Komunikasi Pengharapan di Tengah Dinamika Dunia Digital

20
Seminar dengan tema "Menjadi komunikator pengharapan" di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana Malang, Jawa Timur

KOMSOSKMS.ORG, MALANG — Perkembangan dunia digital yang semakin pesat menghadirkan tantangan baru dalam praktik komunikasi sosial. Di tengah derasnya arus informasi, disinformasi, dan polarisasi opini, pesan Paus Fransiskus dalam perayaan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-59 mengingatkan pentingnya peran umat Katolik menjadi komunikator pengharapan. Komunikasi yang dijalankan diharapkan tak hanya menyampaikan pesan, melainkan membangun relasi yang mempersatukan.

Hal itu disampaikan Ketua Komisi Komunikasi Sosial Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr Cornelius Sipayung OFMCap, dalam seminar umum bertajuk Menjadi Komunikator Pengharapan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana Malang, Jawa Timur, Kamis (12/06/2025). Menurut Mgr Cornelius, komunikasi dalam iman Katolik berakar dalam misteri Tritunggal Mahakudus, di mana relasi saling memberi diri, mendengar, dan mengasihi menjadi dasar utama.

“Setiap tindakan komunikasi yang jujur, penuh kasih, dan membangun relasi sejati merupakan partisipasi dalam hidup Allah Tritunggal. Itulah sebabnya, komunikasi yang memecah belah, penuh kebencian, dan manipulasi bertentangan dengan semangat iman Kristiani,” ujar Uskup Agung Medan ini.

Disinformasi dan Polarisasi
Dosen sosiologi STFT Widya Sasana, Romo Yohanes I Wayan Marianta SVD menyoroti maraknya disinformasi dan polarisasi yang terjadi akibat pemanfaatan big data dan algoritma oleh pusat-pusat kekuasaan serta perusahaan teknologi. Menurutnya, Paus Fransiskus secara cermat membaca situasi sosial ini, di mana ruang digital sering kali dipenuhi informasi yang tidak berimbang dan menimbulkan perpecahan.

“Algoritma media sosial bekerja dengan menyajikan konten yang sesuai minat pengguna, sehingga memperkuat bias, mempersempit wawasan, dan membuat masyarakat terjebak dalam gelembung informasi. Ini yang memperparah polarisasi, termasuk di dalam komunitas Gereja,” kata Romo Wayan.

Ia juga menyinggung peran ekonomi digital yang mengandalkan perhatian publik. Platform digital dan penggunanya berlomba-lomba menciptakan konten yang menarik klik dan perhatian, tanpa mempertimbangkan nilai kebenaran maupun dampak sosial. Dalam kondisi seperti ini, Gereja diingatkan untuk menghadirkan wajah yang berbeda: menjadi ruang yang menyuarakan kedamaian, harapan, dan keadilan.

Komunikasi Tanpa Senjata
Pakar teknologi informasi dan komunikasi Prof Dr Ricardus Eko Indrajit menyampaikan, Indonesia kini dinilai sebagai negara dengan tingkat keramahan terendah di media sosial di Asia Tenggara, menurut laporan Microsoft. Fenomena ini menunjukkan bahwa ruang digital kerap menjadi sarana penyebaran ujaran kebencian dan provokasi.

Prof Eko mengingatkan pentingnya konsep “disarm communication”, yaitu komunikasi yang tidak menggunakan kata-kata ofensif atau menyakiti. Ia menyebutkan, terlalu banyak ruang digital diisi oleh ujaran-ujaran yang bersifat agresif. “Orang baik sering memilih diam, sementara ruang publik digital diisi suara keras yang memecah belah,” ujar Prof Eko.

Ia juga memaparkan bagaimana algoritma digital bekerja dengan menyajikan konten berdasarkan preferensi pengguna. Tanpa disadari, hal ini membentuk ekosistem informasi yang bias dan memperkuat polarisasi. “Yang diperlukan bukan hanya kehadiran, tetapi juga keberanian menyampaikan pesan dengan santun di ruang digital,” tambahnya.

Literasi Digital dan Peran Gereja
Baik Romo Wayan maupun Prof Eko sepakat, salah satu solusi menghadapi tantangan komunikasi digital adalah meningkatkan literasi digital di masyarakat. Menurut mereka, Gereja perlu hadir aktif dalam ruang maya, memanfaatkan algoritma, dan membanjiri ruang digital dengan konten-konten edukatif, inspiratif, dan sejalan dengan nilai-nilai iman.

“Anak-anak muda kini mencari jawaban atas persoalan hidup mereka melalui mesin pencari dan media sosial. Gereja harus memastikan bahwa jawaban yang mereka temukan adalah informasi yang benar, meneguhkan, dan membangun pengharapan,” ujar Prof Eko.

Di akhir pemaparan, Romo Wayan mengingatkan, di tengah dinamika digital, komunitas nyata tak boleh diabaikan. “Komunitas tatap muka tetap penting. Relasi yang dibangun secara langsung di lingkungan gereja dan masyarakat adalah pondasi untuk membangun komunikasi yang sehat, baik di dunia nyata maupun digital,” katanya.

Seminar ini menjadi ruang refleksi atas tantangan komunikasi modern sekaligus upaya bersama menyuarakan pesan damai di tengah kegaduhan informasi. Pesan utamanya jelas: umat Katolik dipanggil menjadi komunikator pengharapan di era digital, dengan komunikasi yang lembut, jujur, dan membangun relasi.

Penulis: Abdi Susanto – Komsos KWI