Memulihkan Keadilan Ekologis Bagi Seluruh Ciptaan

280
Memulihkan Keadilan Ekologis Bagi Seluruh Ciptaan
Tulisan ini merupakan bahan rekoleksi yang diberikan oleh Pater Anton Manehat, SVD kepada kelompok Matrida Sorong

(Pater Anton Manehat, SVD)

Komsoskms.org-Tema APP 2023 adalah “Keadilan ekologis bagi seluruh ciptaan; semakin mengasihi dan lebih peduli.” Keadilan ekologis berarti adil terhadap sesama manusia (sosial) dan sekaligus adil terhadap ciptaan lainnya. Ciptaan memiliki arti lebih luar dari lingkungan hidup, karena ada hubungannya dengan rencana kasih Allah di mana setiap makluk memiliki nilai dan arti (Laudato Si. 76).

Keadilan ekologis bertumpu pada prinsip bahwa seluruh ciptaan saling terhubung dan tergantung satu sama lain sebagai suatu persekutuan hidup universal. Karena itu, Paus Fransiskus menawarkan pendekatan yang menganitegrasikan soal keadilan dalam lingkungan hidup untuk mendengar dan menjawab seruan bumi dan kaum pinggiran. Memang lingkungan hidup selalu berkaitan erat dengan kelangsungan makluk hidup. Lingkungan yang sehat dan bersih akan menjamin kenyamanan bagi makluk hidup.

Sebaliknya, lingkungan hidup yang tidak sehat dan terkontaminasi polusi sangat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan makluk hidup yang berada di dalamnya. Planet bumi di mana semua makluk hidup berasal, tinggal dan bergantung harus turut bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Kesadaran akan kodrat, dunia dan kosmos adalah bukti akan tanggung jawab kita. Hal itu merupakan suatu kebutuhan untuk melihat dunia dengan suatu perasaan holistis.

Berkaitan dengan tema APPN 2023 adalah “Keadilan ekologis bagi seluruh ciptaan: semakin mengasihi dan lebih peduli,” maka baiklah kita bercermin pada ensiklik Laudato Si (Terpujilah Engkau) yang diterbitkan oleh Paus Fransiskus pada tanggal 24 Mei 2015. Ensiklik ini bersumber dari Gita Surya Santo Fransiskus Asisi, seorang mistikus yang mencintai hidup miskin, menghargai dan menyambut segala makluk ciptaan Allah sebagai saudara dan saudarinya. Cinta Santo Fransiskus Asisi kepada makluk ciptaan dan orang miskin memberikan inspirasi kepada Paus Fransiskus untuk menerbitkan Ensiklik Laudato Si.

Paus melihat bahwa bumi kita sedang sakit menjerit karena segala kerusakan yang telah manusia bebankan kepadanya, karena pemakaian dan penyalahgunaan manusia secara tidak bertanggung jawab atas kekayaan alam yang telah ditempatkan oleh Allah di dalamnya. Manusia berpikir bahwa dia adalah tuan dan penguasanya. Karena itu, Paus menyebut lima persoalan mendasar yang sedang dihadapi umat manusia dan dunia saat ini yaitu, polusi dan perubahan iklim, masalah air, hilangnya keanekaan hayati, penurunan kualitas hidup manusia, kemerosotan sosial dan ketimpangan global.

Krisis lingkungan hidup global merupakan akibat dari krisis moral dan spiritual yang memunculkan alienasi antara manusia dan alam semesta.
Urutan penyebutan masalah lingkungan hidup yang ditampilkan mau menunjukkan bahwa masalah lingkungan hidup global itu mencakup seluruh makluk ciptaan dan berpengaruh negatif bagi semua makluk hidup. Krisis lingkungan hidup global merupakan konsekuensi dari krisis moral dan spiritual yang menyebabkan keterasingan (alienasi) satu sama lain dari manusia dalam alam semesta. Sumber dan penyebab utama bagi pencemaran lingkungan hidup adalah manusia sebagai mahkota segala ciptaan, yang diciptakan menurut gambar dan citra Allah (bdk. Kej 1:27).

Ensiklik Laudato Si menggambarkan dan memperkenalkan kita dengan hasil terbaik penelitian ilmiah dewasa ini, dan dalam gaya bahasa yang lugas dan menyentuh, ensiklik ingin mendorong umat manusia sejagat untuk mencari solusi yang baik lewat dialog yang bukan hanya secara teknis, melainkan juga secara etis dan spiritual. Karena itu, Paus menyoroti krisis ekologis seperti polusi dan perubahan iklim, menipisnya air bersih, hilangnya keanekaan hayati, penurunan kualitas hidup manusia, kemerosotan sosial dan kesenjangan global antara yang kaya dan miskin.

Untuk membuka dialog yang terbuka, maka Paus mengangkat beberapa pedoman dari tradisi kristiani untuk mendorong komitmen umat kristiani terhadap lingkungan hidup. Kitab Suci secara khusus menyoroti tentang kisah penciptaan dunia dan segala isinya, yang menunjukkan kepada kita bukan hanya tanggung jawab manusia terhadap semua makluk ciptaan lainnya, melainkan memiliki hubungan erat antara manusia dan alam semesta serta segala isinya.

Dalam konteks ini, semua makluk ciptaan Allah merupakan suatu keluarga universal. Memang persekutuan universal dengan segala makluk ciptaan telah dihayati oleh Santo Fransiskus Aisisi. Sebetulnya bumi bukan hanya alam yang kita kelola, melainkan juga ciptaan Allah sebagai ungkapan kasih ilahi untuk semua makluk ciptaan. Karena itu, harta kekayaan bukan menjadi milik segelintir orang saja, melainkan dipelihara dan harus digunakan demi kesejahteraan bersama (bonum commune).

Salah satu akar krisis lingkungan hidup lainnya yaitu berkaitan dengan antroposentrisme. Manusia menempatkan dirinya sebagai pusat segalanya, dan bukan lagi Allah. Makluk hidup lainnya dianggap tidak mempunyai nilai selain sejauh berguna bagi manusia. Bila hal ini tidak berguna bagi kepentingan manusia secara individu, maka dijadikan sampah saja seperti barang bekas. Hal ini juga dialami oleh banyak tenaga kerja yang ditelantarkan begitu saja.

Menyadari bahwa akar manusiawi sebagai krisis ekologis, maka kita perlu memahami pandangan ekologi yang lebih lengkap dan utuh. Masalah lingkungan hidup dan pemecahannya tidak dapat dipisahkan dari peran manusia di dalamnya. Karena itu, lingkungan hidup harus disertai dengan suatu lingkungan ekonomi yang mencari model produksi baru yang lebih ramah terhadap sumber daya alam dan manusia, dan juga ekologi sosial yang memperhatikan lingkungan di mana bermukim masyarakat manusia.

Selain itu, ekologi budaya harus menghormati dan belajar dari kearifan budaya lokal dan masyarakat adat. Karena itu, dalam ekologi yang utuh, pengembangan dan perkembangan umat manusia dan kesejahteraan bersama seluruh alam semesta dan semua makluknya sekarang dan di masa depan, menjadi suatu prinsip etis tertinggi yang harus dihormati dan diwujudnyatakan oleh para teknokrat.

Dalam kaitan dengan kerangka refleksi di atas, dan untuk mencari solusi dari krisis, maka Paus mengajukan beberapa pedoman untuk dialog dan tindakan yang melibatkan politik internasional. Sebagai contoh, lewat konferensi tingkat tinggi mengenai lingkungan hidup yang menghasilkan kesepakatan yang memadai, adil dan terkontrol. Kesepakatan ini diharapkan melibatkan politik nasional yang mengutamakan kepentingan seluruh bangsa dan negara baik jangka pendek maupun jangka panjang, yang menguntungkan dan bukannya merugikan.

Karena itu, semua keputusan yang berkaitan dengan lingkungan hidup perlu diambil lewat cara dialog yang terbuka antara semua pihak terkait, termasuk peran serta (khusus) penduduk lokal. Tanpa tunduk kepada desakan ekonomi, dan teknologi sepihak, politik harus membangun dialog demi kepentingan seluruh masyarakat dan pengembangan manusia. Demi tujuan yang sama, maka agama-agama pun diharapkan turut terlibat untuk membangun dialog dengan sains.

Memang perubahan tidak mungkin terjadi tanpa motivasi dan proses pendidikan. Karena itu, kita perlu mengikuti beberapa panduan untuk pengambangan manusia yang diinspirasi oleh harta pengalaman spiritual kristiani. Spiritualitas kristiani membantu kita untuk menolak desakan ekonomi pasar bebas yang menggiurkan dan menggoda banyak orang untuk belanja sebanyak mungkin dan cenderung hidup konsumeristis, yang juga turut merusakkan alam semesta dan turut menciptakan kesenjangan sosial dalam masyarakat. Sebaliknya, keseimbangan ekologis pada tingkat sosial, alam semesta dan spiritual bisa dicapai lewat pendidikan ekologis seperti mengurangi penggunaan plastik, kertas, air dan lampu, dan lain sebagainya.

Memang dewasa ini, bila kita melihat secara kasat mata adanya krisis ekologis yang terjadi secara global seperti perubahan iklim, menipisnya sumber daya alam, dan melebarnya jurang kaya dan miskin. Semua krisis tersebut berasal dari ulah manusia yang tidak menghormati dan menghargai alam semesta. Manusia begitu serakah dan ingat diri untuk mendahulukan kepentingan ekonomi dengan merusak alam semesta. Teknologi yang digunakan manusia secara tidak bertanggung jawab menyebabkan terjadinya desertifikasi, erosi dan kehilangan lahan pertanian dan peternakan, polusi udara, air dan tanah.

Sehubungan dengan tindakan pencemaran lingkungan hidup, Paus Yohanes Paulus II dalam pesan hari perdamaian sedunia (Januari 1990) menekankan bahwa pentingnya berdamai dengan Allah sebagai pencipta dan semua makluk ciptaan. Kesadaran ekologis harus bertumbuh dalam diri manusia untuk membangun perdamaian dunia. Merosotnya perdamaian dunia bukan hanya disebabkan oleh perlombaan senjata, konflik regional dan nasional, melainkan juga disebabkan oleh kurangnya penghormatan kepada alam ciptaan. Karena itu, umat manusia membutuhkan kesadaran ekologis untuk mengembangkan program dan inisiatif yang konkit.

Paus juga menambahkan bahwa masyarakat modern tidak bakal menemukan solusi terbaik untuk mengatasi masalah krisis lingkungan hidup terkecuali, jika mereka mengambil tindakan konkrit terhadap pola hidup mereka. Semuanya itu harus menjadi bagian integral dalam kehidupan setiap hari, dan sekaligus harus menghentikan tindakan negatif dan semua kebiasaan buruk.

Memang krisis lingkungan global sebagai akibat dari krisis moral dan spiritual yang mendatangkan alienasi satu sama lain dalam alam semesta. Itu sebabnya Paus Yohanes Paulus II mengajak dan menyerukan pertobatan ekologis sebagai suatu solusi untuk memperbaiki lingkungan hidup yang rusak. Dewasa ini planet bumi sedang mengalami krisis lingkungan hidup yang mengglobal.

Sebetulnya tema APPN 2023 memiliki sasaran dan tujuan yaitu untuk menghormati dan melestarikan alam semesta sebagai sumber dan pendukung demi kelangsungan hidup segala ciptaan. Dan juga untuk menyadari fungsi dan peran manusia sebagai bagian dari keutuhan segala ciptaan yang bertanggung jawab dalam menjaga dan melestarikan alam semesta sebagai rumah. Atau dalam ungkapan Santo Fransiskus Asisi, lingkungan hidup merupakan “rumah” yang dianugerahkan Tuhan kepada umat manusia dan makluk hidup lainnya. Kita semua tinggal bersama di alam semesta sebagai satu keluarga.

Keluarga merupakan sebuah sekolah kemanusiaan. Tentang kehidupan keluarga, Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Familiaris Consortio (1981) menulis bahwa Gereja ingin membantu keluarga-keluarga untuk mencapai kesejahteraan dan membantu kaum muda dalam mencari dan menemukan keindahan dan keagungan panggilan untuk mengasihi. Dewasa ini keluarga-keluarga mengalami situasi paradoksal yakni meningkatnya kesadaran akan martabat manusia dan merosotnya nilai-nilai dasar tertentu (No. 1,6).

Ensiklik Familiaris Consortio menegaskan bahwa keluarga merupakan sel pertama dalam masyarakat. Keluarga adalah sekolah kemanusiaan dalam hidup bermasyarakat, dengan mengembangkan semangat rela berkorban dan berdialog, memanusiakan dan mem-pribadi-kan anak-anak. Keluarga-keluarga sendirilah yang harus menjadi pembela utama hak-hak keluarga (No. 42-44).

Karena itu, sebagai komunitas religius (Matrida), kita pun harus ikut serta membangun Gereja lokal. Kita harus menjalankan fungsi dan tugas kenabian dengan menyambut dan mewartakan Sabda Allah. Berdasarkan tugas tersebut, maka kita bersatu dengan Allah melalui doa dan ibadat. Komunitas religius (Matrida) merupakan suatu keluarga besar pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihiNya. Dalam konteks kehidupan masyarakat, kita hidup dan berada di tengah-tengah masyarakat manusia. Dalam hidup bermasyarakat yang majemuk, secara khusus menyangkut etnis, budaya, ras, agama, dan suku, maka kita dituntut untuk hidup rukun dan damai, suci dan kudus sesuai dengan kebajikan-kebajikan kristiani sebagaimana diamanatkan Kitab Suci.

Sebagai komunitas religius (Matrida), kita pun harus memiliki belas kasihan, kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran. Di atas segalanya, sebagai komunitas religius kita harus memiliki kasih sebagai tali pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Kebajikan hidup kristiani merupakan warta universal yang mampu meruntuhkan tembok pembatas pluralitas kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa. Kita pun diharapkan mampu bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi-pribadi yang saling bersaksi dan berbelarasa, saling membimbing dan mengasihi seturut amanat Yesus Kristus yang adalah tokoh penyelamat umat manusia dan model pewarta sejati.

Lewat tema APPN 2023, “Keadilan ekologis bagi seluruh ciptaan; semakin mengasihi dan lebih peduli,” kita diajak untuk ikut bertanggung jawab dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Kita harus paham bahwa hubungan antara manusia dan lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Manusia tidak bisa hidup di ruang hampa, tetapi terjalin erat dengan lingkungan hidupnya untuk menopang kehidupannya. Namun usaha ini tidak bisa dipisahkan dari lingkungan hidup di mana kita hidup dan berada. Lingkungan hidup yang bersih dan sehat dapat menjamin kelangsungan hidup manusia dan makluk hidup lainnya.

Kesadaran ekologis dan spiritual menuju pertobatan ekologis merupakan sebuah komitmen untuk menghayati panggilan ekologis secara baik dan benar. Wawasan keadilan ekologis dimulai dari diri kita untuk membangun dan menumbuhkan pertobatan ekologis. Allah bersabda kepada Adam dan Eva untuk mengusahakan dan memelihara taman Eden dan segala isinya dengan sebaik-baiknya (bdk. Kej 2:15).

Hal ini dapat dimengerti dan diterjemahkan bukan sebagai penguasa mutlak atas seluruh ciptaan di planet bumi, melainkan terutama sebagai pelindung dan pemelihara semua makluk hidup dan segala ciptaan lainnya. Kita hendaknya sadar bahwa panggilan hidup kita adalah untuk melakukan yang baik bagi orang lain. Karena itu, petuah Sukhi Hontu patut direnungkan dan dicamkan, “Teruslah melangkah selama engkau berada di jalan yang baik, meskipun terkadang kebaikan tidak selalu dihargai, karena hidup bukanlah siapa yang terbaik, melainkan tentang siapa yang berbuat baik.”

Semoga Roh Kudus mengilhami dan menopang kita di masa Prapaskah ini terutama dalam pendakian kita bersama Yesus menuju puncak Golgota, sehingga kita boleh mengalami keagungan ilahiNya dan dengan demikian, diteguhkan dalam iman, bertekun dalam perjalanan kita bersama denganNya, menjadi kemuliaan bagi umatNya dan terang bagi semua orang. Karena itu, kita hendaknya memiliki rasa empati dan kesetiakawanan dalm menjaga dan melestarikan lingkungan hidup menuju suatu persekutuan hidup yang mesra dengan semua ciptaan di bawah bimbingan Allah sebagai Pencipta.
(Tulisan ini merupakan bahan rekoleksi yang diberikan oleh Pater Anton Manehat, SVD kepada kelompok Matrida Sorong – Aimas di biara TMM Remu, pada Rabu, 22 Maret 2023)