Hati Yang Sedang Terkoyak
Aku datang membawa hati yang sedang terkoyak. Tanah nenek moyangku diambil oleh mereka yang berkuasa. Lalu, mereka menjanjikan kesejahteraan dengan membangun gedung-gedung tinggi. Kata mereka, bangunan megah sebagai tanda kemajuan dari suatu peradaban.
(Fr. Inosius Mori)
Saban hari tepat hari Minggu, di Yerasel kita menebar senyum dan aku gagu hingga gugup. Di bola matanya terbenam sejuta rahasia kehidupan sebelum benar-benar luruh seluruh rasa. Senja telah mempertemukan aku dengan seorang wanita yang datang dari pulau seberang. Aku memanggilnya mace Ria, wanita berambut ombak kulit sawo matang. Tubuhnya langsing, tidak pendek juga tidak terlalu tinggi. Ia datang dari pulau seberang membawa sejuta harapan dan melepas penat di pantai Yerasel. Kami berkenalan tepat setelah perahu itu benar-benar pergi. Di Yerasel ada bui di raut wajahnya hingga debar jantung ini lebih kencang dari debur ombak.
Pantai Yerasel tampak riuh, tua-muda tumpah-ruah sepanjang bibir pantai. Ada yang bermain ombak dan anak-anak asyik bermain kejar-kejaran di sepanjang pasir putih. “Kau lihat sepasang pemuda itu”? Tanyaku penuh penasaran akan jawaban darinya. “yaaa… aku lihat, mereka sedang dibuai asmara, mereka menatap senja begitu tajam, tapi mereka lupa bahwa senja hanyalah malam yang tertunda”. “Tapi senja selalu memberi kita arti dari keindahan semesta” kataku meyakinkan hatinya.
Hidup memang tidak semudah yang kita bayangkan. Dunia seakan milik mereka yang kuat dan berkuasa. Lalu mereka mendengungkan kata ini “atas nama bangsa dan negara”.
Ria membalikkan posisi duduk ke arah laut lepas. Hening. “kenapa kau diam” tanyaku penuh penasaran”, “ya.. aku tahu laut yang luas telah menyimpan rahasia setiap insan hingga terbenam di dasar yang paling dalam. Barangkali manusia berusaha agar hatinya sekokoh batu karang, namun kerapuhan selalu datang mengahampiri setiap jekak-jejak kehidupan, pintanya. “mungkin” jawabku singkat.
Mentari kian condong di ufuk barat tinggal sesaat lagi senja akan hilang. Kami menyusuri tepi pantai nan luas. Gemiris angin dan deru ombak kian menyatu sedang di pucuk bakau kicauan burung terus menggema dan langkah kami benar benar terpacu. Kami meninggalkan banyak jejak di atas pasir putih sebelum buai ombak membawa pergi. “apakah ada yang kekal dari perjalanan ini” kataku sembari menatap wajahnya, “yang kekal adalah kenangan” Ria menjawab dengan singkat. “ya…. kenangan adalah cara merawat rindu” sahutku memeluk erat lengan kanannya.
“Kita memilih bahagia ketika hidup kita sedang tidak baik-baik saja”, ujarnya dengan nada yang sedikit parau. “ahhh… bukankah pantai dan senja selalu menghadirkan keindahan yang membuat kita bahagia? lalu, apa yang sedang tidak baik-baik saja?” tanyaku penuh penasaran akan jawaban darinya.
Suatu hari aku memilih pergi dari tanah lahirku, tepat katamu bahwa aku wanita dari pulau seberang. Aku memang datang dari pulau seberang. Aku datang membawa hati yang sedang terkoyak. Tanah nenek moyangku diambil oleh mereka yang berkuasa. Lalu, mereka menjajnjikan kesejahteraan dengan membangun gedung-gedung tinggi. Kata mereka, bangunan megah sebagai tanda kemajuan dari suatu peradaban. Saya dengar kata itu, kata yang sangat politis dan penuh retoris. Kata itu,,, amis dan menjijikan.
Aku, keluargaku dan masyarakat kampung tersisihkan dari hasil pembangunan itu. Sebagian dari kami menjadi pekerja kasar sedangkan yang lain diusir secara paksa. Aku pernah mengadu kepada bangsa, namun jawaban tak kunjung datang. barangkali aku hanya seorang gadis kampung yang sederhana berjuang bersama masyarakat kampung, atau barangkali ketidakadilan menjadi hal lumrah di negeri ini.
Hidup memang tidak semudah yang kita bayangkan. Dunia seakan milik mereka yang kuat dan berkuasa. Lalu mereka mendengungkan kata ini “atas nama bangsa dan negara”. Sekali lagi kalimat itu sungguh menjijikan. Atas nama bangsa dan negara mereka mengajak mencintai budaya lokal tapi secara diam-diam mendatangkan budaya asing. Atas nama bangsa dan negara mereka mengajak untuk mencintai perbedaan tapi diam-diam menyisihkan masyarakat lokal. Atas nama bangsa dan negara mereka mencaplok tana leluhur.
Aku mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut Ria. Tatapannya tajam ke arah laut lepas.“Ria, kita butuh sedikit waktu untuk menepi dan merenung, Kalau memang hidup sedang tidak baik-baik saja setidaknya kita tetap berusaha menjadi orang baik” aku merusaha menengkan pikirannya.
Ria mengajakku untuk terus melangakah menyusuri bibir pantai. Jejak- jejak itu kian jauh dan kami masih terus melangkah. “kita tak bisa mengisahkan seluruh dari senja yang terlampau singkat” katanya. Suasana kian sepi, orang-orang yang sedari tadi bercumbu mesra di tepi pantai perlahan bergegas pergi. Gerombolan anak-anak yang bermain kejar-kejaran di atas pasir putih itu pun telah pergi. Tinggal aku dan Ria seorang diri.
Aku, keluargaku dan masyarakat kampung tersisihkan dari hasil pembangunan itu. Sebagian dari kami menjadi pekerja kasar sedangkan yang lain diusir secara paksa. Aku pernah mengadu kepada bangsa, namun jawaban tak kunjung datang.
“Tak ada yang lebih dalam dari samudra, selain hati yang terbuka untuk saling berbagi. Kau telah mengetahui bagaiamana cara menyelami lautan kehidupan”. Aku berusaha meneguhkan hati Ria yang sedang risau. “Ria, apakah kau ingin lari dari kenyataan itu?” Ria tertunduk lesu, raganya benar-benar luruh. “entah” jawabnya singkat. “Ria perjuangan tak ada kata selesai, kita hanya butuh kata setia dalam perjuangan, seperti buai ombak yang setia mengecup bibir pantai” kataku sembari menatap wajah Ria ketika senja benar-benar terbenam.
Di Yerasel sejuta rasa telah menyatu bersama debur ombak dan debar jantung. Ada yang kekal dari perjalanan ini, ada bekas yang belum lekas kelar dan kita memungut kembali dalam bayang bayang penuh rindu. Engkau wanita dari pulau seberang, datang melepas penat sembari memungut kenangan lalu hilang entah ke mana. Kau memilih pergi dengan hati yang tegar sedang kisah itu terus terngiang di benak ini. Di Yerasel aku telah menyimpan kisah itu dan menulis namamu di dalam loh hatiku sebelum senja benar-benar terbenam. Dan, aku mencintaimu seluruh.*