Membungkuk atau Berlutut? Tunduk Kepala atau Mencium? (Katekese Liturgi Seri-3)

473
RD. Zepto-Triffon POLII, Pastor Paroki Gereja St. Albertus Agung, Teminabuan

KOMSOSKMS.ORG – Dalam PUMR 49, Gereja mengajarkan:
<< Setibanya di panti imam, imam, diakon, dan para pelayan menghormati altar dengan membungkuk hikmat. Kemudian, sebagai tanda penghormatan, imam dan diakon mencium altar; sesuai dengan tingkat perayaan, imam dapat juga mendupai salib dan altar. >>

Seturut ketentuan tersebut, setiap kali arak-arakan imam, diakon, dan para pelayan liturgi masuk, mereka membungkuk hikmat di depan altar. Akan tetapi pada bagian lain PUMR, disebutkan juga bahwa bila di gereja tersebut terdapat tabernakel yang berisi Sakramen Mahakudus, maka arak-arakan ini bila tiba di depan altar, bukan membungkuk melainkan berlutut. Pedoman memberikan perkecualian tata gerak ini bagi para pelayan pembawa salib-prosesi dan lilin bernyala.

PUMR 274
<< …. Kalau di panti imam ada tabernakel dengan Sakramen Mahakudus di dalamnya, maka imam, diakon, dan pelayan-pelayan lain selalu berlutut pada saat mereka tiba di depan altar dan pada saat akan meninggalkan panti imam. Tetapi dalam misa itu sendiri mereka tidak perlu berlutut. Di luar Perayaan Ekaristi, setiap kali lewat di depan Sakramen Mahakudus, orang berlutut, kecuali kalau mereka sedang dalam perarakan. Para pelayan yang membawa salib-perarakan atau lilin menundukkan kepala sebagai ganti berlutut. >>

Paham tentang Menghormati Altar

Pedoman misa memberi petunjuk bahwa entah dengan membungkuk-hikmat maupun berlutut, itu merupakan tanda hormat kepada altar. Altar sendiri layak untuk dihormati. Altar mutlak ada dalam Perayaan Ekaristi. Dalam ruang ibadah, tabernakel boleh ada, boleh tidak ada. Tetapi, altar harus ada. Di atas altar-lah kurban Kristus dilaksanakan. Karena itu sedemikian penting altar itu. Karena itu juga altar dihormati, bahkan di luar upacara liturgi. Altar harus mendapat perlakuan istimewa; tidak boleh diperlakukan sama seperti meja-meja lain.

Edmund Bishop dalam bukunya Liturgica Historia (Oxford: Clarendon Press, 1918) memberi kesaksian bahwa Santo Benediktus dari Aniane, seorang rahib Benediktin dan pembaharu hidup monastik, yang hidup tahun 745-821, mewajibkan semua rahib di biaranya di Inde untuk menghormati altar tiga kali sehari.

Imam dan diakon wajib mencium altar. Para pelayan lain tidak disebutkan untuk tindakan ini. “Mencium altar” merupakan tata gerak menghormati altar yang dikhususkan bagi para tertahbis. Peran hirarkis diakon disebutkan secara jelas dalam pedoman liturgi sebagai pendamping terdekat dari imam. Tentang peran istimwa diakon ini disebut juga dalam PUMR 66 dan 94, bahwa ada peran dan fungsi khusus dalam liturgi yang didelegasikan hanya kepada diakon, bukan kepada pelayan awam.

Diakon dan Pro-Diakon

Kita semua maklum bahwa diakon yang dimaksudkan di sini menunjuk pada pria tertahbis; berbeda dengan pro-diakon. Diakon merupakan orang tertahbis; pro-diakon merupakan orang awam biasa. Pro-diakon cukup lazim ditemukan di paroki-paroki kita.

Diakon Tertahbis

Pro-diakon itu umat awam, bisa pria, bisa wanita. Biarawan/biarawati-pun boleh. Mereka dilantik oleh uskup untuk tugas khusus tertentu. Misalnya membagikan komuni. Untuk pro-diakon dengan tugas khusus ini, Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia memakai istilah teknis resmi: Petugas Pembagi Komuni Tak Lazim (Extraordinary Minister of Holy Communion). Di keuskupan tertentu tugas pro-diakon diperluas hingga memakamkan orang mati, dan memimpin Ibadah Sabda. Mungkin, masih didelegasikan lagi tugas lain.

Mendupai Salib dan Altar

Kecuali tindakan mencium altar altar juga dihormati dengan pendupaan “sesuai dengan tingkat perayaan”. Teks Indonesia tersebut sesungguhnya dipakai untuk menerjemahkan “pro opportunitate” (Latin), atau “as the occasion suggests” (Inggris). Dengan mengacu juga pada PUMR 277 tentang tata cara pendupaan, maka sebelum mendupai altar, imam mendupai salib, yang terletak entah di atas, entah di samping/dekat altar. Tentang berapa kali ayunan pendupaan salib dan pendupaan altar, akan ada pembahasan tersendiri nanti.

Pantas juga memperhitungkan prinsip kesesuaian. Hal ini akan disinggung juga dalam PUMR 135 tentang pendupaan sebelum Pembacaan Injil. Pendupaan salib dan altar pada Ritus Pembuka ini haruslah sepadan dengan pendupaan-pendupaan lain yang dilaksanakan dalam keseluruhan bagian Misa tersebut. Hikmat, hormat, sopan dan penuh keagungan, bukan sekedar demi formalitas, bahkan asal-asalan.

Wa Shalom
Zepto@Teminabuan