Infokrasi Pemilihan Kepala Daerah

133
Penulis : Demmy Namsa (Penulis adalah Seorang Wartawan)

Menyimak fenomena eforia relawan bakal calon kepala daerah pada Pilkada 2024 ini tampaknya menarik untuk ditelaah. Akhir-akhir ini muncul semacam “gempuran informasi” yang secara masif dilancarkan oleh para relawan.

Melalui revolusi digital, para relawan menggempur masyarakat dengan berbagai informasi palsu, untuk menarik perhatian dan membangun kesadaran publik akan pentingnya sosok yang diidolakan. Mengutip Byung-Chul Han, Yulius Fery Kurniawan, OFM menulis: “Hal-hal non bendawi ini disebut informasi. Hari ini kita mengalami suatu transisi dari zaman bendawi kepada zaman non-bendawi. Informasi lebih menentukan dunia kehidupan daripada hal-hal bendawi […] Sifat informasi yang cepat berlalu ini membuat kehidupan carut-marut. Ia selalu menyedot perhatian kita. Gempuran informasi mengagitasi sistem kognitif kita […] Kita benar-benar teracuni komunikasi. Akibatnya adalah infomania. Hari ini kita adalah maniak informasi.” (Hal 195).

Lebih lanjut ditegaskan bahwa informasi memang penting, namun tidak semuanya mengandung kebenaran, dan menjadi sangat tidak benar jika informasi digunakan untuk menyebarkan kebohongan, melalui semburan dusta (firehouse of falsehold). Kita ibarat disemprot misinformasi hingga tidak sempat menyaring dan menyeleksinya. Betapapun cerdasnya seseorang, ia sukar mengendalikannya. Di sisi lain, kita tidak benar-benar bebas dalam mengendalikan informasi (196).

Pada posisi inilah muncul yang namanya “infrokrasi” daripada “demokrasi”. Infokrasi adalah perubahan donimasi informasi yang menciptakan ilusi kebebasan ke dalam rezim politik. Betapa tidak, kebebasan merupakan hak asasi manusia yang perlu dilindungi dan dihormati, justru remuk di bawah rezim infokrasi. Pada rezim ini, kita hanya bebas sebatas memilih dan mengonsumsi informasi dengan menggeser jari dan mengetuk tetikus.

Byung Chul Han mengemukakan beberapa alasan yang mendasari ilusi kebebasan ini, sebagaimana dikutip Kurniawan, pertama, informasi tidak membawa seseorang pada kenyataan narasi manusia dalam suka dan dukanya. Ia hanya menciptakan ketagihan ketika seseorang dimanjakan dengan hanya memilih informasi yang menyenangkan. Kedua, waktu tidak lagi digunakan untuk mencari makna dan kebenaran yang selalu berangkat dari faktisitas manusia. Kekacauan informasi yang beredar mengubah pencarian kebenaran menjadi “membuang-buang waktu”. Ketiga, komunikasi didominasi oleh perasaan dan emosi sehingga menjadi dangkal. Masyarakat sudah terbiasa memperhatikan informasi dan notifikasi tanpa sempat memperhatikannya secara saksama. Kita mengumpulkan persahabatan dan pengikut tanpa mengalami pertemuan nyata dengan “yang lain”. Keempat, ada bahaya kemampuan manusia dalam menggunakan seluruh tubuhnya akan direduksi pada penggunaan jari. Tangan, yang merupakan organ untuk bekerja dan bertindak selama berabad-abad, digantikan oleh jari-jari untuk bermain-main dan memilih sesuatu untuk memanjakan diri. ( 196).

Hilangnya budaya Demokrasi
Cara kerja rezim informasi ini, suka atau tidak suka akan meruntuhkan fondasi-fondasi demokrasi. Demokrasi yang kita kenal sebagai sistem pemerintahan yang mengijinkan dan memberikan hak, kebebasan kepada warga negaranya untuk berpendapat serta ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan di pemerintahan, hanya menjadi sebuah ilusi di hadapan rezim informasi. Pasalnya, dataisme rezim informasi membuat pengetahuan tentang narasi-narasi tradisional yang melegitimasi kepemimpinan perwakilan di negara demokrasi tidak lagi relevan. Sementara di sisi lain, dataisme tidak dimaksudkan untuk menyatukan tindakan massa melainkan untuk menciptakan kerumunan digital sehingga masyarakat tidak lagi mengikuti pemimpin tetapi para influencer. Ini adalah bentuk totalitarianisme baru tanpa narasi ideologi apa pun. (Hal 198)

Kurniawan mensinyalir bahwa di bawah rezin informasi, ruang publik yang diskursif terancam bukan oleh bentuk-bentuk hiburan di media massa, melainkan oleh “pem-viral-an” dan proliferasi informasi dalam infodemik. Hal ini yang benar-benar kita alami saat ini. Lihat saja, betapa gempuran informasi dan iklan kampanye yang manipulatif dan berita-berita menyesatkan yang sifatnya micro targeting (penargetan spesifik per-orang) hampir memenuhi WAG setiap hari. Akibatnya, ruang publik terpecah dan bahkan terpolarisasi menjadi ruang privat, di mana perhatian kita lebih terdistraksi daripada terarah pada isu-isu yang relevan dengan kebijakan politik. (199).

Kurniawan mengatakan “Dalam infokrasi, perdebatan dalam pemilu menurun kualitasnya menjadi perang informasi […] Pasukan dunia maya dan bot-bot di media sosial menciptakan komentar-komentar yang memproduksi suasana hati dan dengan demikian mengacaukan perdebatan politik. Mereka ini tidak mempengaruhi keputusan pemilih secara langsung, tetapi mereka memanipulasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan,” (Hal 199). Padahal kita tahu bahwa demokrasi secara konvensional memerlukan tiga syarat mendasar, yakni representasi pihak lain, diskursus rasional, dan rasionalitas komunikatif (200). Namun ketiga syarat mendasar ini seakan tak berdaya di hadapan ‘infokrasi’.

Menuju Politik yang Baik
Menghadapi gempuran rezim informasi atau “infokrasi” saat ini, apa yang perlu kita buat sebagai antisipasi dalam Pilkada 2024 ini? Ensiklik Paus Fransiskus tentang Persaudaraan Semesta (Fratelli Tutti) kiranya menarik untuk disimak, karena beberapa alasan: Pertama, Paus melihat bahwa saat ini di banyak negara mekanisme politik digunakan untuk menjengkelkan, memperburuk, dan mempolarisasi. Dengan berbagai cara, orang lain diingkari haknya untuk hidup dan berpikir, dan untuk tujuan itu dipakai strategi mengejek mereka, mencurigai mereka, mengepung mereka (FT 15). Kedua, Paus juga melihat bahwa penghinaan terhadap yang lemah dapat bersembunyi di balik bentuk-bentuk populisme yang digunakan dengan menghasut untuk kepentingannya sendiri, atau di balik bentuk-bentuk liberalisme yang melayani kepentingan ekonomi mereka yang berkuasa (FT, 155). Dari kedua ekstrimis ini sulit untuk membayang suatu dunia terbuka di mana ada tempat untuk semua orang, termasuk yang paling lemah, dan di mana budaya-budaya yang berbeda dihormati.

Kita melihat bahwa para relawan dengan berbagai cara melalui media massa melakukan kampanye hitam, menyebarkan berita bohong, dan berusaha menyerbu media komunikasi dan pembicaraan umum dengan menekankan tokoh idolanya sebagai seorang pemimpin yang populis. Kelompok ini disebutnya populisme. Populisme adalah gerakan politik yang berupaya menarik “rakyat” dengan menyakinkan bahwa para pemimpinnya sendirilah yang mewakili “rakyat” dan keprihatinan mereka, yang diabaikan oleh “kelompok elite” sebelumnya. Akibatnya, lawan politiknya selalu dianggap sebagai kelompok non-populis.

Padahal, cara berpolitik demikian tentu saja merusak demokrasi, karena kemerosotan kepemimpinan populer adalah mengejar kepentingan segera. Kebutuhan rakyat dipenuhi untuk menjamin suara atau dukungan, tetapi tanpa meningkatkan komitmen yang kuat dan berkesinambungan untuk menyediakan sumber daya bagi perkembangan masyarakat, agar mereka dapat mencari nafkah dengan upaya dan kreativitas mereka sendiri (FT 161).

Oleh karena itu, menuju politik yang baik, Paus menekankan pentingnya relasi persaudaraan dan kekeluargaan. Baginya politik yang baik menempatkan pribadi manusia sebagai pusat, melayani kebaikan bersama, dan didasarkan pada persahabatan sosial. Politik yang baik menyatukan kasih dengan harapan yang percaya pada kebaikan yang tersimpan di dalam hati orang, (FT 196) dan mengupayakan dialog serta menciptakan proses perjumpaan, proses yang bisa membangun bangsa yang mampu menerima perbedaan-perbedaan (FT 217).

Paus mengatakan “politik lebih mulia daripada penampilannya, pemasaran dirinya dan pelbagai bentuk polesannya di media. Semua ini tidak menebarkan apa pun selain perpecahan, permusuhan, dan skeptisisme suram yang tidak mampu menggerakkan orang untuk suatu proyek bersama (FT 197), dan berkenaan dengan Pilkada 2024, kiranya lebih tepat para pemimpin kita berani bertanya: Apa tujuan saya? Apa sasaran saya yang sebenarnya?”

Karena menurut Paus, beberapa tahun kemudian, dengan merenungkan masa lampau sendiri, pertanyaannya bukan: “Berapa banyak orang yang telah mendukung saya, berapa banyak yang telah memilih saya, berapa banyak yang telah memiliki citra positif tentang saya?” Justru pertanyaan yang agak menyakitkan adalah “Seberapa besar kasih yang telah saya taruh dalam pekerjaan saya? Dalam hal apa saya telah membawa kemajuan bagi bangsa? Jejak apa yang telah saya tinggalkan dalam kehidupan masyarakat? Ikatan nyata apa yang telah saya bangun? Kekuatan positif apa yang telah saya lepaskan? Berapa banyak kedamaian sosial yang telah saya tabur? Apa yang telah saya hasilkan di posisi yang dipercayakan kepada saya?” (FT 197b). Inilah renungan yang pantas dalam Pilkada 2024 ini untuk melawan ‘infokrasi’ yang masif digaungkan saat ini. (Wartawan)