Merangkul Musuh dengan Cinta yang Utuh

185

Renungan Harian, Minggu, 23 Februari 2025
Minggu Pekan Biasa VII
Bacaan I: 1Sam 26:2.7-9.12-13.22-23
Mazmur Tanggapan: Mzm 103:1-2.3-4.8.10.12-13
Bacaan II: 1Kor 15:45-49
Bait Pengantar Injil: Yoh 13:34
Bacaan Injil: Luk
6:27-38

Pada hari ini bersama Gereja sejagat, kita memasuki Hari Minggu Biasa ke-VII. Bacaan-bacaan suci yang diperdengarkan kepada kita hari ini pada intinya mengajak kita semua untuk menjadi agen kasih Allah bagi sesama. Artinya, kita semua, tanpa terkecuali (orang tua, opa-oma, om-tanta, orang-orang muda, dan anak-anak) diajak untuk menjadi pengantara, penyalur atau menjadi corong yang senantiasa menyalurkan kasih dan kebaikan Allah kepada sesama yang berada di sekitar kita.

Dalam ajaran Kristiani, sebagaimana yang diajarkan oleh Yesus sejak awal kekristenan, kita mengenal Hukum Cinta Kasih. Bunyi hukum ini terungkap secara jelas dalam perikop Injil Mat. 22:37-39. Ada dua butir hukum Cinta Kasih itu, antara lain: Pertama, “Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu” (Mat. 22:37). Ini adalah kasih yang bercorak vertikal, yakni relasi kasih antara kita dengan Allah sendiri. Relasi kasih ini terwujud dalam sikap iman kita kepada Tuhan. Kita mengasihi Allah berarti kita percaya dan beriman kepada-Nya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa tunjukkan melalui sikap doa dan keterlibatan kita secara aktif dan sadar dalam perayaan Ekaristi.

Kedua, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:39). Ini adalah kasih yang bercorak horisontal, yaitu relasi kasih antara kita dengan sesama yang berada di sekitar kita. Wujudnya adalah dalam kesadaran dan keberanian kita untuk saling mengasihi, saling peduli, saling berbagi, dan saling membantu satu terhadap yang lain.

Dalam hubungannya dengan butir hukum kedua ini, Yesus mengingatkan kita agar mencintai dan mengasihi semua orang tanpa terkecuali. Tidak peduli orang ini berasal dari suku mana, dia orang apa, warna kulitnya apa, jabatannya apa, dan sebagainya.

Jadi, kita diharapkan untuk mengasihi mereka sama seperti kita mencintai diri kita sendiri. Itu berarti dosis perhatian, takaran cinta dan ukuran kasih sayang yang kita berikan kepada orang lain harus sama dengan dosis yang kita pakai untuk diri kita sendiri.

Mengapa demikian? Karena pada hakikatnya, orang lain itu adalah bagian dari diri kita. Kita semua adalah sesama saudara di dalam Allah. Tidak ada yang terlahir sebagai musuh bagi sesama.

Jadi, sekali lagi, kita diajak untuk mencintai dan mengasihi semua orang tanpa pandang bulu, tanpa mengkotak-kotakan, tanpa membeda-bedakan. Para orang tua, misalnya, tidak boleh membedakan dosis cinta antara si sulung dan si bungsu atau anak tengah, tidak boleh memberikan bobot perhatian yang berbeda kepada yang laki-laki dan yang perempuan, yang ganteng dan yang tidak ganteng, yang cantik ataupun yang setengah cantik. Dosis cinta serta bobot perhatian dan kasih sayang harus berlaku sama untuk semua. Pada titik ini, kita diajarkan untuk mencintai tanpa melukai perasaan sesama. Mencintai yang satu tidak boleh mengabaikan yang lain.

Kurang lebih hal inilah yang diajarkan Yesus dalam narasi Injil hari ini, cinta kepada sesama harus bersifat universal-menyeluruh. Kita tidak boleh hanya mencintai orang-orang yang berbuat baik kepada kita, tetapi juga orang-orang yang membenci bahkan yang seringkali melukai hati dan perasaan kita.

Hal ini secara tegas dikatakan Yesus dalam Injil: “Jika kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jika kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepadamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun berbuat demikian” (Luk. 6:32-33).

Pesan yang tersirat dalam perkataan ini sebetulnya sangat jelas dan terang-benderang, yakni bahwa kita harus bertindak dan berbuat kasih lebih dari sekadar berprinsip balas budi atau balas jasa. Kita mesti berani mengasihi sesama tanpa batas dan tanpa syarat, termasuk merangkul musuh dengan cinta yang utuh.

Karena itulah, Yesus kemudian mengingatkan: “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu. Berkatilah orang yang mengutuk kamu. Berdoalah bagi orang yang berbuat jahat terhadap kamu” (Luk. 6:27).

Ini adalah serangkaian wujud nyata dari tindakan kasih: mengasihi, berbuat baik, memberkati dan mendoakan orang-orang yang telah membenci dan melukai kita.

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, hal ini memang tidak mudah dilakukan, namun tidak berarti kita menyerah lalu kalah dengan situasi itu. Sebagai orang-orang yang masuk dalam barisan pengikut Kristus, kita mesti punya pilihan sikap yang tegas untuk meneladani spiritualitas kasih Yesus sendiri, yakni berani mencintai sesama tanpa batas dan tanpa syarat dan bahkan rela terluka demi kebahagiaan sesama.

Semoga pesan injil hari ini senantiasa menginspirasi kita semua untuk menjadi berkat, menjadi sahabat dan menjadi agen kasih bagi sesama yang lain.

Tuhan senantiasa memberkati kita semua. Amin.

Oleh: RD. Ardus Endi (Formator Seminari Petrus van Diepen)