Pulau Bali di mata wisatawan asing adalah surga yang pernah dialami dalam hidup ini. Di pulau Bali mereka menemukan rasa tenang, tentram, aman dan damai. Dalam suasana tenang, mereka seakan mampu menangkap bahasa alam dan berdialog akrab dengannya. Mereka mendengar bisikan suara samudra yang begitu lembut, halus merdu, dan mengajar sebuah kearifan. Bisikan suara alam itu akhirnya spontan menimbulkan rasa damai dalam jiwa. Rasa damai merupakan impian semua wisatawan dan manusia umumnya.
Keindahan dan ketenangan daerah wisata Bali ternyata mampu menciptakan kepekaan batin manusia untuk menangkap bahasa kebijaksanaan alam yang terkesan membisu. Kenyataan ini rupanya membenarkan semboyan hidup kaum kontemplatif, “Oh, kesunyian yang membahagiakan.”
Kehadiran wisatawan di Bali tentunya bukan untuk menaklukkan alam, bukan pula untuk mengeruk segala kekayaan panorama alam, melainkan untuk mengagumi keindahannya, mengalami suasana damai yang mengalir dari balik keindahannya. Mata mereka tak puas-puas melihat dan telinga mereka tak kenyang-kenyang mendengar nyanyian panorama alam.
Keindahan alam pulau Dewata menyadarkan kita bahwa rasa damai itu terlahir dari sebuah keharmonisan hasil perpaduan unsur-unsur alam yang berbeda. Pantai Kuta tampak indah karena adanya keselarasan antara warna pasir putih, laut biru pepohonan hijau, dan angin sepoi-sepoi basah.
Tragedi Bali Berdarah
Tragedi berdarah Sabtu kelabu 12/10/2002, menurut sinyalemen kaum analis menyebutkan bahwa pelaku pemboman di Bali itu adalah oknum teroris. Ada pihak, yang terkesan mendukung kiprah kaum teroris, menyatakan salut dengan terjadinya tindakan tersebut. Menurut pihak ini, kaum teroris merupakan kelompok yang merasa ditekan, dirugikan oleh pihak tertentu. Kaum teroris tidak bisa mencari jalan lain selain cara kekerasan untuk menyelamatkan diri. Jadi, kaum teroris menempuh jalan kekerasan, teror bom untuk menemukan rasa aman dan damai. Tujuan baik akhirnya menghalalkan cara.
Dalam sejarah peradaban manusia, ada banyak orang berpendapat bahwa perang adalah jalan menuju perdamaian. Ada sebuah adagium klasik yang sangat populer berkaitan erat dengan pendapat ini: Siapa yang mau berdamai siaplah berperang. Bagi mereka, perang menjadi pilihan dan jalan menuju perdamaian.
Berbicara tentang perang berarti berbicara tentantg bom, tentang senjata berbicara. Kalau senjata berbicara maka hukum membisu, HAM diinjak dan kebenaran diabaikan. Dalam dunia perang hanya berlaku hukum rimba: siapa kuat ia menang (bukan siapa benar ia menang).
Di tengah berkobarnya sebuah perang, apakah kita boleh bermimpi tentang damai? Benarkah perang berakhir dengan terciptanya suasana damai? “Perang, memang bisa berakhir, namun kebencian tak terhapuskan,” demikian bunyi sebuah pepatah Latin.
Pepatah ini benar. Kita tentu merasa sulit hidup berdampingan secara damai dengan bekas musuh. Kita tentunya selalu waspada dan menaruh curiga. Kehadiran bekas musuh dalam hidup kita akhirnya mengusik rasa damai. Kehadiran bekas musuh ibarat kerikil dalam sepatu dan duri dalam daging.
Fakta yang pasti terjadi setelah perang adalah musuh dilumpuhkan. Perasaan pedih di pihak yang kalah lantaran korban jatuh sia-sia. Pihak yng menang pun bersorak dan bergembira semu, karena kemenangan itu dirayakan di atas kematian para pahlwan dan para penderita cacat akibat perang. Para serdadu akhirnya menjadi pahlwan di mata kawan tetapi penjahat perang di mata lawan atau musuh. Jika kita memandang dari sisi kemanusian, seorang pembunuh, termasuk yang disebut pahlawan, tidak patut mendapat pujian di tempat yang tinggi. Kata pemazmur, “Siapa yang boleh naik ke gunung Tuhan? Orang yang bersih tangannya dan suci hatinya” (Mzm. 24:3-4).
Kita tak mungkin mengalami rasa damai sejati pasca perang. Kita tetap merasa terusik atas kematian orang lain, walaupun mereka disebut musuh. Musuh dan kita adalah sesama manusia. Geteran penderitaan dan kepedihan hati orang lain (musuh) pasti disadap juga oleh “antene solidaritas” kita.
Apapun alasannya, kekerasan atau perang tidak boleh menjadi pilihan menujun perdamaian. Pilihan itu merupakan pilihan problematis, karena keduanya saling meniadakan. Perang menghilangkan rasa damai. Kekerasan Sabtu kelabu, 12/10/2002 di Kuta Bali, membuat masyarakat Bali yang religius dan sangat mencintai hidup yang harmonis, selaras antara sesama manusia, alam dan sang Pencipta, justru merasa terusik karena ulah oknum tertentu yang katanya hendak mencari kedamaian.
Jadi, baik kaum teroris maupun pihak yang memerangi kaum teroris adalah tidak benar kalau memilih perang sebagai jalan mencari kedamaian. Tujuan tidak pernah menghalalkan cara-cara yang justru melanggar nilai-nilai moral. Slogan, siapa mau berdamai siaplah berperang merupakan kesalahan sejarah, salah kaprah. Slogan tersebut tidak bisa dibuktikan kebenarannya dalam realitas hidup manusia. Slogan itu hanya mau melegitimasi kecendrungan tindakan manusia sebagai srigala atas manusia lain atau “Homo Homini Lupus.”
Hadiah nobel perdamaian tahun 2002, diberikan kepada Jimmy Carter, mantan presiden Amerika Serikat, sebagai pejuang perdamaian. Menurut ketua komite Nobel Norwegia, Gunnar Berge, hadiah nobel itu harus ditafsirkan sebagai kritikan tajam terhadap langkah Presiden Bush yang memilih perang untuk menyelesaikan masalah (Kompas: 14/10/2002). Perang sebagai jalan menuju perdamaian bukanlah pilihan bijaksana. Karena perang tidak bisa menyelesaikan masalah. Jalan kekerasan hanya akan menimbulkan kekerasan baru. Penyelesaian masalah yang paling bijaksana dan menunjukkan citra manusia beradab adalah jalan non violent yakni jalan dialog atau diplomasi.(Kondrat Jurman)
(Perang Mengusik Rasa Damai: Sebuah Refleksi )
(Penulis adalah GURU Seminari PvD, dosen di Kampus STIKES
Papua dan STT GKII Sorong)