Sejauh Saya Mengenal Pater Anton Tromp,OSA; Memberi Diri Seutuhnya Supaya Makin Dikenal, Dipercaya dan Dicintai

464
Sejauh Saya Mengenal Pater Anton Tromp,OSA
Pater Anton Tromp, OSA, Foto Dokumentasi

Athanasius Bame,OSA

Sebutan Apa yang Pantas?

Banyak orang memiliki kisah unik dan berbeda bersama Pater Anton Tromp,OSA. Setiap orang dapat memberikan julukan masing-masing sesuai dengan sejauh mana pergaulan dan perkenalan bersama Pater Tromp. Dengan itu orang bisa saja memberi julukan yang berbeda-beda kepadanya seperti misionaris ulung dan sejati, Agustinian sejati, nabi masa kini, bapa rohani, ‘rasul bagi Papua’, pastor orang kecil, pastor bonus, peletak dasar atau perintis, soko guru, tokoh/bapa pendidikan katolik kepala burung, pastor/gembala yang baik, ensiklopedia hidup, kamus berjalan, pekerja keras dan tangguh, pastor hafal nama orangtua, pengingat yang memorinya kuat dan hafalan, pribadi yang sangat teliti dan rapi dalam bekerja, budayawan Papua, antroplog Papua hidup/lapangan, dan lain sebagainya. Semuanya bisa saja mengarah kepada Augustinian Belanda dan bapa pendidikan Katolik dan pembangunan manusia Papua di kepala burung secara khusus. Dia adalah sarana berkat Tuhan bagi Tanah Papua karena lewat dia berkat-berkat itu mengalir melampuai tembok-tembok biara dan batasan-batasan negara.

Perjumpaan dan Perkenalan

Pastor bisa hafal nama orangtua saya ya?
“Ini siapa punya? Kamu punya bapa nama siapa? Ohh.. berarti kau punya tete ini dan kau punya dusun di…, kau orang….”, gaya komunikasi khas dari pater Tromp untuk membuka percakapan.
P. Tromp: Kau punya bapa siapa?
Saya: Hengky, pater.
P. Tromp: Ohh itu saya punya sobat. Berarti kau punya mama Rosa, kau dari kampung Yarat. Terus bapa masih di Suswa? Masih di AMA?
Saya: Tidak pater. Sekarang kami di Konya.

Saya kaget benar saat mendengar jawaban dari pater. Saya bertemu dan bercakap dengan pater Tromp yang saat itu datang dari Rumah Bina membawa pisang ke Asrama Putra St. Agustinus tahun 2003 silam sewaktu saya masuk SMA YPPK St. Agustinus. Perjumpaan kedua terjadi pada tahun 2006 di mana saya masuk di Rumah Bina di Aimas. Saya bertemu lagi dengan pater. Dia tetap mengenal saya karena lamaran yang saya masukan. Dia langsung bertanya tentang orangtua dan saudara-saudari saya yang lain. Pasca tahun pembinaan (Juni 2007) saya kembali ke kampung dan membawa surat persetujuan orangtua mengenai keputusan saya masuk biara sebagai persyaratan apakah orangtua setuju atau tidak. Bapa saya waktu itu mengajar di Sekolah Dasar di Kampung Maan. Saya berjalan kaki ke Maan lewat jalan lama. Bapa saya ketika melihat kop surat itu dan yang membuat surat adalah Pater Tromp,OSA maka dia secepatnya membaca dan tanpa ragu-ragu menandatanganinya.

Pertemuan ketiga ialah pada tahun 2012 ketika saya menjalani TOP di bawah bimbingannya di SMA Katolik Villanova. Saya juga merasa heran dan kagum atas pengetahuan dan semangat yang dimiliki dan keteladanan sebagai seorang guru, pastor dan Agustinian. Saya seringkali bicara dan berdebat dengan dia tentang masalah anak-anak asrama, biara, sekolah, guru dan keuangan. Setahu saya dia akan mendengar, setuju dan mengakui pendapat kita dengan cepat bila kita memberikan argumentasi berserta alasan-alasan yang masuk akal, logis, sesuai fakta, dan secara teratur. Jikalau tidak, kita akan susah berbicara dengan dia dan bahkan kebanyakan dia akan mendominasi pembicaraan. Saya mengalami ini tetapi hemat saya dia biasanya mendengarkan saya. Dia seringkali mengakui dan memuji tugas-tugas yang saya kerjakan. “Sobat kau hebat”, katanya. Demikian juga laporan yang saya buat dan refleksi akhir masa orientasi pastoral saya menjadi sarana penilainnya terhadap saya.

Saya bersyukur bahwa saya bisa menjalani pembinaan bersama dengan dia. Tetapi hal lain yang sangat menyentuh dan mengesangkan bagi saya yang adalah anak guru dari seorang guru generasi pertama di wilayah Aifat. Dia selalu menghubungkan keberhasilan anak-anak guru ini dengan keluarga asal mereka. Pater Tromp selalu mengatakan seperti ini “bukan Atan Bame atau Sebas Bame yang hebat tetapi bapa Hengky dan mama Rosa, bukan Ferry Taa yang berhasil dan hebat tetapi Herman Taa dan ibu, bukan Manfred Hae tetapi bapa Marinus Hae dan ibu”. Ini menunjukkan bagaimana Pater Tromp sangat menjunjung tinggi pendidikan di keluarga asal karena keluarag asal sebagai salah satu faktor kunci yang menentukan keberhasilan anak-anak murid.

Pertemuan keempat terjadi di Manila pada tahun 2016. Pater Tromp yang diutus untuk mengikuti Kapitel Provinsi di Cebu menyempatkan diri mengunjungi saya dan Pater Anis Sedik,OSA di Monasterio de Guadalupe Makati dan San Agustin Center of Studies Quezon City. Pada saat itu saya sedang studi di Asian Social Institute dan bersama Pater Anis, Pater Tromp mengunjungi saya di sana.

Pertemuan kelima dengan Pater Tromp ketika pada Agustus-November 2018, saya mengadakan penelitian lapangan untuk tesis master saya di sekolah tinggi yang sama dengan pater Tromp. Saya membuat wawancara mendalam (in-depth interview) tentang komitmennya pada pendidikan dan pembangunan generasi muda Papua. Dia menceriterakan tentang pengalaman, problem pendidikan, cara mengatasi, pandangan tentang pendidikan hingga faktor yang membuatnya bertahan dan tetap melayani di pelayanan pendidikan. Di sana pikiran saya perlahan-lahan terbuka akan dedikasi, kasih, pengorbanan dan cara yang menurut dia sangat cocok untuk diterapkan di Papua.

Juni 2016: Di depan gereja Paroki Nuestra Señora de Gracia Guadalupe Makati-Filipina

Pertemua keenam terjadi setelah saya selesai studi di Manila dan ditugaskan di Manokwari. Di sana saya bertemu lagi dengan Pater Tromp. Dia meminta saya untuk menerjemahkan artikel-artike dari Hans van Reisen. Secara khusus saya harus menyebutkan pertemuan saya dalam rangka wawancara mendalam tahap kedua tentang hidupnya dan pandangan tentang beberapa bidang di Gereja lokal dan OSA Vikariat Papua. Bagian inilah yang saya belum ditranskrip semua karena tahun lalu Laptop saya mengalami gangguan dan hampir banyak data yang hilang kecuali yang saya simpan di external hard drives. Saya bersyukur bahwa saya bisa mendapatkan data itu setelah Laptop saya diperbaiki dan saya membeli hard drive baru dengan uang yang saya dapat dari om Petrus Yumte di Timika. Wawancara itu masih dalam bentuk rekaman biasa. Mudah-mudahan saya menyelesaikan secepatnya sebagai bagian dari rencana penulisan.

Keluarga dan Panggilan Awal Vs Turbelensi Religius

Pater Anthonius Bartholemus Maria Tromp, OSA lahir di Haarlem di Belanda pada 20 Maret 1945 (78 tahun yang lalu) sebagai anak pertama dari sembilan bersaudara. Dia bertumbuh dan berkemang dalam asauhan ayah Bartholemus Gerardus Tromp dan ibu Dina Kornelia Koks, sebuah keluarga Katolik yang taat. Pendidikan menengah dia peroleh di Mendel College (HBS-A), Haarlem (1957-1962) yang dikelola oleh para Augustinian. Di situlah dia bertemu dan mengenal para imam Augustinian dan menyaksikan cara hidup mereka dan secara tidak langsung mengalami karisma hidup mereka yang diimplementasikan dalam dunia pendidikan. Pater Tromp mengakui bahwa dia tertarik pada biara OSA karena melihat dan mengalami pola hidup para Augustinian yang kompak, satu korps dan hebat dalam bidang tertentu dan bagaimana mereka melayani para siswa. Dia kagum karena para Agustinian selain mengajar, mereka sangat mengenal dan menghafal nama anak-anak murid, sekaligus dekat dengan para guru dan orangtua.

Secara khusus Pater Tromp menceriterakan satu hal yang mengesankan dia ialah para guru Agustinian khususnya kepala sekolah seringkali mengunjungi rumah-rumah para murid secara khusus bila ada anak murid yang tidak masuk kelas atau sakit. Ini hal menarik bagi dia. Dia mau bergabung meskipun para Augustinian di Belanda saat itu tidak melakukan kampanye panggilan untuk merekrut kandidat baru. Selain alasan di atas, dia juga menceriterakan bahwa dia merasa kagum karena para Agustinian ‘berlawanan arus zaman’ di mana mereka mendirikan sekolah di daerah di mana di dominasi oleh orang biasa yakni kaum buruh biasa (bukan kaum elit) atau petani yang anak-anak mereka susah dan sangat jarang mendapat akses pendidikan formal di sekolah-sekolah yang hampir didominasi dan dikuasai oleh kaum elit (politisi, pebisnis, pemilik tanah dan dosen). Pengalaman perjumpaan inilah yang mendorong dia untuk mengikuti cara hidup Augustinian.

Akhirnya dia memutuskan untuk masuk biara ketika berumur 17 tahun (1963). Dia masuk biara pada saat Gereja di Belanda mengalami ‘masa turbelensi religius’ atau masa pergolakan (krisis iman dan perkembangan sekularisasi) sehinga banyak magister, frater, suster, bruder dan pastor meninggalkan biara. Arus dan gelombang kaum religius menanggalkan jubah mereka dan menikah tidak dapat dibendung. Lagi-lagi pater Tromp menyebutkan keputusannya masuk biara merupakan suatu keputusan yang melawan arus tadi. Karena di Belanda pada waktu itu banyak kaum religius dan imam keluar dari biara maka Pater Tromp mengisahkan bahwa “pihak biara tidak bertanya mengapa anda masuk biara tetapi mengapa anda bertahan di biara.” Orang di Eropa saat itu merasa ‘aneh’, ‘lain’ ‘heran’, ‘kaget’ dan ‘ragu’ ketika seseorang memilihan pilihan hidup religius.

Formasi dan Misi

Setelah Misa Perayaan 50 Tahun Imamat (7 Desember 2019): Sangat Sederhana

Semua pembinaannya untuk menjadi seorang Augustinian dan imam, dia lakukan di Belanda (Provinsi Belanda). Karena berasal dari SMA Katolik biasa, Pater Tromp dianjurkan untuk mengikuti kursus bahasa Latin dan Yunani salaai setahun di Triniteitslyceum Haarlem (1962-1963). Sewaktu mengikuti kursus bahasa klasik ini, dia tetap tinggal bersama orangtua dan membantu menjaga took orangtua. Selain itu, dia juga sudah mencari uang tambahan sejak masih di Mendel College dengan bekerja sampingan. Dikisahkan bahwa dari pada membantu orangtuanya dan tidak dibayar, lebih mencari uang tambahan dan biaya les bahasa klasik dengan bekerja paruh waktu di beberapa tempat di daerahnya. Kemudian, studi Filsafat dijalani di OSA Eindhoven (1963-1964). Pater mengawali hidup membiara di Novisiat di Witmarsum tanggal 31 Agustus 1963. Setahun kemudian dia mengucapkan kaul pertama dan melanjutkan pendidikan teologi di OSA Nijmegen dari tahun 1964 hingga 1967 di mana di akhiri dengan pengucapan kaul kekal dan di TIE Eindhoven 1967-1969.

Sebagaimana dalam wawancara beberapa tahun yang lalu dan dalam tulisannya sendiri tentang 50 tahun berkarya di Papua, Pater Tromp menegaskan bahwa sebelum bermisi di Papua dia mengikuti beberapa kursus persiapan atau perkenalan tentang budaya, bahasa, keadaan geografis dan manusia Indonesia dan Papua di NUFFIC dan Tropen Institute Amsterdam (1968-1969). Kegiatan ini juga sebagai motivasi bagi dirinya. Setelah ditahbiskan tahun 1969, dia diutus sebagai missionaris di Papua pada usia 24 tahun dan tiba di Jakarta pada 20 Januari 1970. Dari tahun 1973-1975 dia menyelesaian Master Sosiologi Pastoral di Asian Social Institute di Manila, Filipina.

Mengapa Papua atau Indonesia? Paling tidak ada tiga alasan yang disebutkan yakni kisah misionaris, ketertarian dan rasa ingin tahu, dan tawaran dari biara. Pater Tromp mengisahkan bahwa ketika menjalani libur mereka dari pelayanan misi di New Guinea para misionaris seperti Pater Petrus van Diepen,OSA dan Pater Alex Snelting,OSA biasanya mengunjungi beberapa rumah formatio atau seminari. Di situ mereka bertemu dengan para frater yang sedang belajar teologi dan filsafat. Mereke seringkali mengisahkan situasi Gereja, manusia, keadaan alam dan budaya yang asing sekali tetapi menarik untuk orang muda Eropa.

Keadaan alam (seperti buah-buahan, pohon besar, sungai dan hewan), tantangan dan kesulitan yang dihadapi, manusia Papua yang masih sangat sederhana dan asli, praktek-praktek budaya primitive (asli/murni), sarana dan fasilitas yang amat minim. Kisah-kisah ini mendorong rasa ingin tahu. Oleh karena tidak heran bahwa Pater Tromp masuk ke beberapa institut dan mempelajari kebudayaan dan manusia serta berdiskusi dengan beberapa orang misionaris Belanda yang pernah di Indonesia dan beberapa pelajar Indonesia yang ia jumpai di tempat kursus. Ketertarikannya mendorongnya untuk terus mempersiapkan dirinya. Oleh karena itu, sewaktu dia ditawarkan untuk menjadi misionaris di Papua maka tanpa ragu dan secara spontan dia mengatakan siap ke Papua. Jangan heran bahwa setelah ditabiskan dia berangkat ke Papua. Sedangkan teman-teman seangkatan ada yang memilih menjadi misionaris di Bolifia dan sebagian menetap di Belanda.

Karya Pelayanan dan Kematian

Riwaya pelayanan dimulai dengan tugas pertama di Keuskupan Manokwari-Sorong ialah sebagai pastor rekan di Bintuni. Di Keuskupan Manokwari-Sorong banyak jabatan penting pernah dipercayakan kepada dia seperti pastor Paroki St. Augustinus di Manokwari selama lima tahun (1995-2000), Delegatus Social dan Ketua Yayasan Sosial Agustinus (1975-1987), Kepala Kantor Keuskupan (1987-1995), Administrator Diosesan (1988), Wakil Uskup (Vikjen), Ketua BP Yayasan AMA (2002-2006), Anggota Dewan Harian Keuskupan, Panitian Beasiswa, Dewan Persekolahan, Rektor Rumah Formasi Tolentino (2000-2010), dan lain sebagainya. Sementara itu di Ordo Santo Agustinus, Pater Tromp juga memegang beberapa tugas penting seperti Prior Regionalis OSA Papua (2000-2008), Ekonom Regio/Vikariat (2010-2021), Magister Novis, Anggota Konsilium (1985-2021), Delegatus Kapitel Ordo di Roma, Delegatus Kapitel Provinsi di Belanda, dan di Filipina dan Delegatus APAC di Filipina dan Australia.

Selain kedua bidang pelayanan di atas, pastoral pendidikan menjadi salah satu fokus utamanya. Dalam suatu pembicaraan saya dengan pater Tromp tahun 2018 (tesis) dan 2022 bahwa baginya semua tugasnya ada kaitannya dengan pendidikan. Hal ini karena Dia menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai imam untuk melayani karya pendidikan katolik di Keuskupan Manokwari-Sorong, West Papua. Menurutnya bahwa dia secara langsung (mengajar siswa) atau tidak langsung (kempemimpinan) selama 49-wawancara (2018) dan sekarang selama lima puluh tiga tahun. Ini dimulai sejak tugas pertama dia sebagai pastor rekan dan pastor paroki dan pembina asrama dan guru di Bintuni, dan pembina SMA YPPK St. Augustinus (1979-1995), Rektor Rumah Formasi Tolentino (2000-2010), rektor tiga SMA/SMP yakni SMA Seminary Petrus van Diepen (2005-2010), SMA Katolik Villanova Susweni (2010-2015) dan SMP Katolik Villanova (2015-2023). Bagian ceritera mengenai pelayanan pendidikan akan dibuat pada bagian lain seri ini.

Pater Tromp adalah misionaris Augustinian asal Belanda terakhir yang tinggal di Indonesia dan bahkan diberikan kewarganegaraan Indonesia pada tahun 1995 (25 tahun setelah dia tinggal di Indonesia). Dia telah berkarya di Papua Barat selama 53 tahun. Itu artinya sebagian besar hidupnya dihabiskan di Papua. Dan dia dipanggil Tuhan pada usia 78 tahun pada tanggal 8 Mei 2023 pada peringatan Our Lady of Grace di Rumah Sakit DMC di Manokwari Papua Barat-Indonesia. Jenazah dimakamkan di kompleks SMP Katolik Villanova Manokwari. Dengan demikian, dia adalah orang Belanda-Augustinian kedua yang meninggal dan dimakamkan di Papua Barat (yang pertama adalah Pater Frans Jonkergow,OSA yang dimakamkan di halaman biara Kasisiakum Jayapura). Pater Tromp berperan penting dalam pertumbuhan kehadiran Augustinian di Indonesia hingga menjadi Vikariat dan akhirnya berafiliasi dengan Provinsi Santo Niño de Cebu – Filipina. Dengan dedikasinya, ia akan dikenang sebagai seorang misionaris dan saudara bagi sesama Augustinian Indonesia dan komunitas lokal yang ia layani.

Ratapan Pengharapan

Pater Tromp, engkau sudah berani meninggalkan kemapanan di negerimu. Engkau berani sekali berlayar ke dunia yang sama sekali berbeda. Engkau tidak takut dan takluk oleh tantangan alam dan budaya. Engkau melepaskan masa muda. Engkau sudah bekerja sejak masa muda demi orang lain yang adalah domba-domba yang tersesat karena tekanan politik, praktek budaya dan situasi geografis. Saat ini, Engkau beristirahat dalam keabadian. Engkau kini melihat dari muka ke muka Dia yang anda ajarkan dan kotbah selagi engkau masih di dunia fana ini. Iman saya, iman kami dan imanmu yang diterima dari duta-duta Kristus menyadarkan dan membuat saya percaya bahwa tempat khusus sudah disiapkan bagimu. Ajarlah kami dan doakanlah kami supaya kami dapat memaksimalkan diri kami, menunjukkan kualitas hidup kami baik sebagai religius maupun umat beriman seluruhnya.

Buatlah kami supaya hidup kami berarti bagi orang lain dan demi keluhuran dan kemuliaan nama Tuhan. Bantulah kami supaya kami mengikuti jejakmu; menjadi saran/chanel berkat Tuhan bagi Tanah Papua dan di mana saja kami berada. Semoga kami dipenuhi oleh rohmu pendidikanmu supaya kami dapat menghidupi rohmu: wang (uang) bukan bikin wang (uang) tetapi uang harus bikin manusi dan bangun manusia dahulu baru bangun bangunan. Ingatlah kami selalu, bahwa kami hanya menjadi fasilitator pembangunan manusia sehingga kami seperti engkau harus bangun manusia supaya manusia-manusia itulah yang akan membangun duniannya.*

Terimakasih sudah membangun iman dan manusia di Tanah Papua. BERISTIRAHATLAH DALAM KEABADIAN