“Hubungan Cinta dan Hukum Di Hadapan Sesama Yang Lain”

110
Sdr. Vredigando Engelberto Namsa, OFM Biarawan Fransiskan Provinsi Fransiskus Duta Damai Papua

Hukum membutuhkan cinta untuk tetap bersifat dinamis dan maju. Cinta membutuhkan hukum supaya cinta terlaksana dan terjamin. Hubungan cinta dengan hukum pada dasarnya bersifat dialektis. Hukum dan cinta sangat berlainan. Dasar hukum adalah keadilan. Adil berarti memberikan kepada tiap orang apa yang menjadi haknya. Hak orang yang satu menjadi kewajiban untuk orang lain. Keberadaan yang nyata yang memang hadir sedemikian tentang keadalian ialah hukum yang dirumuskan dan berlaku baik secara nasional maupun internasional.

Keadilan yang menjadi hukum dapat dipaksakan melalui lembaga-lembaga pemerintah. Dalam negara hukum, orang merasa aman karena hak dan kewajiban dijaga oleh lembaga-lembaga pemerintah. Lain halnya dengan cinta. Cinta pada prinsipnya tidak dapat dipaksakan. Cinta berasal dari diri yang paling dalam. Cinta diberikan dengan bebas. Cinta terarah kepada diri sesama sebagai person. Cinta bertujuan supaya diri sesama menuju keunikan dan kebahagian. Diri sesama diakui, diterima dan diteguhkan dalam perbedaan dan keunikannya. Hukum terarah kepada hak atas “Sesuatu” misalnya pekerjaan, milik, sedangkan cinta terarah kepada diri orang secara menyeluruh, kebahagiaan dan identitasnya. Dalam hukum, kata “aku” lebih menonjol, sedangkan dalam cinta kata “kita” lebih menonjol. Cinta terarah kepada suatu kebersamaan. Cinta mengatakan, “Anggaplah sepeda motorku seperti sepeda motormu sendiri”.

Apa yang menjadi dasar adanya hukum? Bila dilihat dari pertanyaan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa, jawaban atas pertanyaan tersebut beraneka ragam. Thomas Hobbes (Filsuf beraliran empiris dan materialis) yang hidup pada 1588–1679 mengatakan, “Homo homini lupus est” sebagai dasar keberadaan hukum. Manusia berprilaku sebagai serigala bagi manusia yang lain. Mereka mau saling menelan sesamanya. Hukum perlu dibuat untuk menjaga agar serigala yang satu jangan menelan serigala yang lain. Hukum harus menjaga pembatasan agar tidak terjadi bentrokan. Ada yang berpendapat bahwa cinta bersebrangan dengan hukum. Hukum memberikan kepada sesama apa yang menjadi haknya dan itu dapat dituntut. Cinta merupakan tambahan gratis, tidak dapat dituntut dan tidak dapat dipaksakan.

Pernyataan –pernyataan di atas tidak sesuai dengan kenyataan. Antara cinta dan hukum ada hubungan erat yang bersifat dialektis. Hukum adalah penjelmaan cinta atau seperti dikatakan oleh Luijpen : “The several steps in the ever increasing humanization of man’s relationships” (Red. Luijpen ; Existensial 1978, hal 22). Relasi “aku – engkau” seharusnya menjiwai seluruh masyarakat. Pergaulan yang semakin dijiwai oleh cinta kekeluargaan membuat hukum semakin kurang dibutuhkan.
Cinta dan hukum tidak bisa terlepas satu sama lain. Cinta membutuhkan hukum sebagai jaminan yang mengikat, meskipun cinta sebagai cinta kurang menyukainya. Makin banyak pasangan yang sebelum menikah membuat suatu perjanjian tentang hal mana yang menjadi milik si istri dan mana yang menjadi milik si suami. Manusia itu lemah dan membutuhkan klasifikasi hukum yang stabil sehingga terjamin hak dan kewajibannya. Semakin tujuan tercapai, yakni kesatuan antar personal, maka hukum semakin kurang dibutuhkan.

Cinta tidak terlepas dari hukum dan hukumpun tidak boleh terlepas dari cinta. Justru hukum yang bersumber pada cinta tidak akan menjadi kaku atau beku, maka “the iuridical order will share in the dinamism and spontaneity of love” (Red. Luijpen ; Existensial 1978, hal 22). Penjelmaan cinta dalam hukum membuat cinta itu menjadi nyata, bukan hanya kata-kata indah. Namun, keyakinan hukum harus tetap dinamis dan maju sehingga realisasi diri sesama semakin dipermudah dan sesuai dengan martabatnya sebagai person.

Banyak hal yang dulu belum pernah disadari sebagai suatu hak, pada zaman sekarang ini sudah diakui sebagai suatu hak yang nyata dan obyektif. Dalam hal ini, kita berutang budi pada oarang-orang yang melihat dan memperjuangkannya. Mereka mengkritik faktisitas hukum dan membuat kita menjadi sadar apa yang perlu dikembangkan. Tanpa kreativitas manusia yang bebas, bertanggung jawab dan kreatif, mustahillah terlaksana dinamisme hukum. Perjuangan kita tidak lain adalah menuju suatu masyarakat yang semakin adil dan makmur serta dijiwai oleh kasih dan cinta. Kemajuan suatu hukum boleh disebut “sebagai langka dalam proses humanisasi hubungan antar kita, seorang terhadap yang lain.