Manyadarkan Seseorang yang Berbuat Salah Secara Empat Mata, Jauh Lebih Efektif

195
P. Daniel W. Wegaibi Gobai, Pr.

(Mat. 18:15-20)

KOMSOSKMS.ORG – Dosa merupakan suatu hasil buruk, hal tidak baik, tidak terpuji, tidak senonoh, hal melukai, hal menodai yang dilakukann oleh manusia entah secara individual, mandiri atau otonom maupun tindakan yang dilakukan secara komunal dua atau lebih orang. Dosa lahir ketika manusia melupakan kebaikan dan kemuliaan bagi Allah, sesama, alam sekitar dan diri sendiri. Karena itu, dosa pada hakikatnya sungguh merusak relasi empat rangkap; merusak hubungan pendosa dengan Allah, sesama, alam sekitar dan diri sendiri. Singkatnya, dosa pada dasarnya merusak hubungan harmoni, hubungan baik, hubungan luhur, hubungan indah antara manusia dengan Allah, sesama, alam sekitar dan diri sendiri.

Sekalipun dosa dipikirkan sebagai sesuatu yang buruk, kotor, najis, tidak terpuji dan karena itu semua orang, entah pribadi atau kelompok perlu menghindari untuk tidak melalukannya lagi. Namun kerapkali, kenyataan dan faktanya manusia selalu memiliki kecenderungan untuk berdosa lagi. Kita menyebut, “semangat dan kecenderungan berbuat dosa ini dengan istilah konkupisentia”.

Kendati antara idealita dan realita bertolak belakang, Allah selalu menawarkan jalan keluar yang baik dan benar, yakni jalan pertobatan. Bahkan Allah memberi kesempatan kepada kita untuk memperbaiki segala tindak tanduk perbuatan kita yang mendatangkan dosa dan maut bagi diri kita sendiri di satu sisi, namun di lain sisi, kita pun dapat membantu dan menyelamatkan sesama saudara/i kita yang berdosa dengan aneka daya upaya yang baik agar seseorang berubah dan bertobat dari seluruh tindak/tanduk yang tidak baik dan melukai relasi empat rangkap tadi.

Menurut teks injil, Mat. 18:15-20 mengenai, “menasehati sesama saudara” mengajarkan kita, bagaimana ketajaman dan kedalaman iman dan belas kasih seseorang yang beriman, perlu bertindak untuk menolong dan menyelamatkan sesama saudaranya yang berdosa. Untuk itu, Penginjil Matius hendak memperlihatkan kerinduan dan maksud Tuhan yang sejati, agar semua orang, tanpa terkecuali dapat selamat dan tidak binasa.

Tentu bahwa, seorang pendosa adalah seorang pribadi yang bermartabat dengan segala kekhasan dan keunikannya, yang khas dan otentik sebagaimana yang melekat pada dirinya sebagai rahmat terberi dari Allah, maka Tuhan pertama-tama mengajak kita agar berbicara, menegur dan mengingatkan seseorang yang berbuat dosa secara empat mata. Apa artinya berbicara secara empat mata? Supaya kita tetap menunjukkan sikap cinta kasih yang tulus dan iklas kepada saudara kita, siapapun dia dan apapun latar belakangnya. Niat dan cinta yang tulus dari kita bagi saudara kita yang jelas-jelas berdosa, pertama-tama perlu dimulai dari sikap dan tindakan kita untuk menghargai, mengampuni dan menghormati martabat pribadi si pendosa. Karena itu, kita perlu belajar dari sikap Yesus, Dia senantiasa mencintai manusia “pendosa” walaupun Ia sungguh membenci dosa kita.

Ketika kita berkehendak baik untuk mengubah dan mempertobatkan seseorang di sekitar kita yang berdosa, namun nyatanya ia tidak mau mendengarkan dan bertobat, kita tidak perlu patah hati. Kita tidak perlu membenci, apalagi pergi meninggalkan dia dalam keadaan dosa. Kita tidak perlu pergi meninggalkan dia lantaran karena dia tidak mau mendengarkan kita. Tidak perlu berbuat sekejam itu, sebab meninggalkan pendosa sama artinya dengan meninggalkan martabatnya, keluhurannya, kemuliaan dirinya.

Sebuah pertanyaan reflektif bagi kita, apakah Tuhan meninggalkan kita, ketika kita berdosa? Jawabannya tentu tidak. Dia tetap mencintai kita, bahkan rela mati demi menebus dan menyelamatkan kita agar selamat memperoleh sukacita abadi di Surga sesuai janji-Nya kepada manusia. Jika faktanya demikian, bahwa Ia tetap mencintai kita, lantas mengapa kita mau meninggalkan seorang pendosa hanya karena ia tidak mendengarkan nasihat dan teguran baik dari kita?

Perlunya saksi lain, satu atau dua orang bahkan perlunya kehadiran banyak umat Allah dalam memberi pengertian dan pemahaman yang baik dan benar kepada seseorang yang berdosa (sebagaimana kita mendengarkan dalam bacaan Injil), justru memperlihatkan dimensi tanggungjawab sosial kita kepada si pendosa. Sebab, kita mengingat kenyataan dosa selalu juga merusak relasi sosial, sehingga ketika pendosa enggan untuk mendengar teguran dan nasehat satu atau dua orang barangkali kita perlu kehadiran sesama lainnya, untuk memperteguh dan menjernikan jalan pikirannya agar seorang dapat bertobat, bukannya menelanjanginya atau menghina keluhuran martabatnya. Atas dasar ini, kehadiran kita bagi sesama yang berdosa, ketika dilandasi oleh cinta yang murni, niat yang baik dan tulus bin iklas, niscaya kita percaya Tuhan akan hadir, bertindak dan akan mendengarkan doa dan maksud hati kita. Juga tindakan kita yang mulia menambah sukacita bagi dunia dan surga, karena kita telah memenangkan satu juga bagi Tuhan karena jalan tobatnya.

Akhirnya menjadi jelas bagi kita, bahwa Tuhan sejatinya akan selalu hadir bukan hanya pada saat kita duduk bersama dan berdoa kepada Tuhan, Ia justru hadir dan kasih Allah menjadi nyata ketika kita hadir bagi sesama yang berdosa, sesama yang susah dan menderita akibat dosa dan penderitaan. Dengan demikian, kita ingat sabda Tuhan, barangsiapa berkata, Aku mengasihi Allah, tetapi membenci saudaranya, dia sama dengan seorang pendusta (Bdk 1Yoh. 4:20b), karena barangsiapa tidak mengasihi saudara yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya.

Tuhan memberkati kita sekalian.

Daniel W. Wegaibi Gobai, Pr.