Memaknai Kepekaan Sosial & Menjadi Pelayan Pastoral di Bumi Cendrawasih

11
Memaknai Kepekaan Sosial & Menjadi Pelayan Pastoral di Bumi Cendrawasih

 

Wilhelmus Leu Ma’ing, S. Pd   

Yayasan Sosial Lumen Viva

Camkanlah pernyataan seorang Uskup Helder Camara dari Brazil demikian, “Jangan pernah memilih menjadi seorang netral di antara kelompok penguasa dan pengusaha dengan kelompok marjinal. Jika Anda memilih netral berarti menjadi seorang pengkhianat”.

    Dokumen Konsili Vatikan II Gaudium et Spes pada alinea pertama dikatakan, ”Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, juga merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus”. Pernyataan tersebut menjadi dasar tugas perutusan Gereja untuk peduli dan solider kepada mereka yang miskin, menderita, direndahkan martabatnya sebagai manusia. Manusia adalah makhluk sosial. Manusia tidak diciptakan untuk tinggal di pulau terpencil. Ia tidak bisa hidup sendirian, tetapi dipanggil dan diutus untuk melakukan pelayanan kemanusiaan. Ajaran Sosial Gereja (ASG) telah lama hadir, namun banyak orang Katolik tidak menyadarinya dan tidak menerapkannya dalam perjalanan hidupnya. Gereja sebagai tanda kehadiran Allah yang berziarah dalam sejarah manusia, selalu hadir dan bergumul dengan aneka ragam problem sosial dan kemanusiaan di tengah dunia. Keprihatinan dan kepedulian Gereja kian hari makin menyolok seiring bertambahnya masalah sosial dan kemanusiaan.

    Melalui ajaran sosialnya, Gereja Katolik mengajak seluruh umat beriman untuk selalu peka dan peduli pada nasib sesama, terutama mereka yang miskin, menderita, tertindas dan menjadi korban ketidakadilan. Bersikap peduli terhadap kelompok-kelompok marjinal ini Gereja turut mengambil bagian dalam misi Yesus Kristus, Sang Guru yaitu misi pembebasan dan pemberdayaan manusia. Gereja mengundang semua umat beriman untuk mengambil bagian dalam upaya mengangkat martabat manusia sebagai ciptaan Allah sebab manusia telah diciptakan menurut citra dan gambar Allah. Kepedulian terhadap nasib sesama itu menjadi kontekstual ketika kehidupan di dunia modern dan global saat ini banyak sekali menunjukkan tanda-tanda rusaknya wajah Allah dalam diri manusia akibat dari ketidakadilan, kekerasan, penindasan dan kemiskinan. Kenyataan tersebut sungguh-sungguh memprihatinkan sebab menyangkut hak hidup setiap manusia. Substansinya setiap manusia ingin merasakan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir-batin. Tidak ada orang yang ingin hidup menderita karena keterbatasan. Namun karena keterbatasan sumber daya manusia, sumber daya alam, pola sikap manusia yang negatif, struktur sosial yang tidak adil dan kurang menguntungkan sebagian besar umat manusia, maka kemiskinan tidak bisa dihindari.

        Untuk mewujudkan kesejahteraan bersama setiap orang terpanggil dan diutus untuk terlibat aktif mengembangkan karya-karya sosial dan kemanusiaan. Perlu diketahui bahwasanya kemiskinan sering terjadi disebabkan mentalitas umat manusia, rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan, kesalahan pengelolaan keuangan dalam keluarga dan gaya hidup yang konsumtif.

    Bumi Papua adalah mozaik yang sejak bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selalu menjadi sentral diskusi dengan aneka ragam isu. Misalnya dari buminya yang mengandung kelimpahan alam dan kebudayaan masyarakatnya nan eksotik. Tak luput pula dinamika konflik yang senantiasa menjadi berita yang mencuat pada skala daerah, nasional maupun internasional. Peta masalah begitu kompleks dan butuh energi ekstra untuk mencari solusi terbaik. Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Ada sejumlah harapan telah terpenuhi, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa tidak sedikit kabut tebal persoalan yang menyelimuti sehingga belum tersentuh oleh pihak yang berwenang. Jangan lupa pula dampak dari intervensi oleh berbagai pihak tersebut telah melahirkan persoalan baru. Muncullah benang kusut dan sulit menguraikannya satu per satu.

    Jangan takut! Masih ada secercah harapan untuk mewujudkan keamanan, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan bersama di tanah Papua. Kita mesti memikirkan dengan cerdas, menuturkannya dengan sopan dan jujur serta mau melakukannya dengan hati nan tulus-ikhlas. Tindakan konkret dari pihak Pemerintah seperti hadirnya program Otsus, pemekaran wilayah dari level kampung hingga provinsi dan sebagainya. Sementara itu berbagai lembaga nasional dan internasional juga masuk hingga ke pelosok kampung di pedalaman melalui aneka proyek pembangunan dan program pemberdayaan masyarakat. Semua bentuk perhatian tersebut demi mewujudkan suatu perubahan menuju bonum commune (kesejahteraan bersama).

    Semua yang ada di Bumi Cendrawasih: tanah, air, udara, hutan, pohon, aneka sumber daya alam yang terkandung di perut buminya serta ciptaan lainnya disediakan bagi kita bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk masa depan. Bukan pula hanya untuk kita yang hidup saat ini, tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Sebagai orang beriman dan warga masyarakat NKRI kita mestinya sadar dan tahu diri bahwasanya dalam rangka membangun tanah Papua, kita mesti berjalan bersama semua komponen warga masyarakat supaya pembangunan yang digaungkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah hingga sampai di tingkat kampung-kampung terarah kepada kesejahteraan masyarakat, bukan pada keuntungan sebesar-besarnya bagi penguasa dan pemodal sembari menghancurkan manusia dan ciptaan lainnya. Kita yakin tanah Papua adalah tanah terberkati – surga kecil yang jatuh ke bumi bagi siapa pun yang hidup dan tinggal di Papua. Tanah Papua bukan tanah yang hanya dieksploitasi secara masif dan hasilnya di bawa keluar daerah. Kalaupun ada bagian yang dikembalikan kepada warga masyarakat Papua hanyalah remah-remah yang jatuh dari meja sekelompok kecil konglomerat yang berselingkuh dengan para penguasa di level nasional dan daerah yang mereguk kenikmatan di atas penderitaan rakyatnya. Aneh tapi nyata. Miris, bukan?

    Sadar atau tidak, arus kapitalisme begitu kuat mencengkeram kukunya dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat. Misalnya hak-hak masyarakat kecil, lemah, tak berdaya di pelosok daerah, khususnya mereka yang tinggal kampung halamannya sendiri dirampas bahkan diusir oleh mereka yang kuat dengan pelbagai cara yang licik. Kita semua tahu bahwa orang di kampung tidak mempunyai sertifikat tanah. Oleh sebab itu, kapan saja tanah leluhur mereka dapat hilang begitu saja. Kemudian, mereka harus melakukan eksodus dan hanya menunggu uluran tangan dan bantuan pihak lain. Sampai kapan mengakhiri kisah nan lara ini?

    Realita yang ada di hadapan kita saat ini, mengajak kita semua agar peka menangkap dan menyikapi aneka persoalan yang terjadi di tengah masyarakat terkait martabat sebagai orang beriman yang hidup dan tinggal di tanah Injil ini. Kita tidak mau bahwasanya orang Papua hanya menjadi korban dalam slogan atas nama pembangunan. Pembangunan yang didambakan warga masyarakat adalah terwujudnya kesejahteraan bersama dan kedamaian dalam hidup bersama sebagai warga masyarakat Papua dan warga NKRI. Siapa saja yang tinggal dan hidup di tanah Papua bertanggung jawab atas kebaikan bersama untuk mengejawantahkan surga kecil yang jatuh ke bumi ini.     

    Dalam konteks tugas perutusan Gereja ke tengah-tengah dunia saat ini, pemberdayaan masyarakat menjadi perhatian serius untuk mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan hidup melalui pola pendekatan melibatkan, mengembangkan dan mencerdaskan sesama. Program pemberdayaan menjadi secercah harapan yang bisa memberikan solusi atas berbagai kesulitan yang dialami umat manusia dalam hidupnya. Jangan lupa aspek pengembangan sumber daya manusia agar memiliki ketrampilan, pekerjaan serta mandiri dalam usaha yang dapat menghasilkan pendapatan tetap. Selain itu, sadarkan mereka untuk melek mengelola keuangan dan bergaya hidup ekonomis serta gerakan habitus menabung.

    Mengalami dan merasakan situasi yang tidak manusiawi ini, sebagai murid Yesus Kristus tidak bisa tinggal diam atau memposisikan diri sebagai penonton saja. Pengikut Yesus hendaknya mengambil bagian lewat karya-karya nyata yang dapat dilakukan untuk mewujudkan bonum commune atas dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

    Gereja Katolik melalui aneka Ajaran Sosial Gereja mengajak dan mengundang semua orang yang berkehendak baik untuk selalu peka dan peduli kepada sesama, terutama kepada yang miskin, menderita, tertindas, dan menjadi korban ketidakadilan. Persoalan-persoalan kemanusiaan  harus menjadi pokok perhatian dalam pelayanan pastoral. Mari, kita meneruskan misi Yesus Kristus – Sang Guru sebab Dia diutus ke dunia untuk memberitakan Kabar Baik kepada kaum miskin dan pembebasan bagi para tawanan serta kaum tertindas. 

    Pengalaman mendampingi warga masyarakat lewat program pemberdayaan kader kesehatan HIV dan AIDS, TBC, Malaria (ATM), PHBS dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dari wilayah perkotaan hingga ke kampung-kampung selama ± 13 tahun merupakan panggilan untuk melayani dan menyuburkan pelayanan kemanusiaan. Pelayanan kemanusiaan semestinya mengangkat martabat manusia sebagai citra Allah. “Kita dapat membangun banyak hal. Tapi jika kita tidak memberitakan Yesus Kristus, ada sesuatu yang salah. Yesus Kristus mengajarkan kita dengan cara yang berbeda. Keluar! Keluar dan berbagi kesaksian kalian, keluar dan interaksi dengan saudara kalian, keluar, berbagi, dan bertanya” demikian ungkap Paus Fransiskus. Pelayanan kemanusiaan dalam praktek hidup seorang Paus Fransiskus dari negerinya di Argentina hingga ke Vatikan. Bukan hanya wacana belaka tetapi sungguh karya konkret. Bukan cuma karena ada ketulus-ikhlasan, melainkan sudah menjadi roh yang mewujud dalam keseluruhan hidupnya.    

    Yesus Kristus, Sang Guru mengundang murid-murid-Nya menjadi pelayan kemanusiaan seperti yang dilakukan-Nya lewat tindakan menyembuhkan orang-orang sakit yang datang kepada-Nya, memperhatikan dan membela kelompok yang tidak berdaya dan makan bersama orang-orang yang dianggap berdosa oleh sesamanya.  

    Komitmen seorang Yesus Kristus berpihak kepada kelompok lemah dan tak berdaya. Sang Guru tidak hanya menunjukkan lewat ajaran saja, tetapi telah memberikan teladan melalui tindakan konkret pada zaman-Nya. Apabila Anda mau mengikuti-Nya: pilihlah jalan salib. Jalan salib tidak selamanya harus menjadi seorang martir. Jadilah seorang nabi yang mengajar di padang gurun kehidupan zaman ini. Camkanlah pernyataan seorang Uskup Helder Camara dari Brazil demikian, “Jangan pernah memilih menjadi seorang netral di antara kelompok penguasa dan pengusaha dengan kelompok marjinal. Jika Anda memilih netral berarti menjadi seorang pengkhianat”. Setiap orang yang telah dibaptis diutus memberitakan Good News tentang Kerajaan Allah kepada umat manusia di tengah era disrupsi (perubahan maha cepat) saat ini. Itu berarti sering kali tidak mudah, butuh perjuangan sebab tidak jarang akan mengalami kesulitan maupun tantangan dari yang sederhana maupun yang pelik. Belajarlah dari seorang Rasul Agung Santo Paulus, dalam keadaan apa pun tetap tabah. Pengikut Sang Guru harus tabah dan berani sampai akhir.*