Mencari Damai Kristus Di Tengah Konflik Di Tanah Papua (Sebuah Refleksi Teologis atas Konflik Kemanusiaan di Tanah Papua)

470
Fr. Alberto Alvando J. Viki, OSA. Penulis adalah seorang Biarawan Augustinian. Penulis saat ini sedang menjalani masa TOP di Paroki Immanuel Sanggeng-Manokwari.

Prolog

Konflik di tanah Papua bukanlah hal baru terjadi di era ini. Papua menjadi lumbung konflik antara pihak ‘NKRI Harga Mati’ dan ‘Papua Merdeka Harga Mati’. Perjuangan kemerdekaan Papua dimulai sejak orang Papua menyadari akan eksistensi kemanusiaan mereka sebagai bangsa Melanesia yang sedang terjajah dan kedamaian mereka dirampas. Ungkapan ‘Papua Tanah Damai’ merupakan bentuk kerinduan akan hidup dalam kesejahteraan dan terlepas dari segala ketidaknyamanan serta hidup dalam ketenteraman. Dalam hal ini, terdapat kesan ambigu dalam paham damai ini. Damai seperti apa? Apakah damai konsep orang Papua dengan tiada lagi militerisme dan penghancuran martabat orang Papua agar hidup lebih damai, tenteram, dan sejahtera? ataukah damai dari pihak pemerintah Indonesia yang menekankan NKRI Harga Mati sehingga hal-hal yang berbau “separatis” perjuangan kemerdekaan Papua dicekal? Ataukah kedua pihak ini menganggap damai sebagai perang senjata dan ideologi?

Damai yang ambigu ini menyasar pada ketidakpastian hidup dalam dunia ini, khususnya di tanah Papua. Kitab Suci menawarkan damai adalah suatu tujuan yang layak diusahakan. “Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling membangun” (Roma 14:19). Karena sebuah usaha bersama maka dalam hal ini kedua belah pihak haruslah saling bekerja sama untuk menemukan damai sejati itu, yakni Damai Kristus.
Konflik Papua: Sejarah Panjang Tak Berujung

Sejatinya konflik adalah muara dari semua ketidakadilan yang terjadi di atas tanah Papua. Masalah sosial, politik, ekonomi, dan pendidikan menjadi benang merah yang sampai pada konflik. Unsur-unsur tersebutlah yang membuat keadaan Papua menjadi tidak kondusif dan mendapat perhatian dari berbagai pihak.

Damai Papua dibumbui dengan adanya berbagai konflik sehingga mimpi Papua tanah damai seakan sirna dan berubah menjadi daerah rawa penuh darah karena adanya operasi-operasi militer di Papua ketika Papua menjadi bagian dari NKRI. Operasi-operasi militer tersebut antara lain: Operasi Mandala (1962), Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Barathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969), Operasi Militer di Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Bersih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), dan Operasi militer di Mapunduma (1996). Operasi-operasi militer ini dimulai sejak masa Orde Lama sampai pada masa Orde Baru, dan merupakan bentuk upaya pemerintah Indonesia dalam menjaga kedaulatan NKRI di Tanah Papua dari kelompok pro-kemerdekaan Papua yang telah dimulai sejak 1963 di Jayapura di bawah pimpinan Aser Demotokay, di Kebar pada 26 juli 1965 di bawah pimpinan Yohanes Jambuani dan Benyamin Anari, serta di Manokwari dan pedalaman Arfak pada 28 Juli 1965 di bawah pimpinan Permenas Ferry Awom, Lodwick Mandacan, Barren Mandacan dan Irogi Meidodga (Dowansiba, 2020: 2). Gejolak pertempuran ini menimbulkan banyak korban berjatuhan dari Rakyat Papua. Diperkiraan oleh Komnas HAM, yang dikutip oleh Amnesty International Indonesia bahwa antara tahun 1963-1998, korban pembunuhan di luar hukum akibat operasi militer berada pada kisaran 10.000 orang.

Setelah operasi-operasi militer ini, era Refomasi 1998 menandai sekaligus menawarkan pengakuan HAM, kebebasan berpendapat dan berkumpul. Amanat ini seperti membuka pintu baru bagi rakyat Papua untuk menuntut HAM mereka yang direcoki, kebebasan mereka yang digantung, dan harkat & martabat yang dikebumikan. Melihat kenyataan tersebut, pemerintah merespon cepat dengan diterapkan kebijakan UU Otsus no. 21 tahun 2001. Tujuannya agar membangun komunitas asli menjadi tuan di negerinya sendiri dalam bingkai memelihara kearifan lokal. Tetapi pada kenyataannya implementasi UU Otsus di Papua tidak konsisten bahkan gagal. Otsus dipakai sebagai strategi pemerintah untuk menarik simpati dan dukungan baik dalam negeri maupun luar negeri sebagai komitmen nasional untuk dijadikan solusi realistis yang melatarbelakangi tuntutan kemerdekaan orang Papua. (Tebay, 2009: 3). Otsus yang gagal tersebut justru merambah dan menjangkit konflik yang lebih kompleks karena konflik tersebut terjadi antara orang Papua dengan orang Papua.

Pada sisi ini, orang Papua menjadi korban dan juga sebagai dalang di dalamnya. Kesan yang ditimbulkan semacam menghilangkan esensi luhur Papua tanah damai. Unsur keluhuran demi menjaga kestabilitas dan nilai direcoki oleh orang dalam (orang Papua). Banyak pula fenomena politik dan ekonomi yang dijual oleh orang Papua sendiri untuk keuntungannya sendiri yang membuat intrik tersebut menjadi konflik. Bahkan demi kepentingan individu dan kelompok, maka muncul konflik kepentingan dengan mengedepankan isu SARA (Suku, Agama, dan Ras). Misalnya; Orang gunung versus Pantai, Utara versus Selatan, Katolik versus Protestan, Kristen versus Islam, perjuangan dialog damai versus perlawanan bersenjata, dst. Konflik-konflik demikian terus terjadi dan akan terus dilawan hingga ditemukan jalan penyelesaian konflik Papua yang adil, bermartabat, dan demokratis. Tetapi apakah dengan cara seperti itu, damai tersebut dapat ditemukan? Dapatkah damai dipertemukan dengan konflik?

Paham Papua Tanah Damai yang Berbenturan

Mencari solusi damai di tanah Papua jelas menemukan banyak sekali persoalan di dalamnya karena terdapat perbedaan paham dalam membangun Papua tanah damai. Perbedaan tersebut adalah perbedaan konsep dalam memahami kata “Damai”. Orang Papua melihat Papua tanah damai dari perspektif mereka, begitu pula pemerintah Indonesia melihat Papua tanah damai dari perspektif pemerintah Indonesia. Perbedaan perspektif ini memicu terhambatnya upaya membangun Papua tanah damai sehingga jalan keluar dan duduk permasalahan konflik yang berkepanjangan ini tidak menemukan titik terang.

Damai menurut kaum nasionalis Papua: pertama-tama perlu diketahui bahwa terdapat dua kelompok Nasionalis Papua, yaitu mereka yang berjuang dengan jalur damai dan mereka yang berjuang dengan mengangkat senjata. Mereka yang memakai jalur damai lebih memilih langkah negosiasi sebagai senjata utama dalam memperoleh kebebasan dan kedamaian. Akan tetapi, papua tanah damai dalam perspektif nasionalis Papua ialah pengakuan secara de jure dan de facto hak-hak orang Papua sebagai suatu bangsa yang merdeka, bebas dan indenpenden. Terbukti dengan kenyataan bahwa orang Papua dan Indonesia berbeda dalam sejarah, politik, ekonomi, cara pandang, ideologi, falsafah hidup dan sebagainya. Pandangan yang berbeda ini yang memunculkan sebuah pergerakan untuk lepas dari NKRI, tetapi terlepas dari NKRI dan menjadi negara merdeka bukan serta-merta tentang pembentukan negara, tetapi pokok yang perlu diangkat adalah hak-hak manusia sebagai bangsa yang berbeda dari bangsa-bangsa lain. Perbedaan ini juga dilatarbelakangi oleh perbedaan ras. Orang Papua adalah Bangsa Melanesia Austronesia dan orang Indonesia adalah Bangsa Melayu atau Polinesia. Perjuangan yang dibuat adalah tentang hak sebagai bangsa yang bebas dan mandiri sehingga paham Papua tanah damai adalah terlepas dari Indonesa sebab Papua tanah damai itu telah dianeksasi oleh Indonesia melalui pendekatan militerisme dan berubah menjadi tanah darah. Kedua kelompok nasionalis ini berjuang dengan konsep yang sama tetapi tidak dalam praksisnya.

Damai menurut Pemerintah Indonesia: Pemerintah Indonesia melihat Papua tanah damai dalam paham kesejahteraan orang Papua karena dalam sudut pandang pemerintah Indonesia Papua tanah damai adalah suatu keadaan dimana orang Papua mampu menjadi tuan atas tanahnya sendiri dan dapat memimpin masyarakatnya sendiri tetapi dalam control pemerintah Indonesia yang mana sejalan dengan UU Otsus 2001 yakni membangun komunitas asli menjadi tuan di negerinya sendiri dengan frame memelihara kearifan lokal. Berdasarkan sudut pandang ini, memberi sebuah definisi bahwa orang Papua masih terbelakang, masih primitive, masih belum mampu mengatur daerahnya dan masih butuh bantuan dari Pemerintah Indonesia untuk memajukan tanah Papua.

Dua konsep damai yang berbeda ini sejatinya menitikberatkan hal yang sama yakni tentang kehidupan yang baik dan teratur. Orang Papua melihat damai berarti merdeka dari Indonesia, sedangkan Pemerintah melihat Papua tanah damai berarti kesejahteraan masyarakat Papua dengan bantuan dari Pemerintah Indonesia. Tendensi yang diberikan oleh dua paham ini senada dengan kehendak manusia pada umumnya yang melihat damai sebagai keteraturan, terbuka, penghargaan atas hak-hak asasi manusia, sejahtera, dan hidup aman. Peranan konsep damai dari kedua belahpihak ini kemudian memberikan sebuah jalan baru dalam menatap masa depan yang cerah untuk Papua, hanya saja untuk mencapai itu cara yang dipakai adalah perang dan pertumpahan darah.

Melalui dua pandangan yang berbeda ini, sudah jelas bahwa untuk membangun Papua tanah damai itu sulit, karena konsep tentang Papua tanah damai itu sendiri memiliki pengertian yang berbeda-beda. Orang Papua menganggap Papua tanah damai itu terlepas dari Indonesia atau merdeka. Sedangkan dalam paham Indonesia, Papua tanah damai adalah dengan membangun komunitas asli menjadi tuan di negerinya sendiri dengan frame memelihara kearifan lokal dalam hal kesejahteraan, dan hanya bisa terjadi apabila Papua menjadi bagian integral dari NKRI. Perlu disadari pula bahwa upaya yang tersendat ini terjadi bukan karena tidak diinginkanya Papua menjadi tanah damai, tetapi konsep dan paham Papua tanah damai menjadi abu-abu karena terdapat kepetingan yang berbeda-beda.

Mencari Damai Kristus: Sebuah Komitmen Bersama

Mencari damai Kristus di tengah konflik Papua bukanlah perkara yang mudah. Bukan berarti meragukan damai Kristus dapat berdiri di atas tanah Papua tetapi bagaimana menanamkan damai Kristus dalam tiap kelompok orang yang sedang berselisih. Konflik Papua sama seperti kisah-kisah yang terjadi dalam Kitab Suci tentang perebutan kekuasaan tanah terjanji antara bangsa Israel dan orang Kanaan. Tetapi apakah perang adalah solusi? Apakah dengan pertumpahan darah damai dapat dicapai? Kitab Suci secara jelas menentang perang dan bahkan Allah pun menentang adanya perang karena dapat berakibat pada kematian manusia. Allah menolak kematian manusia termasuk mereka yang jahat karena Allah adalah sumber hidup dan pencipta manusia (Mazmur 36:9) tetapi manusia tetaplah manusia. Kadang muncul niatan untuk membunuh sesamanya dengan menyusun sebuah strategi demi kepetingannya sendiri (Mazmur 37:12,14).

Dalam kenyataan seperti ini Allah bergerak untuk menghentikannya, Allah kadang mengizinkan perang untuk melawan orang jahat. Meski selama bertahun-tahun Allah mengizinkan orang Israel berperang, Dia tetap “berbelaskasihan” dan “lambat marah” terhadap para penganiaya bangsa Israel (Mazmur 86:15). Misalnya saja Allah pernah memerintahkan orang-orang Israel untuk memberitahukan syarat-syarat untuk berdamai agar penduduk di kota tersebut dapat merubah perilaku mereka sehingga tidak terjadi perang (Ul. 20:10-13). Hal ini menunjukkan bahwa Allah senang bukan akan kematian orang fasik, tetapi Allah senang karena orang fasik dapat merubah sikap hidupnya dan tetap hidup (Yeh. 33:11, 14:16). Melalui teks-teks diatas bisa dilihat bahwa dua pihak yang berseteru ini termasuk orang-orang fasik karena terdapat sebuah perencaan besar untuk saling memusnahkan. Kematian mereka yang berperang bukanlah jalan keluar, malah menjadi masalah yang terus-menerus berlanjut. Papua tanah damai bukan lahan perebutan kekuasaan masing-masing kelompok tetapi tempat hidup bagi banyak orang sehingga kesan melegalkan perang adalah salah dan Allah amat sangat menolak perbuatan tersebut. Dua kubu yang berkonflik ini membawa ideologi yang berbeda yang mana kedua ideologi tersebut seakan dipaksa untuk menjadi benda nyata yang harus dijaga sehingga mengabaikan harkat hidup semua orang di Papua. Kedua kubu ini adalah orang fasik, mereka memaksakan kehendak mereka sebagai kelompok untuk berperang dengan masing-masing ideologi yang menghanguskan kehidupan di Papua. Dalam hal ini kedua kelompok ini menekankan prinsip si vis pacem para bellum (Jika ingin damai, persiapkanlah perang), sebuah gerakkan yang sama dipraktikkan dalam perang zaman Perjanjian Lama yang menekankan pertumpahan darah dan kehancuran sebagai simbol perdamaian.

Pergeseran paham damai versi Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru mendapat kecerahan di dalamnya. Jika sebelumnya perang adalah solusi, sekarang paham perang dibalikkan oleh Yesus Kristus dengan mengasihi musuh (Mat. 5:44; Luk. 6:27, 35) sebab yang dapat menghakimi manusia dan dunia adalah Allah sendiri, bukan manusia (Kis. 17:31). Kasus konflik perang diantara Pro NKRI dan Pro Papua Merdeka menempatkan orang-orangnya berkedudukan sama dengan Tuhan sebagai hakim hidup manusia. Menyiksa, mengusir, dan membunuh bukan tugas manusia. Tugas manusia adalah mengasihi sesamanya bukan menghabisi sesamanya. Kenyataan ini sudah banyak terjadi, bahkan membunuh atas nama Tuhan pun kerap dilakukan demi kedaulatan katanya. Padahal hanya Allah saja yang berhak menentukan kapan perang dapat terjadi dan siapa saja yang terlibat. Allah bahkan telah menetukan perang akan dipimpin oleh Putra-Nya, Yesus Kristus. tetapi perang bukan dengan mengangkat senjata melainkan dengan mengasihi musuh dan mencintai mereka sebagai ciptaan yang serupa dengan Allah. Inilah damai yang dicari. Damai dengan mencintai tanpa ukuran dan tanpa batasan. Damai ini adalah damai yang ideal yang bisa diterapkan apabila “manusia tuhan” itu sadar akan harkat hidup sesamanya.

Pentingnya membangun perdamaian adalah dengan kesejahteraan setiap pribadi dapat diperhatikan. Hal ini berarti menaruh curiga dan prasangka buruk antar dua pihak yang sedang berkonflik harus dipinggirkan. Demikian pula hasrat dan nafsu untuk menghakimi sesama pun harus dibuang karena pokok damai adalah kesejahteraan setiap individu karena damai sejahtera Kristus itu tinggal dalam tiap orang (bdk. Yoh. 14:27) sehingga jika terdapat kanflik damai itu dicederai dan seharusnya mereka disadarkan bahwa mereka adalah saudara yang tidak pantas saling menganiaya (bdk. Kis. 7:26). Penekanan ini sebenarnya menunjukkan bahwa semua orang adalah saudara, terlepas dari latarbelakang budaya dan konsep yang berbeda semua disatukan untuk saling memberi dan menerima perbedaan tersebut sebagai suatu anugerah dan nikmat. Dalam pada itu, apabila damai itu diwujudnyatakan, maka harus menekankan tonggak saling menghargai dan menghormati martabat sesama dan secara konkrit berusaha untuk menghayati nilai persaudaraan. Oleh sebab itu, perdamaian adalah buah dari cinta kasih, yang lebih mengatasi apa yang dapat dihasilkan dengan jalan menciptakan keadilan. Perdamaian tidak lahir dengan sendirinya, tapi berkat cinta kasih yang tumbuh dan berjalan beriringan dengan keadilan.

Gaudium et Spes (GS) 78 menekankan bahwa damai berkat adanya cinta kasih sesama yang merupakan representasi cinta kasih Kristus sendiri yang bersumber dari Allah. Kristus menjadi distributor rahmat cinta kasih Allah karena dengan inkarnasinya dalam dunia manusia, Kristus juga telah mendamaikan dunia dengan wafat-Nya di salib. Dalam hal ini, Gereja mendorong dalam semua umat beriman dalam Kristus untuk mengusahakan damai. Usaha untuk menciptakan perdamaian juga menyentuh kesejahteraan dengan memberi diri demi kepetingan perdamaian sehingga sikap batin menuntut setiap orang untuk berkarya didalamnya. Karena damai merupakan cerminan dari Kristus sendiri, maka diperlukan kesadaran dari masing-masing pihak, pihak Pro NKRI dan Pro Papua Merdeka untuk harus sadar bahwa kehidupan adalah point utama yang harus dijunjung. Sudah banyak pihak yang mendorong perdamaian di tanah Papua. Misalnya Pater Neles Tebay dengan dialog sebagai jalan perdamaian yang ideal. Jalan dialog ini sejalan dengan pribadi Kristus yang suka berdialog dalam karya pelayanan-Nya. Yesus dalam pertemuan-Nya dengan murid-murid pertama dimulai dengan sebuah dialog dengan ajakan untuk menjadi murid-Nya. Yesus mendasari “datang dan lihat” sebagai bentuk pertemuan paling otentik yang mana dengan cara itu setiap orang dapat melepaskan segala atribut dalam dirinya dan mulai dengan sebuah pembicaraan antara dua kubu yang berselisih tersebut dapat menemukan jati dirinya sebagai sesama manusia. Pertemuan yang otentik itu membuat manusia yang bereksistensi dalam ruang dan waktu dapat mengabdikan kepribadiannya sebagai hamba yang menaruh perhatian pada keprihatinan sesamanya.

Mencari damai Kristus di tengah konflik yang berkepanjangan ini menimbulkan polemik di dalamnya karena damai dipahami secara berbeda demi kepentingan kelompok tertentu, tetapi perlu disadari juga bahwa damai adalah cita-cita dan harapan yang bisa terwujud apabila kepentingan kelompok tertentu ditanggalkan dan kemanusiaan menjadi pilar utama dalam usaha membangun Papua tanah damai. Dalam hal itu, sudah banyak cara yang dibuat untuk mencari penyelesaian dan membangun tanah Papua tanah damai, tetapi semua itu gagal. Pilihan terakhir yang ditawarkan kemudian adalah membuka jalan dialog. Jalan dialog yang diambil sebagai usaha yang lebih bermartabat karena pada saat dialog semua orang ditempatkan pada kondisi dan posisi yang sama. Tidak ada yang lebih besar dan tidak ada yang lebih kecil. Semuanya berada dalam kesetaraan untuk membentuk jalan perdamaian di tanah Papua.

Dialog menjadi sebuah solusi yang konkret dalam penyelesaian konflik yang berkepanjangan di Papua sehingga dialog damai muncul sebagai gebrakan baru sekaligus sebagai jawaban dari kerinduan Orang Papua dan juga Pemerintah Indonesia. Akan tetapi, yang sebenarnya merindukan damai adalah orang Papua. Kalaupun ada keterangan terkait orang Indonesia yang mendorong dialog sebagai sebuah solusi yang rela dalam menyelesaikan konflik di Papua, maka itu adalah akademisi/kelompok orang Indonesia yang bergerak di dalam lembaga-lembaga, organisasi-organisasi kemanusiaan yang independent atau mandiri (di luar) dari sistem (pemerintah Indonesia) yang peduli terhadap konflik di Papua. Pemerintah Indonesia mengakui dialog tetapi dialog dalam versi mereka bukan dialog seperti yang digagas oleh P. Neles. “Jadi istilahnya pelaku mengadili pelaku.”

Kenyataan ini menandaskan bahwa kedua belahpihak sama-sama bergumul dengan pertumpahan darah di tanah Papua. Solusi dialog menjadi perhatian yang serius dewasa ini karena telah terbukti bahwa kekerasan tidak dapat dipakai untuk menyelesaikan kekerasan. Otsus juga telah terbukti gagal dan hanya menambahkan konflik-konflik yang berkepanjangan di tanah Papua. Oleh sebab itu, harus ada wadah yang nyata untuk mempertemukan Orang Papua dan Pemerintah Indonesia dalam mebicarakan penyelesaian konflik Papua secara adil, damai dan demokratis. Tom Beanal dalam pidato politiknya untuk memperingati kemerdekaan Bangsa Papua yang ke 41 tahun mengajak seluruh masyarakat Papua dan pemerintah Indonesia untuk duduk setara dalam menyelesaikan konflik Papua-Indonesia. Ia mengajak seluruh masyarakat Papua dan pemerintah Indonesia, LSM dan lembaga-lembaga social lainya untuk mengangkat dialog damai sebagai solusi yang real dalam menyelesaikan konflik Papua-Indonesia sebagai keputusan politik bangsa Papua yakni: “Mari kita duduk setara dan berdialog secara damai, demokratis dan bermartabat” (Alua, 2002: 76).

Berdialog untuk membahas perdamaian di tanah Papua terlebih dahulu melepaskan ego dan hasrat tuntutan dari masing-masing pihak karena jika dialog damai terjadi dengan adanya tuntutan Papua harus merdeka dan Papua harus berada di wilayah kedaulatan Indonesia, maka yang ada hanyalah dialog kosong. Komunikasi dalam dialog tidak tentang Papua harus merdeka atau Papua harus tetap berada dalam wilayah kedaulatan Indonesia, tetapi dialog itu harusnya memberikan pemahaman bahwa apa yang disampaikan adalah murni kerinduan akan kehidupan yang aman dan tenteram dari kedua pihak sehingga dialog damai Papua adalah tindakan kejujuran yang murni dari sebuah pengalaman. Pengalaman dari orang Papua dan Pemerintah Indonesia yang bergelut dalam usaha perdamaian tersebut karena kenyataan lapangan tidak bisa dibohongi dan penderitaan tidak dapat dimanipulasi dalam sebuah dialog.

Dalam cita-cita Papua tanah damai dilihat dalam makna keselamatan bersama. Pemerintah Indonesia semestinya melihat keselamatan ini dengan tidak menaruh curiga pada orang Papua karena jika tidak demikian maka sikap tidak percaya pada pemerintah Indonesia dari orang Papua juga akan makin meningkat (Tebay, 2009: 21). Demikian pula orang Papua tidak menyatakan merdeka dari Indonesia dalam dialog (Tebay, 2009: 20). Dalam dialog Papua tanah damai harus menyertakan rasa kemanusiaan dan rasa peri kehidupan sebab jikalau masih ada perseteruan harus diperdamaikan dengan Allah dalam kematian Yesus sehingga terdapat keselamatan didalam-Nya (bdk. Roma 5:10). Memang damai ini lebih pada keselamatan eskatologis, tetapi keselamatan tersebut adalah buah dari keselamatan kini yang tidak dapat dipisahkan. Kendatipun sifatnya sangat jauh dari kenyataan tetapi usaha didalamya tidak bisa dianggap sepele.

Dialog sebagai solusi yang real hingga saat ini masih terhambat, karena masih memiliki perbedaan konsep tentang damai seperti yang dijelaskan di atas. Salah satu pendekatan sebagai tahap awal dalam membangun dialog yang damai dan jujur ialah pendekatan persuasif, seperti yang pernah dilakukan oleh Bapa Uskup Munninghoff. Bagaimana dengan pendekatan itu uskup berhasil membebaskan 9 sandra di Mapenduma pada 1996. Dengan membaca tulisan di atas, tentang mencari damai Kristus sebagai komitmen Bersama, yang memberikan penekanan pada dialog, saya berpikir bahwa pendekatan persuasif mungkin penting dalam hal ini. Melalui pendekatan persuasif, hal yang mau ditekankan ialah bagaimana kita memberikan pemahaman yang baik tentang damai kepada nasionalis Papua dan pemerintah Indonesia dengan model persuasif. Kita tidak perlu menuntut atau memaksa mereka yang bertikai untuk menyelesaikan konflik Papua dengan cara dialog. Hal ini saya bertolak dari bagaimana perhatian penulis yang menekankan bahwa damai adalah kasih. Kasih menjadi point penting untuk menata kehidupan Bersama yang lebih baik.

Nampaknya kita telah mengerti bahwa dialog adalah solusi yang real, dan menjadi suatu praksis bersama dalam menata masa depan Papua menuju tanah damai. Dari model persuasif kita dapat belajar pada pribadi Yesus yang mengutamakan kasih sebagai nilai yang berharga untuk membangun perdamaian, dengan menyumbangkan gagasan/ide-ide yang lebih teoritis untuk membangun insait baru bagi nasionalis Papua dan pemerintah Indonesia bahwa “harga mati” itu sudah “mati harga.” Jadi, melalui pendekatan persuasif kita mampu membangun pemaham dan kesadaran tentang damai melalui gagasan-gagasan teoritis yang memungkinkan dialog damai itu terlaksana.

Damai Kristus: Keselamatan Semua Orang

Pencarian damai di tanah Papua dalam terang Kristus sampai pada keselamatan semua orang. Orang Papua harus selamat dan pihak-pihak dari pemerintah Indonesia (militer) juga harus selamat. Keselamatan menitikberatkan pada pengakuan atas hak-hak asasi manusia karena manusia berhak hidup dan berhak pula untuk dihargai (John XXIII, 1963). Oleh karena itu, konflik antara Pro Papua Merdeka dan Pro NKRI Harga Mati tidak sejalan dengan hak hidup semua orang. Kehidupan dan kematian adalah milik Tuhan semata dan tugas sesama manusia adalah menghargai hak tersebut. Ideologi Papua merdeka atau Indonesia Harga Mati semestinya dengan sebuah ideologi kemanusiaan dengan mendasari pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial agar kesetaraan dapat hadir di tengah-tengah setiap orang.

Damai yang tertuju pada keselamatan semua orang mengharuskan perang harus dihapuskan di atas dunia, terlebih di atas tanah Papua. Oleh karena itu, diperlukan tanggungjawab dari negarawan untuk memperjuangkan keselamatan rakyatnya yang percaya pada mereka (GS. 79). Tetapi sebenarnya usaha damai adalah tanggungjawab bersama. Memang benar bahwa pemerintah menjadi penggerak, tetapi aksi damai yang nyata adalah tanggungjawab pemerintah dan semua lapisan masyarakat. Damai adalah usaha bersama semua orang: Orang Papua Asli, Pendatang, OPM-TPNPB, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan militer dipertemukan dan melihat kenyataan yang ada bahwa nilai kemanusiaan dan peri kehidupan adalah pokok utama yang harus dibangun. Damai tidak harus dengan perang dan pertumpahan darah. Perang dan pertumpahan darah hanya menyisakan luka, air mata dan dendam untuk kedua pihak yang berseteru. Keselamatan tidak akan ditemukan dalam konflik dan damai Kristus tidak dapat dicapai.

Kristus mengehendaki agar keselamatan-Nya dapat tinggal dalam setiap orang. Kehendak Kristus tersebut sudah seharusnya diteruskan dan dihidupi oleh umat-Nya. Keselamatan Kristus menandakan kasih-Nya yang unlimited, tidak mengenal ruang dan waktu sehingga damai keselamatan dapat tercurah secara penuh. Memaknai konflik atas tanah Papua, amanat Kristus harus terus digemakan. Keselamatan adalah hak semua orang, bukan kelompok tertentu atau hanya untuk kepentingan pihak tertentu. Damai Kristus sifatnya menyeluruh dan menyentuh semua lapisan masyarakat dan golongan sehingga pencarian damai Kristus harus sampai pada keselamatan semua orang tanpa terkecuali.

Epilog

Mencari damai Kristus di tengah konflik Papua berujung pada damai bertaraf keselamatan semua manusia. Kenyataan damai adalah keselamatan sebuah perjalanan Panjang yang harus didalami dalam kacamata iman bahwa kemanusiaan bukan permen karet bila manisnya hilang kemudian dibuang begitu saja. Keselamatan jika dirunut maka akan bermula dari kasih. Kasih dari Bapa kepada manusia dalam wujud Putra-Nya mengejawantahkan damai yang ideal tersebut bahwa damai adalah keselamatan dalam Kristus dengan berserah pada Kristus yang mengetuk pintu hati semua pihak yang berseteru agar dapat sadar bahwa perang tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi menambah masalah baru.

Dokumen konsili menerangkan arti perdamaian sebagai hal yang mendesak sehingga peranan orang Kristen semestinya menjadi pencipta damai dengan bekerjasama dengan semua pihak untuk menggalang perdamaian dalam keadilan dan cinta kasih dan juga mengusahakan sarana-sarana yang membawa perdamaian (GS 77). Dalam hal ini, orang-orang Kristen melalui Pater Neles yang mengusahakan Papua tanah damai dengan cara dialog antara Jakarta-Papua menandakan bahwa rahmat perutusan ditunjukkan secara nyata dalam kehidupan sehingga tugas umat Kristen kini adalah menjadi sarana pembawa damai bagi sesama khususnya untuk damai di atas tanah Papua. Mengusahakan damai tidak harus dengan demo atau dengan mengangkat senjata. Orang Kristen kini harus dapat menemukan formulasi baru untuk megusahakan Papua tanah damai untuk keselamatan semua orang yang ada di bumi Papua ini.

Daftar Pustaka
Alua, Agus A. 2002. Peringatan 41 Tahun: Tragedi Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Tanah Papua dan Kemerdekaan Papua Barat. (STFT FAJAR TIMUR: Abepura).
Dokumen Konsili Vatikan II. 2013. Gaudium et Spes, (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI).
Dowansiba, Kelly. Dalam artikel https://laolao-papua.com/2020/12/08/catatan-panjang-pelanggaran-ham-di-papua/. Diakses pada 12 Oktober 2023.
John XXIII, Pacem In Terris, (https://www.vatican.va/ encyclicals/documents/). Diakses pada 30 Oktober 2023.
Tebay, Neles. 2009. Dialog Jakarta-Papua: Sebuah Perspektif Papua, (SKP Jayapura: Jayapura).