Terlambat Untuk Menghentikan, Mari Mencegah Agar Tidak Lebih Parah

39

(RD. Renold Aleksander Laike)

Beberapa waktu ini hampir di seluruh wilayah Kota dan Kabupaten Sorong diguyur hujan deras. Intensitas hujan tersebut menyebabkan banjir. Banjir menyebabkan banyak kerugian bagi masyarakat. Rumah-rumah tergenang seperti dibangun di tengah aliran sungai. Bukan hanya itu, pengguna jalan raya semakin merasa resah, karena harus menerjang banjir. Beberapa tempat bahkan tidak dapat dilalui dengan menggunakan kendaraan beroda. Kalaupun dipaksa, beberapa kendaraan tersebut mogok karena area mesin dibanjiri oleh air.

Ternyata, banjir tidak hanya dialami di daerah kota dan kabupaten Sorong, tetapi juga di daerah yang agak pelosok. Penulis harus menerjang banjir ketika melakukan perjalanan menuju distrik Sausapor, Kabupaten Tambrauw, pada Selasa, 27 Agustus 2024. Di wilayah perbatasan antara kabupaten Sorong dan kabupaten Tambrauw, ketinggian air mencapai pinggang dan perut orang dewasa; ditambah lagi arus yang deras, menyebabkan kendaraan beroda dua dan empat mengalami kesulitan melaluinya. Meski telah diperingatkan oleh penduduk setempat, penulis tetap memaksakan kemampuan sepeda motor trail untuk menerjang banjir yang hampir menenggelamkan seluruh bagian kendaraan tersebut, sambil berharap tidak terseret arus menuju pepohonan. Penulis juga sempat berhenti untuk menyaksikan rumah-rumah masyarakat yang terkena banjir.

Penulis membandingkan banjir yang terjadi di kota dan di daerah pelosok. Menurut penulis, banjir yang melanda daerah perkotaan agak wajar akibat sistem drainase yang kurang memadai dan masalah sampah. Nah, kalau di daerah pelosok, kira-kira apa penyebabnya? Beberapa waktu lalu, penulis melihat sebuah postingan di salah satu platform media sosial. Pengguna akun tersebut berargumentasi bahwa banjir yang melanda kota Sorong disebabkan oleh rencana pembangunan yang kurang matang oleh pemerintah daerah. Penulis tidak langsung menyetujui pernyataan tersebut, melainkan bertanya-tanya apakah berlaku juga di daerah pelosok.

Adapun tulisan ini mau mengajak sidang pembaca untuk memetik inspirasi dari dokumen Gereja yang diterbitkan oleh Paus Fransiskus, pada 4 Oktober 2023 silam. Dokumen Gereja tersebut diberi judul Seruan Apostolik, Laudate Deum, kepada semua orang berkehendak baik tentang krisis iklim. Penulis berasumsi dokumen tersebut belum dikenal oleh khalayak ramai. Laudate Deum merupakan bentuk tindak lanjut dari ensiklik Laudato Si yang terbit sembilan tahun silam. Paus Fransiskus merasa keprihatinan yang disuarakan oleh Laudato Si belum mendapat tanggapan yang serius dan memadai, sementara krisis iklim terus terjadi (LD 2). Hal tersebut perlu mendapat perhatian penuh dan konsistensi terhadap komitmen bersama karena satu-satunya planet yang dapat dihuni oleh kita sekalian sekarang ini sedang sekarat. Krisis iklim tentu bukan hanya masalah ekologis semata melainkan juga sosial. Pasalnya, kepedulian terhadap sesama manusia dan terhadap bumi saling berkaitan erat (LD 3).

Perubahan iklim adalah peristiwa nyata yang terjadi sekarang ini. Bagi Paus, perubahan iklim bukanlah cerita fiktif atau dongeng, sementara itu banyak pihak mencoba menutup-nutupinya (LD 5). Hal tersebut semakin nyata bahkan kita dapat menyaksikannya pada pengalaman sehari-hari. Ada beberapa tempat yang dulu tidak pernah terkena banjir, tetapi sekarang malah berlangganan. Selain itu, cuaca ekstrem juga terjadi di beberapa tempat. Di satu sisi, hal tersebut menunjukkan bahwa fenomena global memiliki dampak yang dirasakan langsung secara global. Di sisi lain, fenomena global tersebut juga disebabkan oleh akumulasi faktor-faktor lokal (LD 7).

Jika kita bertanya mengenai penyebab banjir, perubahan iklim, dan masalah ekologis lainnya, maka jawaban yang tidak dapat diragukan lagi adalah manusia (LD 11). Itu artinya bahwa bencana yang dialami sekarang ini merupakan akibat dari kesalahan manusia (human errors). Banyak pendapat mengungkapkan bahwa perubahan iklim merupakan kejadian atau fenomena normal yang terjadi di planet bumi dalam kurun waktu tertentu. Paus menepis pandangan tersebut. Bapa Suci menegaskan bahwa campur tangan manusia yang tidak terkendali terhadap alam selama dua abad terakhir ini menyebabkan cepatnya perubahan yang berbahaya tersebut (LD 14). Perubahan iklim memang akan terjadi namun periode waktu yang sangat lama. Egoisme manusia mempersingkat periode waktu tersebut.

Sekarang ini sudah terlambat bagi kita untuk menghentikan kerusakan besar yang terjadi. Bagi Paus Fransiskus, kita hanya memiliki waktu untuk mencegah kerusakan tersebut menjadi lebih parah (LD 16). Hal tersebut membutuhkan kerjasama, keseriusan, komitmen dan konsistensi dari kita semua. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa pihak tidak peduli dengan kerusakan alam demi keuntungan ekonomi. Kritik terbesar dokumen ini memang ditujukan kepada kekuatan-kekuatan ekonomi dunia.

Paus Fransiskus kiranya mengusulkan beberapa hal sebagai tindakan pencegahan parahnya kerusakan alam. Pertama, kita perlu menghindari paradigma teknokratis. Paradigma teknokratis menganggap bahwa kenyataan, kebaikan dan kebenaran berasal dari kekuatan teknologi dan ekonomi, padahal pandangan tersebut yang mendorong manusia tidak peduli dengan kerusakan alam (LD 20). Kedua, kita perlu memikirkan kembali penggunaan kekuasaan. Alam bukanlah objek eksploitasi, melainkan bagian yang terpisahkan karena tidak dapat disangkal bahwa kita manusia merupakan bagian di dalamnya. (LD 25). Ketiga, kita perlu menyadari bahwa kerusakan alam merupakan tanda nyata kemerosotan moral yang terjadi (LD 29). Hal tersebut berkaitan dengan hubungan antara manusia dan alam ciptaan. Artinya bahwa kita tidak bisa peduli dengan sesama tanpa peduli dengan alam, ataupun sebaliknya. Semuanya memiliki relasi timbal balik. Keempat, Paus Fransiskus memang menyusulkan agar menyusun kembali multilateralisme (LD 37). Penulis berpandangan bahwa kerjasama skala lokal dan daerah sangat perlu mendapat perhatian khusus. Isu kerusakan alam perlu menjadi keprihatinan bersama dari semua pihak, alih-alih saling menyalahkan tentang pihak yang bertanggung jawab atas masalah tersebut. Kelima, Paus Fransiskus mendorong semua umat beriman dan penganut kepercayaan tentang motivasi iman terhadap masalah sosio-ekologis tersebut (LD 61). Singkatnya, iman perlu menjadi nyata di dalam tindakan melindungi alam ciptaan Allah.

Kita perlu mengingat bahwa “lingkungan hidup sehat adalah hasil interaksi antara manusia dan lingkungan, seperti yang terjadi dalam budaya suku adat dan telah terjadi selama berabad-adab di berbagai wilayah bumi” (LD 27). Dahulu masyarakat asli Papua yang dekat dengan budayanya sangat menjaga keharmonisan antara manusia dan alam. Cara mereka mengolah alam sungguh hebat, karena dengan pola tertentu memanfaatkan nutrisi-nutrisi alam demi pemenuhan kebutuhan hidup tanpa merusaknya. Alam dipandang sebagai ibu yang memberikan air susu kehidupan bagi manusia sebagai anak-anaknya. Karena dipelihara oleh alam, kedekatan orang asli Papua dengan alamnya begitu mendalam dan memuat makna sosial dan spiritual.

Perubahan zaman memang turut membentuk kembali cara pandang terhadap ibu Bumi. Tanah kini memiliki nilai ekonomis sebagai komoditas jual beli. Uang dalam jumlah besar memang terlalu menggiurkan setiap orang. Belum lagi kalau kita menyinggung aktivitas pencurian hasil alam yang sangat tidak bertanggung jawab dan tidak dapat dibenarkan secara moral. Ironisnya, orang asli Papua, terutama masyarakat kecil, malah menikmati kerugian dari kerusakan alam akibat eksploitasi yang membabi buta. Kita tidak perlu menutup mata bahwa hanya segelintir orang atau kelompok diuntungkan dari kerusakan alam tersebut. Dari situ, penulis mulai memahami hal yang dimaksudkan oleh Paus Fransiskus bahwa masalah ekologis juga menjadi masalah sosial. Upaya untuk mencegah kerusakan yang lebih parah tersebut adalah tanggung jawab kita bersama, secara khusus siapapun yang menginjak kakinya di bumi cenderawasih tercinta ini. Alangkah indah bila kesadaran tersebut juga dimiliki oleh generasi muda Papua, agar menyuarakan hal ini dengan giat.

Bagian akhir Laudate Deum sungguh menarik untuk dijadikan pula sebagai penutup dari tulisan ini. Paus Fransiskus menyatakan: “Pujilah Allah adalah judul surat ini. Karena manusia yang mengklaim dirinya menggantikan Allah, menjadi musuh terburuk bagi dirinya sendiri” (LD 73). Alih-alih bersandiwara menjadi Allah, manusia malah memilih tindakan bunuh diri, bukan hanya pribadi, melainkan melibatkan semua manusia. Jika planet ini hancur, maka kita tidak lagi memiliki rumah untuk dihuni. Kita perlu realistis. Hidup ini bukanlah drama sains-fiksi, yang mana ketika bumi hancur, kita hanya perlu pindah ke planet lain.

Akhir-akhir ini, kunjungan Paus Fransiskus sedang ramai menjadi perbincangan. Harapannya, perhatian dan keprihatinan Paus terhadap krisis lingkungan hidup bisa “se-hype” kunjungannya tersebut. Jadi, marilah menjaga bumi sebagai warisan kepada anak-cucu, demi masa depan seluruh umat manusia.