JAKARTA, KOMSOSKMS.ORG – Profesionalisme dalam tata kelola Gereja kini menjadi salah satu perhatian utama, terutama dalam bidang komunikasi sosial. Gereja tidak cukup hanya berjalan berdasarkan semangat panggilan, tetapi juga perlu mengadopsi prinsip manajemen modern agar karya pewartaannya semakin efektif dan relevan dengan zaman.

Hal ini ditegaskan Romo Thomas Ulun Ismoyo, Pr, Wakil Sekretaris Uskup Agung Jakarta, dalam pemaparannya berjudul “Profesionalisme dan Tata Kelola Gereja – Inspirasi bagi Pelayanan Komunikasi Sosial” pada Rapat Pleno Komisi Komsos KWI 2025 di Jakarta, Sabtu (23/8/2025).
Lima Prioritas Program Komsos KWI
Dalam pemaparannya, Romo Ulun menjelaskan lima prioritas utama program Komsos KWI, yaitu: Kerja sama internal dan eksternal, Keterlibatan orang muda, Kelengkapan organisasi dan tata kelola, Ketersediaan dokumentasi yang baik, dan Kemandirian finansial karya komunikasi sosial.

Menurut Romo Ulun, ada perbedaan antara calling (panggilan) dan profesionalisme dalam pelayanan Gereja. “Adagium lama pastor bukan manajer tidak lagi relevan jika dimaknai secara kaku. Gereja menawarkan nilai dan perspektif, sementara ilmu manajemen menyediakan metode. Keduanya bisa saling melengkapi,” ujarnya.
Contoh Praktik di Keuskupan Agung Jakarta
Sebagai contoh, Romo Ulun menyebut penerapan prinsip tata kelola modern di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) melalui evaluasi kinerja imam. Evaluasi ini dilakukan dengan melibatkan umat melalui survei, sehingga para imam menerima masukan langsung untuk pengembangan pribadi maupun pelayanan pastoral.
“Tujuannya bukan demi kesejahteraan material, melainkan untuk refleksi dan peningkatan kompetensi pastoral,” jelasnya.
Ia menegaskan, tata kelola yang baik bukan untuk membatasi kebebasan para imam atau pelayan Gereja, tetapi untuk membantu mereka berkembang sesuai kebutuhan zaman. “Dengan umpan balik yang terarah, pelayanan pastoral menjadi lebih efektif dan sesuai harapan umat,” tambahnya.
Reformasi Kuria Romana dan Inspirasi bagi Komsos
Romo Ulun juga menyinggung reformasi Kuria Romana melalui konstitusi apostolik Predicate Evangelium yang dikeluarkan Paus Fransiskus pada 2022. Reformasi ini menegaskan pentingnya desentralisasi, solidaritas, serta struktur pelayanan yang akuntabel dan transparan.
“Kepemimpinan Gereja kini tidak eksklusif bagi kaum klerus. Awam pun dapat memimpin dikasteri, asalkan memiliki kompetensi yang memadai,” ungkapnya.
Dalam konteks komunikasi sosial, inspirasi dari Predicate Evangelium diterjemahkan dalam pendekatan “4D” (Discovery, Dream, Design, Deploy):
Discovery: mengenali kekuatan dan sumber daya yang dimiliki Gereja; Dream: merumuskan visi pewartaan Injil sesuai panggilan Kristus;
Design: merancang tata kelola yang lengkap, mulai dari keterlibatan orang muda hingga kemandirian finansial; Deploy: mengeksekusi strategi di tingkat lokal dengan semangat solidaritas dan sinodalitas.
Romo Ulun juga mengingatkan tentang tantangan baru berupa perkembangan kecerdasan buatan (AI). “AI menawarkan peluang besar, tetapi juga menguji kreativitas dan integritas pewartaan kita. Gereja harus mampu menggunakan teknologi tanpa kehilangan jati diri,” katanya.
Ia menutup pemaparannya dengan ajakan agar para pelayan komunikasi sosial mengedepankan profesionalisme sekaligus sukacita. “Selamat melayani dengan gembira dan profesional,” pungkasnya.
Komsos: Dari Dokumentasi Menuju Pusat Evangelisasi Digital
Pandangan senada disampaikan Tri Agung Kristianto, Wakil Pemimpin Umum Kompas. Menurutnya, pelayanan komunikasi sosial di Gereja perlu melakukan transformasi serius.
“Dulu Komsos identik dengan foto misa atau warta mingguan. Sekarang Komsos ditantang menjadi pusat evangelisasi digital: konten refleksi, renungan singkat di Instagram atau TikTok, podcast rohani, hingga film pendek pastoral,” ujarnya.

Tra — demikian ia akrab disapa — menegaskan bahwa Komsos akan menjadi jembatan utama Gereja dengan generasi digital. Komsos membantu paroki dan keuskupan untuk hadir di ruang publik dengan wajah yang ramah, komunikatif, dan penuh harapan.
“Masa depan Komsos sangat tergantung pada keberanian Gereja melihat komunikasi sebagai karya inti, bukan tambahan. Kalau diberi ruang, SDM, dan dikelola profesional, Komsos bisa menjadi tulang punggung pewartaan. Kalau tidak, Komsos hanya akan jadi dokumentasi acara dan ditinggalkan umat yang haus pewartaan segar,” tegasnya.
Profesionalisme untuk Pewartaan yang Lebih Hidup
Rangkaian pemaparan dalam Rapat Pleno Komisi Komsos KWI ini menegaskan bahwa Gereja perlu berani mengelola karya komunikasi sosial secara profesional. Profesionalisme tidak berarti kehilangan semangat pelayanan, melainkan memperkuat misi Gereja dalam menghadirkan Injil di tengah dunia modern.

Di tengah derasnya arus informasi digital, karya komunikasi sosial ditantang untuk melampaui sekadar dokumentasi dan berubah menjadi pusat evangelisasi digital — menjangkau umat muda, mengolah pesan Injil dalam format yang kreatif, dan tetap setia pada nilai-nilai iman.