JAKARTA, KOMSOSKMS.ORG — “Sinode bukan sekadar peristiwa atau dokumen,” tegas Uskup Pangkalpinang, Mgr. Adrianus Sunarko, OFM dalam sesi pertama Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025 yang berlangsung di Ballroom Hotel Mercure Convention Center, Ancol, Jakarta Utara. Dalam pemaparan bertajuk Gereja Sinodal (Dokumen Akhir Sinode 2021–2024), Uskup Sunarko mengajak seluruh umat beriman untuk memahami sinodalitas sebagai “modus vivendi et operandi” — cara hidup dan cara bekerja Gereja masa kini.
Menurutnya, sinodalitas bukan milik segelintir elit Gereja, melainkan berakar kuat pada pengalaman hidup umat di paroki dan komunitas basis. “Sinode dimulai dari konsultasi di tingkat keuskupan, dirangkum oleh KWI, dilanjutkan di tingkat kontinental melalui FABC, hingga mencapai puncaknya di Roma,” jelasnya. Karena itu, tidak heran jika banyak bagian Dokumen Akhir Sinode mencerminkan realitas Gereja di Indonesia.
“Dokumen ini menunjukkan bahwa sinodalitas sudah menjadi bagian hidup dari banyak komunitas kita,” kutipnya. Sekaligus, ia memberi arah ke depan: langkah-langkah yang harus dipraktikkan dan cakrawala baru yang perlu dijelajahi.
Gereja Sinodal: Komunio, Partisipasi, Misi
Mgr. Sunarko menekankan tiga fondasi Gereja Sinodal: communio, partisipasi, dan misi. Communio adalah syarat utama kredibilitas pewartaan Gereja, namun ia harus terus dibangun dan diperbarui dalam terang misi. “Partisipasi seluruh umat Allah sangat penting,” katanya, “karena setiap orang dipanggil untuk ambil bagian sesuai karisma dan tanggung jawab masing-masing.”
Sinodalitas ini terwujud dalam gaya hidup Gereja — melalui dialog, discernment, dan kebersamaan — sekaligus dalam struktur dan proses seperti dewan pastoral atau keuskupan. “Sinode bukan sekadar rapat atau sidang,” tegasnya, “tetapi proses berjalan bersama, mendengarkan, dan melayani.”
Subjek Gereja: Seluruh Umat Allah
Berdasarkan Sakramen Baptis, setiap orang beriman memiliki martabat setara dan berperan serta dalam peran kenabian Kristus. Sakramen Krisma memperkuat kesaksian hidup, dan Ekaristi menjadi cermin utama sinodalitas: partisipasi aktif semua umat dalam liturgi, dipersatukan oleh imam sebagai pemersatu.
Mengutip Paus Fransiskus, Mgr. Sunarko menegaskan bahwa “sinodalitas adalah kerangka paling tepat untuk memaknai pelayanan hierarki.” Hierarki bukan dominasi, melainkan pelayanan demi persatuan dan misi Gereja.
Relasi dan Rekonsiliasi dalam Communio
Communio, menurut Dokumen Akhir Sinode, adalah jejaring relasi: dengan Allah, sesama, dunia, dan seluruh ciptaan. Di tengah dunia yang berubah cepat, Gereja dipanggil untuk memperluas jejaring relasinya dan menghidupi persatuan di tengah keberagaman. “Kesatuan bukan keseragaman,” ujarnya, “melainkan harmoni dalam keberagaman.”
Teladan utamanya: Yesus Kristus, pemimpin yang mendengarkan, berdialog, mengampuni, dan melayani. Karena itu, spiritualitas sinodal harus memuat unsur pertobatan dan rekonsiliasi — sebagaimana diungkap dalam ibadat tobat yang mengawali sidang sinode di Roma 2024.
Mgr. Sunarko juga menyinggung pentingnya penghargaan terhadap kaum perempuan dalam Gereja. “Bahasa dan dokumen-dokumen Gereja harus mencerminkan kehadiran dan peran perempuan dalam iman dan pelayanan Gereja,” ujarnya.
Discernment: Pembedaan Roh Bersama
Sebagai komunitas yang berjalan bersama, Gereja Sinodal ditantang untuk hidup dalam discernment atau pembedaan roh bersama. “Discernment bukan sekadar teknik organisasi,” katanya, “tetapi praksis spiritual yang berakar pada iman, kerendahan hati, doa, dan kepercayaan.”
Ia juga menyoroti keseimbangan antara otoritas dan partisipasi. Otoritas tetap perlu, namun harus dijalankan dalam semangat dialog, transparansi, dan akuntabilitas. “Tanpa transparansi, klerikalisme justru akan menguat,” tegasnya.
Misi dalam Dunia Digital dan Postmodern
Gereja Sinodal adalah Gereja yang keluar, Gereja misioner. “Komunitas Gereja tidak boleh berkutat pada dirinya sendiri,” ujarnya. Dalam konteks dunia modern — urbanisasi, migrasi, budaya digital — Gereja harus hadir dan relevan. Kaum muda digital, khususnya, butuh pendampingan dalam ruang virtual yang kini menjadi tempat mereka berjumpa dan bertumbuh dalam iman.
Di tengah krisis demokrasi, ketidakadilan sosial, dan meningkatnya otoritarianisme, Gereja Sinodal menjadi tanda kenabian: menawarkan gaya hidup alternatif berbasis dialog, solidaritas, dan persaudaraan.
Sinode: Jalan yang Masih Berlanjut
Proses Sinode 2021–2024 belum selesai. Saat ini, sepuluh kelompok ahli bekerja mendalami topik seperti peran orang miskin, Gereja digital, pelayanan khusus, hingga kemungkinan diakon perempuan. Hasilnya akan dipublikasikan pada Desember 2025, sedangkan tahap implementasi akan berlangsung sampai 2028.
Mengutip Paus Leo XIV, Mgr. Sunarko menutup refleksinya: “Jalan untuk bergerak maju bukan dengan menghapus perbedaan, melainkan membiarkan Roh Kudus memurnikan dan menyatukan kita dalam harmoni.”
Ia pun mengajak seluruh umat untuk menghidupi semangat sinodal secara konkret dalam kehidupan sehari-hari. “Sinodalitas bukan hanya dalam sidang,” ujarnya, “tetapi dalam cara kita berjalan bersama sebagai umat Allah — demi communio, partisipasi, dan misi.”
Sumber: Mirifica.net





