Renungan Harian, 13 Desember 2025
Bacaan I: Sirakh 48:1-4.9-11
Bacaan Injil: Matius 17:10-13
“Tuhan lembutkan hati kami agar sanggup menerima kebenaran-Mu.”
Dalam kehidupan rohani, salah satu hambatan terbesar bagi karya Allah adalah kekerasan hati. Kekerasan hati membuat seseorang sulit menerima berkat, nasihat, bahkan teguran kasih dari Allah. Orang yang hatinya keras biasanya telah membangun “benteng kenyamanan”, sehingga perubahan—betapapun baik dan menyelamatkan—akan ditolak.
Injil hari ini menegaskan bagaimana Yesus menghubungkan sosok Yohanes Pembaptis dengan Nabi Elia. Dua nabi besar ini memiliki kesamaan misi: menyerukan pertobatan dan mempersiapkan umat menyambut karya keselamatan Allah. Namun keduanya justru berhadapan dengan penolakan keras dari bangsanya.
Nabi Elia tampil sebagai pembela kebenaran di tengah bangsa yang hatinya bebal. Ia mengkritik penyembahan berhala dan memanggil umat kembali kepada Allah. Tetapi apa yang ia terima? Penolakan, ancaman, bahkan usaha pembunuhan. Semua itu karena banyak orang merasa nyaman dalam cara hidup mereka yang keliru.
Yohanes Pembaptis pun mengalami hal yang sama. Ia menyerukan pertobatan, memanggil orang untuk membuka hati dan mempersiapkan jalan bagi Mesias. Tetapi suara kenabiannya dilawan, dibungkam, dan akhirnya ia dibunuh. Orang menolak pertobatan karena mereka ingin tetap berada dalam zona nyaman dosa.
Keduanya ditentang bukan karena pesan mereka salah, tetapi karena hati pendengarnya keras, enggan berubah, enggan melepaskan kelekatan duniawi yang membutakan roh.
Mengapa hati bisa menjadi keras? Karena terlalu nyaman dengan kenikmatan dunia. Karena sudah terbiasa dengan pola hidup lama. Karena keterikatan pada dosa yang membentuk “ketagihan rohani”. Karena sikap apatis dan tidak peduli terhadap suara Allah.
Ketika hati sudah keras, kabar baik terdengar seperti ancaman. Teguran penuh cinta dianggap serangan. Ajakan pertobatan dipandang sebagai gangguan. Padahal, perubahan adalah pintu menuju hidup yang lebih baik. Pertobatan adalah jalan menuju pembebasan sejati.
Marilah dengan rendah hati memohon: “Ya Roh Kudus, terangi dan lembutkan hati kami.” Biarlah Roh Tuhan: memecahkan kekerasan batin, melebur kelekatan akan dosa, membuka ruang untuk pembaruan, dan memberi keberanian untuk berubah.
Seperti Elia dan Yohanes Pembaptis, kita pun dipanggil untuk menjadi suara kebenaran. Namun sebelum menyerukan pertobatan kepada orang lain, kita harus terlebih dahulu mengizinkan Tuhan melembutkan hati kita sendiri.
<span;>Tuhan memberkati, dan Ave Maria!





