak, melainkan dua pihak yang saling mengguntungkan. Manusia tergantung pada roh-roh leluhur bagi kebahagian hidupnya, demikian pula roh-roh leluhur itu tergantung pada manusia bagi kesejahteraannya” (Alua, 2004, 35).
[Ana mpat saweron rana tetara mama, fayier po, mama msia anu pkuo hwiat mase, pkuo amah tna. Maka anu harus ptu masom rana, po kak o poit pe ana, pkias ana mama msia anu uu. Anu pyuoh ana me makit rana, mhaf rana, mae rana mkah anu, mkah posatoah ranu. Pkias ana mama matam wa anu wisau. Pno fito mati anu musiah pkai kak, pme fane, pno safo fe, po po matot. Sroh ni ane mae] Maybrat-dialek Aifat utara.
SACS-Filipina, 05 Juli 2023