Subsidiaritas Masyarakat Lokal (Kesadaran untuk membangun dan memperdayakan masyarakat lokal)

296
Penulis merupakan pengajar di Lembaga Pendidikan SMP YPPK Seminari Petrus van Diepen Kabupaten Sorong Keuskupan Manokwari-Sorong.

(Pastor Yulianus Korain, Pr.)

KOMSOSKMS.ORG – Setiap kita dipanggil untuk bertanggungjawab atas kehidupan yang sedang dijalani. Apapun yang terjadi merupakan pengalaman yang membentuk setiap pribadi makin dimurnikan. Persoalan sosial, politik dan ekonomi yang dialami masyarakat lokal bukan semata-mata perkara satu dua orang melainkan perkara semua manusia.

Manusia dalam kesehariannya menyadari dan membatinkan betapa kehadirannya amat mulia bagi sesama. Persoalan sosial yang dialami tidak hanya ditangani secara personal, melainkan ditanggapi secara komunal berdasarkan peran, kedudukan masing-masing dalam hidup bersama. Seringkali dijumpai ada diantara kita yang sulit bergabung dalam komunitas karena tidak diakui, dihargai dan diterima, bahkan dalam kelompok sosial tertentu kurang terlibat karena secara sosial ekonomi dinilai terpuruk.

Di beberapa kawasan ditemukan masyarakat lokal kurang diberi ruang untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran, sebab bila bersuara akan ditempatkan pada kriminal yang berujung pada hukuman yang tidak sewajarnya. Rupanya tindakan semacamnya dapat memenjarakan ruang gerak masyarakat lokal. Pengalaman serupa terjadi di kawasan kabupaten Sorong, ketika bupati Sorong berusaha melindungi tanah adat masyarakat lokal dari bahaya sawit, rupanya tindakannya menimbulkan perkara bagi pemilik modal (baca: Papua Barat Cabut Ijin Sawit Sabtu 25 April 2021).

Manusia Papua dalam keseharianya memaknai tanah sebagai ibu yang perlu dilindungi dan dirawat. Kesadaran akan tanah sebagai ibu bukan hanya terbatas pada orang Papua melainkan secara luas bagi siapapun yang berdiam di negeri ini. Demi memulihkan tanah sebagai ibu mesti dibangun sumber daya manusia agar memiliki kesadaran bersama untuk memeliharan, melindungi dan merawat. Kesadaran untuk membangun dan memperdayakan masyarakat lokal itulah yang disebut subsidiaritas.
Merujuk pada depresi ekonomi tahun 1929, Paus Pius XI dalam ensiklik Quadragesimo Anno (selanjutnya QA) menjelaskan betapa pentingnya prinsip subsidiaritas dengan menegaskan bahwa kegiatan apapun yang dapat dilaksanakan dengan baik oleh kelompok-kelompok kecil biarlah tetap dilaksanakan oleh kelompok-kelompok itu dan bukan dipusatkan pada negara dalam konteks ini para investor dan penguasa (QA 79-80).

Prinsip fundamental yang perlu dihayati antara lain setiap manusia ingin sejahtera. Kesejahteraan itu dapat didukung oleh golongan yang lebih tinggi (pemerintah dan Gereja), membantu golongan yang lebih rendah (masyarakat lokal) apabila ditemukan masyarakat lokal, kelompok etnis, kelompok kategorial dan semacamnya tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, misalnya hak-hak mereka diabaikan, suara mereka tidak didengar, tanah adat mereka dirampas dan semacamnya pemerintah dan Gereja mesti bersuara demi kemanusiaan. Perkara kemanusiaan bukan terbatas pada pemerintah dan Gereja melainkan, siapa pun diberi ruang untuk bersuara, bolehlah bersuara.

Setiap orang perlu diberi ruang untuk mengungkapkan aspirasinya sebagai wujud tanggungjawabnya bagi pemulihan masyarakat, di mana mereka sendiri menjadi bagiannya. Misalnya sebuah proyek dikucurkan secara langsung maupun tidak langsung bersentuhan dengan kelompok sosial tertentu, maka kelompok-kelompok masyarakat lokal tidak boleh diabaikan. Proses tersebut menjadi menyenangkan bila membiarkan masyarakat lokal mengungkapkan apa yang dirasakan dan digumuli, bukan diintervensi oleh pihak-pihak tertentu, itulah prinsip subsidiaritas bekerja. Singkat kata, kita tidak boleh mengabaikan keterlibatan masyarakat lokal, perkara kebijaksaan, kesetiaan, dan perhatiaanya dalam suatu tanggugjawab tertentu (QA 32; LS 63).

Sayangnya ketidakadilan masih sering terjadi di tempat-tempat di mana kepentingan ekonomi dan geopolitik besar terpusatkan misalnya aktivitas-aktivitas ekstraktif tertentu di beberapa kawasan negeri ini (QA 9.14). Suara-suara dari masyarakat lokal, “masyarakat pribumi” budaya dan pandangan hidup mereka jarang dijadikan bahan pertimbangan. Dewasa ini, hilangnya penghargaan akan prinsip subsidiaritas seperti ini telah menyebar bagai virus. Dalam konteks tertentu ditemukan para pemilik modal lebih mendengarkan dan menghargai mereka yang kuat dari pada yang lemah, dan ini bukanlah cara yang manusiawi, cara yang Yesus ajarakan atau bukan pula prinsip subsidiaritas.

Ada semacam ungkapan klasik “segalanya bagi rakyat, tapi tidak ada yang dengan rakyat”. Rumusan tersebut membantu menyadarkan para politis dan penguasa yang kurang peka menghidupi kebijaksanaan masyakarat lokal dengan membantu mengantar mereka keluar dari krisis yang dialami. Setiap orang harus didengarkan, diterima, diakui dan dihargai keberadaannya. Untuk keluar dari krisis, prinsip subsidiaritas harus diberlakukan, dengan menghargai otonomi dan kapasitas setiap orang teristimewa masyarakat lokal. Sebagaimana dikatakan rasul Paulus semua bagian dari tubuh dibutuhkan (1Kor 12:12-27), kita telah mendengar bahwa bagian-bagian yang tampak paling lemah dan kurang penting, dalam kenyataannya adalah yang paling dibutuhkan (1Kor 12:22).

Dengan sendirinya dapat dipahami bahwa prinsip subsidiaritas memungkinkan setiap orang mengambil peran bagi pemulihan dan kebaikan bersama. Dengan penerapan prinsip subsidiaritas memberikan harapan bahkan mendatangkan harapan akan masa depan yang lebih sehat dan lebih adil; mengundang kita untuk merancang masa depan ini secara bersama, menginginkan akan hal-hal besar, memperluas cakrawala dan gambaran ideal kita. Amat diharapkan kerja sama untuk keluar dari krisis yang dialami masyarakat lokal. Untuk keluar dari krisis tidak berarti memoles situasi saat ini, sehingga tampak terkesan adil, melainkan membangun kesadaran untuk berubah. Perubahan tersebut menuntut keterlibatan semua orang, apapun profesinya. Sebagaimana Yesus katakan “Aku akan menjadikan segalanya baru” (Why 21:5).

Marilah kita membangun masa depan, di mana dimensi lokal dan global saling memperkaya satu sama lain, setiap orang dapat terlibat, semua orang musti menyumbangkan andilnya, dari budaya, filsafat dan cara berpikir, singkatnya yang mempunyai lebih mesti terbuka membaktikan diri bagi yang berkekurangan “terbatas”.