Kenalilah dirimu sendiri
Saya adalah seorang imam diosesan yang dipercayakan untuk mengemban tugas mulia yakni menjadi formator di seminari tingkat dasar (SMP), Seminari Petrus van Diepen. Dalam buku 100 tanya-jawab mengenai imam diosesan, dikatakan demikian; Imam diosesan adalah imam yang karena tahbisannya diinkardinasikan (mengikat diri) pada Dioses atau Keuskupan tertentu seumur hidup. Oleh karena itu imam diosesan juga disebut Imam Keuskupan (Djakarya, 1997:5). Untuk menjadi imam diosesan harus melewati berbagai proses pendidikan dan pembinaan yang memakan waktu cukup lama. Dan salah satu aspek yang menjadi perhatian selama masa formasio adalah kesehatan jiwa dan raga.
Menukil kembalai motto Bahasa latin yang bunyinya demikia “Mens sana in corpore sano” (Pikiran yang sehat terdapat dalam tubuh yang sehat). Jadi tubuh harus sehat terlebih dahulu agar pikiran juga bisa sehat. Adegium ini memberi semengat kepada saya untuk selalu menjaga kesehatan. Benar bahwa menjadi imam sudah pasti tidak hanya pikiran saja yang sehat tetapi jiwa dan raga juga harus sehat. Oleh karena itu saya perlu untuk terus menerus merawat diri saya dengan cinta dan rasa syukur kepada Tuhan yang telah memberi raga yang sempurna ini kepada saya.
Dalam satu sesi kursus formator bersama dengan Rama Yohanes Gunawan, Pr. Beliau Pernah mengemukakan gagasan tentang gambaran seorang formator itu harusnya seperti berikut ini: Formator harus waras, Formator harus cerdas, formator tuntas dan formator harus ikhlas. Saya setuju dengan gagasan ini dan lebih khusus berkaitan dengan gambaran seorang formator yang harus waras. Menurut hemat saya kewarasan menjadi syarat mutlak seorang imam untuk menjadi formator di seminari. Waras dalam pengertian sehat jiwa dan raga, atau dengan lain kata tidak ada penyakit yang dapat mengahambat pembinaan dalam lembaga formasio.
Formator yang waras akan nampak dalam perilakunya di mana ia akan selalu berusaha untuk memberi teladan yang baik bagi formandi. Menginspirasi dan tidak tebang pilih dalam membimbing dan membina para formandi. Karena itulah maka untuk menjadi seorang formator di lembaga formasio hendaknya seseorang yang sehat jiwa dan raga alias waras. Bila seorang formator mengalami kecacatan dalam dirinya; maka akan menjadi beban dan bahkan menghambat sistem pembinaan di lembaga formasio.
Dari gagasan ini; saya lalu bercermin pada diri sendiri dan menemukan bahwa saya pernah bertindak di luar kewarasan selama menjadi formator. Saya menyadarinya dan berusaha untuk memperbaiki kekurangan itu. Untuk itulah kursus formator ini selain untuk mendapat bekal pengetahuan formasio juga memberi ruang untuk berefleksi. Paling tidak saya telah diarahkan untuk membuka diri dan berani untuk menerima gagasan-gagasan baru yang membangun. Belajar mengenal diri sendiri lebih baik; sebelum belajar mengenal para formandi. Sehingga dengan demikian saya benar-benar sadar sebagai formator dan dalam bertindak tidak merugikan formandi. (Mateus Syukur)