(MS)
Saya tulis kisah ini saat Kota Aimas pada awal November diguyuri hujan. Hujan itu dibawa angin hingga menerobos masuk dalam rumah kami. Hujan bisa dikatakan pembawa berkat juga bisa menjadi bencana. Namun untuk kami hujan pada saat itu bisa dikatakan sebuah berkat. Hujan membuat para petani yang tanahnya gersang tersenyum bahagia. Itulah kebahagian bagi mereka yang saban hari bergelut dan bergulat dengan tanah. Tak hanya mereka kami pun demikian senangnya. Kami memang sudah lama menantikan berkat itu hingga akhirnya ia jatuh juga di atap rumah kami. Saat itu tak ada orang lain di rumah selain saya, dan Ino sebagai tamu. Saya sebagai tuan rumah berkewajiban secara moril untuk melayani tamu yang walaupun hanya satu orang. Kehadirannya adalah kegembiraan untuk saya. Sesungguhnya ia kerabat paling dekat dengan saya. Kami berdua mendapat status sebagai pamong yang sudah cukup lihai dalam berfilosofi. Untuk itulah ketika ia bertandang ke rumah saya ia tak membawa apa pun, selain ide yang sudah kami sepakati untuk didiskusikan bersama. Sebuah ide tentang peranan para penyair. Maka cerita ini pun mulai dibuka.
“Menurut saya penyair sangat berperan penting dalam membangun kejayaan negeri kita, karena penyair bisa mengungkapkan bukan hanya sekadar masalah yang tampak ke permukaan tetapi ia lebih dari itu. Penyair justru dengan imajinasinya mampu mengungkapkan apa yang menjadi penyebab dari sebuah masalah, melalui bahasa sastranya” Kata Ino lugas.
“Saya tidak sependapat dengan ko. Bagi saya penyair itu hanya sekadar menuangkan imajinasi tentang kehidupan di atas kertas dan tidak benar-benar masuk ke dalam kehidupan itu sendiri,” Timpalku.
“Ko keliru sobat, justeru penyair mengungkapkan sesuatu lewat tulisannya atas dasar adanya sebuah masalah sosial dalam kenyataan hidup kita manusia. Penyair tidak pernah menulis dari kekosongan. Ia menulis tentang sebuah fakta yang dibahasakan secara estetis, melalui bahasa sastra,” Ino mempertahankan pikirannya.
“Ko tidak boleh secepat itu mengambil kesimpulan bahwa saya keliru. Ko belum memberi bukti yang kuat kepada saya kalau memang panyair itu punya pengaruh yang besar dalam membangun negeri ini,” Saya membantah keras.
“Penyair itu sama dengan nabi sobat, ia menyuarakan tentang ketimpangan sosial,” Katanya melanjutkan.
“ Yang saya amati selama ini penyair itu sesungguhnya hanya tahu mengeritik segala sesuatu yang tidak beres dalam masyarakat kita, Penyair tidak pernah memberi jalan keluar atas setiap persolan yang kita hadapi di negeri tercinta ini,” Kataku ketus.
Kau tahu, ia terdiam seribu bahasa. Hingga hujan di luar rumah kembali reda. Kami kehabisan kata untuk saling menyerang. Lalu kami memilih diam sesaat. Kami bersitatap mengisyaratkan tidak ada gunanya berdebat. Kata-kata saya kerap kali mengganggu ketentraman jiwanya, bagai panah yang terlepas dan menikam jiwanya yang suci. Dan panah itu tak akan bisa ditarik kembali sekali ia terlepas merobek jiwanya hingga berkeping-keping. Kekalahannya adalah sebuah kegembiran bagi saya. Saya merasa di atas awan setelah ia saya bantai dengan serangan maut. Bukan sekali itu ia saya kalahkan namun berkali-kali. Di mana pun pun saya tidak membiarkan ia dibenarkan. Sayalah yang paling jago dalam permainan kata untuk menaklukkan lawan bicara. Saya dalam hal melemahkan semangat orang lain untuk berjuang cukup lihai. Hingga ia jatuh tak berdaya, lalu bergegas pulang. Seperti biasa ia selalu tersenyum seolah-olah dendam tidak bisa melekat dalam hatinya.
Ia berpamitan sebentar lalu menghilang dalam kabut. Kepergiannya meninggalkan sebuah novel yang kerap kali saya memandangnya tak berguna. Membaca novel bagi saya hanya pekerjaan orang yang tidak punya pekerjaan. Itulah kalimat yang sudah lama bergelantungan dalam benak saya. Namun entah angin apa yang menggerakkan saya, untuk membaca novel sore itu. Diam-diam saya membuka novel yang berjudul Sang Alkemis karya Paulo Coelho. Novel kepunyaan Ino yang terlupakan di rumah saya. Sepertinya ia baru beli dari toko buku. Saya mencoba memulai membacanya dari halaman pertama, kemudian halaman berikutnya, dan halaman berikutnya lagi. Lantaran ceritanya menarik saya memutuskan untuk melahap novel itu hingga selesai.
“Dasyat benar novel ini,” Kataku kepadamu. Lalu kau tanya apa inti dari novel itu? Dengan tenang saya mengutip kembali bagian kalimat yang paling penting dari inti novel itu, “Jika kita memiliki suatu keinginan, maka seluruh jagat raya akan bersatu padu membantumu untuk mewujudkannya.” Itulah filosofi dasar dari novel itu. Kataku kepadamu. Lalu karena kau juga tertarik dengan cerita saya, kau meminta untuk meminjamnya dari Ino untuk kau baca.
Kau masih ingat ketika saya bertemu dengan Ino di Asrama SPvD keesokan harinya. Saya memgembalikan novelnya. Seketika saya menyampaikan, novel yang ia beli sangat menginspirasi setiap orang yang membacanya.
Ino mengulum senyum dan bertanya, “Dari mana kau tau?”
Saya sudah membacanya semalam,” Jawabku tersipu malu.
“Ko kan tidak suka karangan para penyair to?” Katanya meledek saya.
“Itu dulu sekarang tidak lagi, saya akui padahal penyair itu benar-benar luar biasa. Terus terang selama ini saya menganggap para penyair sebagai manusia yang kerjanya hanya tukang menghayal, setelah saya pikir panjang ternyata mereka itu bisa membangkitkan semangat hidup manusia lewat kata-kata mereka untuk terus berjuang,” Kataku panjang lebar.
“Itulah peranan para penyair,” Jawab Ino enteng.
Lalu kau terkekeh mendengar pengakuan saya. Padahal kau juga sebelumnya sejalan dengan saya. Pekerjaan kita hanya mengeritik para penyair, sebelum kau dan saya jatuh cinta dengan para penyair. Sejak itu kita mulai bermimpi untuk membuka sebuah komunitas baru di SPvD kita yakni komunitas para penyair. Awalnya ada orang yang tidak suka dengan gerakan pembaharuan kita lewat bersyair. Persis seperti tindakan yang pernah kita lakukan dahulu terhadap saudara kita Ino. Seiring dengan berjalannya waktu, mereka semua kita tarik masuk ke dalam komunitas kita. Maka semakin banyaklah kita dalam menyuarakan segala macam ketimpangan sosial yang sedang terjadi, dalam bentuk sastrawi.
Dengan demikian kemudian kau katakan, “Kita telah berhasil.”
“Belum, kita belum benar-benar menjadi seorang penyair,” Ino membantah. “Tepat sekali, syair-syair kita belum menyentuh pikiran orang-orang di seantero negeri kita ini,” Kataku.
Akhirnya kita sepakat untuk bertemu sebulan sekali untuk memperbaharui kualiatas tulisan kita. Dan kau mengusulkan agar kita bertemu di Pastoran untuk pertama kalinya. Barangkali sebuah kebetulan kala itu hujan kembali mengguyuri seluruh alam semesta kota kita. Bersama dengan hujan kita mulai mengulas bagaimana cara menulis puisi, cerpen dan novel dengan penuh semangat. Semakin lama kita berdiskusi hujanpun semakin menggelegar pecahkan keheningan. Di akhir cerita kau, kembali bersuara.
“Alam semesta turut mendukung mimpi-mimpi baik kita untuk kehidupan,” Katamu seperti menukil kembali apa yang telah kau baca dari novel Sang Alkemis.
Catatan:
SPvD adalah singkatan dari Seminari Petrus van Diepen
MS adalah nama inisial dari Mateus Syukur