Budaya Mencintai Alam: Memelihara Lingkungan dan Mencintai Alam Ciptaan Tuhan

214
Penulis: RD. Renold Aleksander Laike

Kejadian banjir di kota Sorong, pada hari Jumat lalu (8 Maret 2024), tentu masih segar di ingatan kita. Pasalnya, sejak hari Kamis malam kota Sorong diguyur hujan sehingga beberapa tempat di Kota Sorong harus mengalami banjir. Beberapa tempat di Kota Sorong memang menjadi langganan banjir ketika hujan turun dengan intensitas tinggi. Hal tersebut bisa dibilang bagaikan lagu lama setiap kali musim hujan. Padahal, parit atau selokan yang dibangun kembali terbilang cukup lebar dan dalam, yang memang dimaksudkan untuk mencegah genangan air yang berlebihan di jalan raya ataupun kompleks perumahan. Kendati selokan-selokan memadai, tumpukan sampah menghalangi aliran air sehingga meluap dan menimbulkan banjir. Dari situ disimpulkan bahwa banjir yang terjadi merupakan kesalahan manusia (human error).

Tema Aksi Puasa Pembangunan Nasional 2024 adalah “Mengembangkan Ekonomi Ekologis”. Dalam beberapa tahun terakhir ini, tema-tema APP Nasional berkaitan dengan pemeliharaan lingkungan hidup. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh keprihatinan dan kepedulian terhadap krisis lingkungan hidup. Krisis lingkungan hidup tersebut perlu diakui sebagai akibat renggangnya hubungan antara manusia dan alam ciptaan yang dulunya pernah harmonis. Sejatinya alam semesta itu bagaikan sebuah sistem yang terorganisasi dan terkoordinasi dengan sangat rapi dan harmonis. Jika manusia tampil sebagai virus atau bug yang merusak sistem tersebut, maka timbul kerugian-kerugian, seperti krisis lingkungan hidup. Kesalahan dan kelalaian manusia dalam menjaga alam sebenarnya menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan manusia itu sendiri, karena tidak bisa dipungkiri bahwa manusiapun merupakan bagian dari sistem tersebut. Ibaratnya ketika kita memukul tembok, momentum atas gaya yang diberikan tersebut menghancurkan tulang tangan kita.

Dalam usaha membangun kepedulian terhadap krisis lingkungan hidup, Paus Fransiskus telah menerbitkan sebuah Ensiklik tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, atau yang lebih dikenal dengan nama Laudato Si, pada 24 Mei 2015 silam. Ensiklik tersebut memang sudah berumur kurang lebih 9 tahun, namun pesan yang terkandung di dalamnya sama sekali tidaklah usang. Dengan meminjam pandangan Santo Fransiskus dari Asisi, dalam Nyanyian Saudara Matahari, Paus Fransiskus mengutarakan bahwa Bumi “adalah seperti saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti seorang ibu rupawan yang menyambut kita dengan tangan terbuka” (LS art. 1). Sebutan saudari dan ibu tersebut sangatlah menarik, karena menampilkan sifat keibuan dari Bumi. Bumi merupakan satu-satunya planet di tata surya kita, bahkan di seantero alam semesta, yang diketahui memiliki kehidupan di dalamnya. Jika diperhatikan dengan saksama, bumi memang dikondisikan sedemikian rupa sehingga sangat menunjang kehidupan. Suhu, permukaan, dan atmosfernya memungkinkan adanya kehidupan. Bumi juga tampil sebagai “ibu yang rupawan” dengan segala kekayaan alam dan keanekaragaman hayati. Bumi adalah seorang ibu yang melahirkan, merawat dan membesarkan makhluk hidup yang ada di dalamnya, termasuk manusia.

Paus Fransiskus dengan tegas mengingatkan bahwa ibu atau saudari tersebut “sekarang menjerit karena segala kerusakan yang telah kita timpakan padanya, karena penggunaan dan penyalahgunaan kita yang tidak bertanggung jawab atas kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya” (LS art. 2). Ibu terkasih tersebut dulunya cantik rupawan dengan hamparan pakaian biru dengan selendang hijau, yang senyumannya penuh dengan emas dan mutiara. Kini, senyuman tersebut telah hilang. Paras cantiknya tergantikan oleh lebam di sekitar mata dan luka di bibir. Pakaian biru dan selendang hijau telah disingkap sehingga tubuhnya yang penuh dengan memar dan luka. Dia yang dulunya berjalan dengan tegap sambil memamerkan lekukan tubuh yang indah, kini kurus dan bungkuk, serta tidak terawat. Anak-anaknya terus memukulinya tetapi kasihnya tidak berhenti. Dia tetap merawat mereka, tetapi entah sampai kapan dapat melakukannya.

Konsep alam sebagai ibu, seperti yang diungkapkan di dalam Laudato Si, memiliki kemiripan dengan cara pandang suku-suku asli Papua. Oleh karena itu, konsep tersebut seharusnya tidak asing bagi orang-orang asli Papua. Secara umum, suku-suku asli Papua memandang alam sebagai sosok ibu. Alam adalah ibu yang melahirkan kehidupan. Alam merawat manusia dengan memberikan nutrisi-nutrisi kekayaannya, seperti seorang ibu yang memberikan air susu (ASI) kepada anak-anaknya. Alam membentuk dan memelihara orang-orang asli Papua dengan segala kekayaannya, baik hasil laut, mineral, sungai dan hutan. Alam dipandang sebagai ibu memiliki konsekuensi logis, yaitu manusia harus menjaga dan menghormatinya. Tindakan manusia merusak alam itu sama dengan tindakan tidak hormat terhadap ibu yang melahirkan dan membesarkannya. Pandangan dalam bingkai kekeluargaan tersebut mengungkapkan kedekatan antara orang-orang asli Papua dan alamnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika orang-orang asli Papua menggantungkan hidupnya kepada alamnya. Di samping itu, orang-orang asli Papua tidak bisa dipisahkan dari alamnya dan begitupun sebaliknya, karena adanya hubungan timbal balik. Hubungan kedekatan tersebut harus dijaga keharmonisan dan keseimbangannya. Hubungan tersebut menghimpun tiga kelompok, yaitu manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam, dan manusia dengan roh-roh (spiritual beings). Tiga hubungan tersebut berjalan bersamaan. Jika salah satunya renggang, maka akan mempengaruhi yang lain. Adat-istiadat menjadi sistem yang mengatur keharmonisan hubungan tersebut. Dari sebab itu, ketika merusak hubungan yang mesra tersebut, manusia akan mengalami kemalangan atau kerugian, seperti bencana alam.

Pandangan tradisional orang-orang asli Papua tentang alam memberikan sumbangan pemikiran bagi kita. Dengan sangat jelas bahwa alam sudah semestinya mendapatkan penghormatan dan penghargaan. Alam bukan objek untuk dieksploitasi, melainkan subjek yang hidup berdampingan dengan manusia. Oleh karena itu, alam seharusnya dijaga dan dilestarikan oleh manusia, atas dasar hubungan kedekatan sebagai keluarga. Alam merupakan sumber kehidupan manusia, bukan pemuas nafsu kelompok orang tertentu.

Tindakan-tindakan sederhana yang dapat dilakukan dalam rangka usaha memelihara dan melestarikan alam, yaitu reboisasi hutan dan pengaturan pembuangan sampah. Reboisasi dimaksudkan untuk menghindari penggundulan hutan. Hutan bisa saja dimanfaatkan oleh manusia, tetapi secara bertanggung jawab juga memikirkan kelangsungan hidupnya. Hal tersebut perlu dilakukan agar hutan tidak hilang. Hal lain yang menjadi masalah adalah pembuangan sampah, terutama sampah plastik, terutama di daerah perkotaan. Seperti yang telah diketahui bersama, sampah plastik membutuhkan waktu yang sangat lama untuk terurai. Pembuangan sampah plastik sembarangan memberikan dampak buruk bagi kehidupan manusia. Sampah plastik dapat mencemari tanah dan laut sehingga merusak ekosistem yang ada. Belum lagi sampah plastik dapat menyebabkan banjir karena menyumbat aliran air. Dua tindakan tersebut memerlukan kerja sama dari berbagai pihak, dan juga menjadi pertimbangan di dalam rencana-rencana pembangunan oleh pemerintah.

Pemeliharaan alam perlu menjadi usaha yang berkelanjutan. Artinya bahwa usaha tersebut bukan hanya dilakukan sekarang, melainkan juga secara terus-menerus di masa-masa mendatang. Oleh karena itu, usaha yang tepat adalah mewariskan dan menanamkan nilai-nilai kecintaan pada alam bagi generasi-generasi muda. Pemeliharaan alam harus menjadi budaya yang dimiliki dan tertanam di dalam hati semua orang. Usaha tersebut bisa dimulai dari dalam keluarga. Misalnya, sejak dini anak telah diajarkan untuk membuang sampah di tempat sampah. Usaha tersebut memang terlihat sederhana dan mudah, tetapi membutuhkan ketekunan dan kesabaran.