Pendidik Dalam Keluarga, Mesti Dipersiapkan

148
Nikolaus Jata, O,carm adalah Staf pembina dan guru pada Seminari Petrus van Diepen

(Nikolaus Jata, O,carm)

Tema katekese masa Adven Keuskupan Manokwari-Sorong tahun 2023 ini adalah ‘Keluarga adalah Fondasi Hidup Kristiani’. Tema ini menurut saya searah dengan seruan apostolik megisterium Gereja yang dituangkan dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis. Dokumen tersebut secara serius mendeklarasikan sikap Gereja mengenai pentingnya pendidikan kristiani mulai dari tingkat keluarga. Gereja Katolik yakin bahwa pendidikan (dari keluarga) merupakan tindakan fundamental yang menyentuh akar hidup manusia sehingga bisa mengubah dan membentuk hidup seseorang. Oleh karena itu, bisa dipastikan bahwa tujuan umum dari katekese yang dibuat oleh komisi kateketik Keuskupan Manokwari-Sorong ini yakni terbentuknya kesadaran dalam setiap anggota keluarga, mulai dari orang tua dan sanak keluarga akan pentingnya pendidikan anak mulai dari keluarga. Sebab, akan menjadi apa dan bagaimana anak kelak, berhubungan erat dengan kehidupan keluarganya.

Secara pribadi, saya memberi apresiasi setinggi-tingginya kepada komisi kateketik Keuskupan Manokwari-Sorong atas materi dan arah dasar materi katekese kali ini. Berlandaskan materi tersebut, setiap keluarga diingatkan kembali akan panggilan luhurnya yakni pentingnya mendidik anak secara serius atau sungguh-sungguh. Keluarga disadarkan akan perannya sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya. Bahkan, keluarga adalah tempat paling pertama dan utama seorang anak menerima pendidikan nilai, pendidikan iman dan medan kesaksian iman.

Namun, setelah dicerna secara mendalam, sambil melihat kondisi riil kehidupan masyoritas umat di Keuskupan ini, muncul sebuah pertanyaan fundamental dalam benak saya. Siapa yang menjadi guru atau pendidik dalam rumah atau keluarga? Pertanyaan ini tentu mudah dijawab. Sejumlah orang akan mengatakan bahwa orang tua yang menjadi pendidik di rumah. Jika demikian, bagaimana dengan orang tua yang selalu melimpahkan tugas mendidik anak pada rumah pembinaan tertentu atau tempat penitipan anak? Apakah mereka sudah menjadi pendidik yang baik untuk anak-anak mereka? Atau, apakah semua orang tua di Keuskupan Manokwari-Sorong ini sudah mengetahui secara pasti dan tepat pola pembentukan anak di dalam rumah?

Pada umumnya, pendidik adalah mereka yang memiliki kualitas hidup tertentu, baik dari aspek pengetahuan, teladan hidup spiritual, mental-moral dan kehidupan sosial. Singkatnya, mereka adalah manusia unggul. Jika kualitas itu tidak ada, apakah pribadi tersebut mampu menjadi atau dijadikan sebagai pendidik? Pertanyaan ini secara langsung saya tujukan kepada keluarga kita masing-masing. Apakah setiap orang tua atau anggota keluarga kita sudah layak disebut sebagai pendidik untuk anak kita masing-masing? Apakah kualitas hidup kita sebagai orang tua sudah meyakinkan anak-anak kita bahwa kita adalah pendidik untuk mereka? Misalnya, rajin berdoa (hari Minggu, rutin di lingkungan dan dalam keluarga), atau menjadi figur teladan dalam penerapan nilai-nilai hidup (sopan-santun dan jujur), dan lain sebagainya. Jika jawaban atas pertanyaan ini adalah ya, maka layak bersyukur karena kita sudah siap menjadi pendidik bagi anak-anak kita. Jika belum, maka harus mengupayakan suatu hal untuk peningkatan kualitas pendidik di dalam rumah atau keluarga kita masing-masing. Menurut hemat saya, mesti ada program lanjutan setelah mengikuti katekese adven kali ini. Apakah itu?

Salah satu tahap lanjutan dari katekese adalah aksi nyata. Aksi nyata yang dimaksudkan di sini tidak harus melakukan sesuatu yang luarbiasa dan terkesan wao. Aksi nyata ini meskipun kecil tapi berarti dan bermakna bagi setiap anggota keluarga demi meggapai cita-cita luhur itu. Pertama, dianjurkan kepada setiap pastor paroki untuk membuat program wajib pendidikan perkawinan. Setiap pribadi yang hendak melangsungkan perkawinan yang serius hendaknya mengikuti pendidikan ini. Atau, dijadikan suatu program wajib paroki supaya menjadi wadah pendidikan untuk setiap umat yang memiliki rencana dan panggilan untuk hidup berkeluarga. Materinya disesuaikan dengan ajaran Gereja Katolik. Pendampingnya bisa dipercayakan kepada setiap orang yang berkompeten.

Selanjutnya, ada waktu ujian dan pernyataan secara resmi (formal) dari pastor paroki berhubungan dengan layak atau tidaknya seseorang untuk melangsungkan kehidupan keluarga. Hal ini kelihatan agak klasik dan terkesan mengintervensi keputusan setiap pribadi yang hendak melangsungkan kehidupan keluarga karena harus diuji dan dinyatakan layak terlebih dahulu sebelum membangun kehidupan berkeluarga. Namun, kenyataan itu menunjukkan keseriusan atau kesungguh-sungguhan Gereja Katolik dalam mempersiapkan setiap pribadi yang hendak membangun kehidupan berkeluarga. Keluarga yang dibangun melalui persiapan yang serius. Hal ini tentu selaras dengan tujuan umum katekese adven kali ini, yakni hendaknya keluarga menjadi sekolah pertama. Jika pendidiknya sudah dipersiapkan secara matang dan terencana serta meyakinkan, pasti idealisme keluarga sebagai sekolah pertama akan terwujud dan daripadanya terlahir suatu generasi yang menunjang kehidupan bersama, baik skala nasional, Gereja universal dan keluarga masing-masing.

Kedua, hendaknya setiap kebijakan parokial secara serius menunjukkan sikap solidaritas kepada setiap keluarga di paroki masing-masing. Sikap solidaritas ini menjadi sesuatu yang urgen di tengah kehidupan manusia yang semakin mengedepankan semangat individualime. Paus Fransiskus, dalam anjuran apostoliknya Evangeli Gaudium berusaha menyajikan kerangka kerja yang relevan dan menjadi inpirasi untuk setiap umat terutama para pelayan pastoral. Paus menginginkan agar bentuk keterlibatan pastoral mampu menerobos batas-batas klasik yang memenjarakan karya pewartaan dan keterlibatan Gereja hanya sebatas kegiatan liturgi semata. Paus juga menghendaki, agar Gereja saat ini berubah menjadi sebuah Gereja yang miskin, Gereja yang membiarkan lambang kemapanan hirarkialnya tercebur ke dalam lumpur keterlibatan (bdk. EG. 46).

Dalam kaitan dengan konteks kehidupan parokial kita, bisa jadi bahwa setiap paroki sudah memiliki program tertentu yang dibuat oleh dewan paroki berhubungan dengan sikap solidaritas Gereja terhadap keluarga. Jika sejumlah program tersebut tidak dijalankan secara serius dan sungguh-sungguh, atau dalam bahasa ekstremnya mau berbuat tapi “Takut dianggap hina karena bersentuhan dengan orang kecil”, maka pada masa adven ini adalah kesempatan untuk berefleksi tentang sepak terjang keterlibatan pastoral kita. Hendaklah kita bangunkan tekat yang kuat untuk meningkatkan lagi keseriusan dalam memperhatikan setiap keluarga. Misalnya, ada program kunjungan pastor paroki atau dewan paroki ke setiap keluarga dengan tema kunjungan persaudaraan.

Membangun persaudaraan dan menyapa umat secara dekat adalah semangat yang diajarkan Tuhan Yesus. Itulah ungkapan nyata solidaritas Gereja kepada orang kecil. Yesus tidak saja mengajarkan Kerajaan Allah dari atas altar, melainkan juga mendatangi semua orang dalam setiap situasi hidupnya. Dengan begitu, seorang pastor paroki atau dewannya menjadi lebih tahu dan memahami kehidupan umatnya, secara khusus dinamika hidup setiap anggota keluarga yang ada di parokinya. Mengetahui dan memahami secara baik sebuah persoalan adalah langkah awal yang jitu untuk menemukan solusi.

Ketiga, ciptakan jejaringan pendidikan yang berkelanjutan untuk setiap anak kita masing-masing. Misalnya, jika orang tua merasa bahwa anaknya perlu dibina secara lebih lanjut dan materi pembinaannya mesti berkorelasi dengan pembinaan di keluarga, maka diupayakan agar menyekolahkan anak pada lembaga pendidikan yang mendukung. Saya tidak menyebutkan nama lembaga pendidikan tertentu karena kurang etis. Namun, sebagai upaya untuk membentuk anak agar bertransformasi secara berkelanjutan mestinya menyekolahkan anak-anak kita di lembaga pendidikan yang sealiran. Hal ini dibuat dengan seuatu keyakinan bahwa anak-anak kita harus dibentuk dan dibina secara serius demi menjadi pribadi yang siap menghadapi gelombang besar perubahan di masa depan. Jika tidak, kita hanya menyiapkan generasi yang akan dengan mudah terbawa arus perubahan yang tak tahu ke mana arahnya, dan kita hanya menanti di medan hidup yang penuh dengan ketakpastian.

Akhirnya, harus diakui bahwa setiap kehendak baik mesti didukung dan setiap program yang baik mesti dilanjutkan. Tema katekese kali ini menyentuh hal yang fundamental dalam hidup kita. Tema pendidikan dalam keluarga, baik itu pendidikan nilai maupun pendidikan iman (atau yang lainnya) adalah sesuatu yang baik dan layak didukung dengan program lanjutan sebagai bentuk aksi nyata atas refleksi kita selama masa adven ini. Dukungan itu berupa menyiapkan secara baik “Pendidik”, sebab kita percaya bahwa kualitas kehidupan kita selalu berkaitan dengan keluarga; tempat kita ‘diciptakan’ dan dilahirkan. Dari keluarga, kita menciptakan sekaligus menyiapkan generasi emas yang sesuai dengan tuntutan zaman. Generasi yang tetap menghidupi tatanan nilai budaya dan beriman kepada Tuhan Yesus, meskipun dihantam dengan beragam perubahan yang mempertanyakan eksistensinya. Atas dasar itu, Paus Yohanes Paulus II menamakan keluarga sebagai ecclesia domestica.

***(Tulisan ini bukanlah sesuatu yang diterima begitu saja. Tulisan ini memiliki kelemahan-kelemahan yang bisa dikritik. Namun, ada hal yang tersirat di balik tulisan ini adalah sebuah kehendak baik agar keluarga kita mesti dibangun atas dasar kematangan dalam berbagai aspek. Jika berkenan, tulisan ini bisa dijadikan bahan refleksi kita masing-masing. Terima kasih.)