Cinta Pertama di Hutan Belantara

8

Emanuel Kocu, Kelas Dua SMP, Siswa Seminari Petrus van Diepen

Cinta Pertama di Hutan Belantara 
 
Di sebuah dusun yang terpencil, nama dusun itu adalah Neyane. Di situ hiduplah seorang pemuda yang sangat tampan. Nama pemuda itu adalah Sonana. Ia hidup seorang diri di tengah hutan belantara. Lebatnya pepohonan hutan tidak membuatnya takut. Dia adalah seorang pemberani dan gagah perkasa. Pekerjaannya setiap hari adalah berburu babi (fane) hutan.

Pada suatu pagi, seperti biasanya, Sonana pergi ke hutan untuk berburu babi. Tak lama berselang, Sonana diserang oleh seekor babi besar yang taringnya begitu panjang. Sonana mulai panik, namun ia tidak kehilangan kendali. Secepatnya, ia mengambil pedang (tfo) untuk melawan serangan dari babi tersebut. Dengan gerakan yang lincah, Sonana mengayunkan pedangnya di kaki babi itu. Seketika itu, putuslah kaki itu. Babi itu merintih kesakitan dan segera berlari meninggalkan Sonana. Sonana berteriak histeris sebagai luapan kemenangan dalam pertempuran itu.

Tiba-tiba dari kejauhan, datanglah seorang perempuan menuju ke arah Sonana. Perempuan itu, mengambil potongan kaki babi lalu menangisinya. Sonana, merasa heran dengan ekspresi dari si perempaun itu. Karena merasa penasaran, ia pun mendekat dan memberanikan diri untuk bertanya pada si perempuan. Hai, apa yang sedang terjadi? Apa yang sedang kau tangisi? tanya Sonana. Dengan berat hati, si perempaun itu menjawab, potongan kaki babi ini adalah kaki ayah saya.

Jawaban si perempuan itu membuat Sonana kaget. Namun, ia tetap diam dan mendengarkan penjelasan dari si perempuan manis itu. Ia melanjutkan penejelasannya, ayah saya menjelma menjadi seekor babi hutan untuk menjaga dan melindungi hutan. Seketika itu, Sonana pun tersungkur di kaki si perempaun itu dan meminta maaf kepadanya. “Saya minta maaf, karena saya tidak tahu kalau itu ayahmu”. Tidak apa-apa, sahut gadis itu dengan perasaan sedih.  

Seketika itu, Sonana menyodorkan tangannya untuk berkenalan dengan perempuan itu. Namaku Sonana, sambil memandang ke arah perempuan itu. Yanti, kata perempuan itu seraya menyambut sodoran tangan Sonana. Namun, dari kejauhan ayah dari si Yanti menyaksikan drama perkenalan itu. Ayahnya menjadi sedih karena anak putrinya berkenalan dengan laki-laki itu yang sudah memotong kaki ayah kandungnya sendiri. Sesaat kemudian Sonana dan Yanti pun meninggalkan hutan itu dan keduanya memulai hidup baru dalam ikatan keluarga yang baru sebagai suami dan istri. Keduanya hidup tentram, damai dan sejahtera.

Suatu ketika, Sonana dan istrinya pergi mejelajahi hutan untuk mengambil sayur untuk dimakan. Ketika tiba di hutan, tak lama berselang mereka sudah menemukan sayur. Sayur-sayur itu dipetik dan dibawa pulang untuk dikonsumsi. Sang suami meminta ijin kepada istrinya untuk mencari daging (kowan). Sang istripun memberikan ijin agar sang suami pergi  mencari daging buruan.

Ternyata bagi Sanono, sangat mudah untuk mendapatkan daging buruan. Maklum ia adalah seorang pemburuh yang sudah makan garam (berpengalaman). Meskipun hanya menggunakan panah (karef), ia mampu memburu beberapa Kus-kus.

Sang istri yang sedari tadi ditanggali oleh suaminya, tiba-tiba ia didatangi oleh ayahnya. Keadaan ayahnya sekarang kakinya puntung atau hilang (kudung). Lalu sang istri menagis seraya memohon ampun pada ayahnya. Sang ayah mengerti dan sangat memahami situasi yang dialami oleh putrinya. Sang ayah berkata, nak, sekarang kamu sudah besar dan sudah memiliki seorang pendamping hidup. Jagalah dirimu baik-baik nak. Ayah minta maaf maaf, karena selama ini ayah selalu memarahi dan menekan kamu. Tetapi, semua yang ayah lakukan adalah untuk kebaikanmu.

,,,……prak… kepala sang ayah dipenggal oleh Sanono. Seketika itu, sang istri berteriak histeris sambil menagis meratapi sang ayah yang kepalanya terputus berlumuran darah. Sang istri, rupanya tak terhankan menyaksikan Kejadian itu, ia langsung jatuh pingsan. Sanono, segera mengendong dan melarikan istrinya pulang ke rumah. Dalam keadaan setengah sadar, sang istri berpesan kepada Sanono; Suamiku, mulai hari ini, jangan lagi engaku memburu babi dan memakan babi yang kakinya kudung. sang suami tak menghiraukan pembicaraan sang istri. Namun, yang ada dalam pikiran sang suami adalah nyawa sang istri dapat tertolong. 

Dengan sekuat tenaga, sang suami mempercepat larinya untuk mengobati istrinya ketika tiba di rumah. Dengan nafas yang tak teratur, sang istri berpesan lagi kepada Sanono. Suamiku, jagalah hutan ini seperti engkau menjaga aku dan dirimu.  Dengan perasaan sedih, sang suami menjawab IYA. Setelah itu, sang istripun menghembuskan nafas terakhirnya. Kematian sang istri membawa duka yang mendalam. Kematian sang istri membuat Sanono tidak merasa tenang dan ia berjanji untuk tidak berburu sembarangan lagi. The End.. (Emanuel Kocu, Kelas Dua SMP, Seminari PvD)