TIGA CALON IMAM SIAP DIUTUS: Kisah Panggilan Dkn. Esebidius Kambia, Dkn. Charles Singpanki, dan Dkn. Yohanes Seran, O.Carm

201
Dari kiri ke kanan: Dkn. Esebidius Kambia, Dkn. Charles Singpanki, Dkn. Yohanes Seran, O.Carm

SORONG, KOMSOSKMS.ORG- Pada Senin, 8 Desember 2025, Gereja Keuskupan Manokwari–Sorong akan kembali bersukacita ketika tiga diakon muda mempersembahkan diri untuk ditahbiskan menjadi imam. Upacara tahbisan yang berlangsung di Katedral Kristus Raja, Sorong, dan dipimpin langsung oleh Mgr. Hilarion Datus Lega, Uskup Manokwari–Sorong, menjadi momen bersejarah bukan hanya bagi ketiga calon imam, tetapi juga bagi keluarga, para formator, dan seluruh umat yang selama ini ikut menyertai perjalanan panggilan mereka.

Ketiga calon imam ini datang dari latar belakang, perjalanan pendidikan, dan kisah panggilan yang berbeda. Namun mereka dipersatukan oleh semangat yang sama: menjadi pelayan bagi Gereja Allah dan menjadi gembala bagi umat di tengah dunia yang haus akan pewartaan Injil.

Berikut adalah profil lengkap ketiga diakon yang akan menerima Sakramen Imamat tersebut.

1. Dkn. ESEBIDIUS KAMBIA
“Janganlah takut, sebab Aku menyertaimu.” (Yes 41:10)

Esebidius Kambia—akrab disapa Esse—adalah sosok muda yang menapaki panggilan imamat dengan ketekunan, ketulusan, dan rasa syukur. Ia lahir di Babo pada 24 Maret 1995 sebagai anak kedua dari enam bersaudara, dari pasangan Benedictus Kambia dan Lusia Manuama. Dalam keluarga sederhana yang sarat nilai iman dan kerja keras inilah benih panggilan imamat mulai tumbuh.

Perjalanan pendidikannya tidak selalu mulus. Sejak kecil ia berpindah-pindah sekolah: SD YPPK St. Andreas Aroba (2002–2005), SD Inpres Babo (2005–2008), lalu kembali ke SD YPPK St. Andreas Aroba (2008–2009). Namun dinamika itu justru membentuk karakternya menjadi pribadi yang disiplin, tangguh, dan mudah beradaptasi.

Tahun 2009 menjadi titik penting ketika Esse masuk Seminari Petrus Van Diepen Aimas. Di sinilah ia diperdalam dalam pendidikan rohani dan akademis: SMP Seminari Petrus Van Diepen Aimas (2009–2012). SMA Seminari Petrus Van Diepen Aimas (2012–2015).

Setelah itu ia mengikuti Tahun Orientasi Rohani St. Agustinus Sorong (2015–2016), sebelum melanjutkan studi filsafat dan teologi di STFT Fajar Timur Abepura–Jayapura. Ia menyelesaikan S1 (2016–2020) dan melanjutkan S2 (2022–2025), sebuah pencapaian yang menunjukkan kesungguhan untuk memperdalam panggilan dan intelektualitasnya.

Dalam karya pastoral, Esse ditempa langsung melalui: Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Paroki St. Agustinus Manokwari (2020–2021). Tahun Orientasi Karya (TOK) di paroki yang sama (2021–2022)

Umat mengenalnya sebagai pribadi ramah, tekun, dan cepat menyatu dengan kehidupan masyarakat setempat.

Saat ini, ia menjalani masa diakonat di Kantor Keuskupan Manokwari–Sorong. Motto tahbisannya—“Janganlah takut, sebab Aku menyertaimu”—menjadi kekuatan yang mengiringi langkahnya: keyakinan bahwa Tuhan selalu menuntun dan menopang hidup panggilan.

Esse hadir sebagai calon gembala muda yang siap diutus untuk melayani Gereja dengan hati rendah, kuat, dan penuh iman.

Dkn. Charles Singpanki, Calon Imam Diosesan Keuskupan Manokwari-Sorong

2. Dkn. CHARLES “CHALY” SINGPANKI
“Tuhan, bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.” (Luk 22:42)

Charles Singpanki, atau akrab disapa Chaly, lahir di Kabiding pada 11 April 1992 sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara. Ia dibesarkan dalam keluarga yang penuh kasih dari pasangan Yan Singpanki dan Yustina Uropmabin.

Perjalanan pendidikannya panjang dan penuh dinamika, dimulai dari: SD YPPK St. Vincensius Mabilabol Oksibil (2007), SMP YPPK Bintang Timur Oksibil (2010), SMA YPPK Teruna Bakti Jayapura (2010–2012), SMAN 1 Oksibil (2013).

Setelah itu ia memasuki proses formasi calon imam: KPA Seminari Menengah St. Fransiskus Asisi Waena–Jayapura (2013/2014), Tahun Orientasi Rohani St. Paulus Jayanti–Nabire (2014/2015), S1 STFT Fajar Timur Jayapura (lulus 2019), TOP dan TOK di Seminari Petrus van Diepen Aimas (2020 dan 2021), Magister Teologi Pastoral (S2) STFT Fajar Timur (selesai 2025).

Pada tahun 2025, Chaly menjalani masa diakonat di Pra Paroki St. Wilhelmus Sausapor, Tambrauw, tempat ia semakin menyatu dengan umat yang dilayaninya.

Motivasi Panggilan: Buah dari Doa dan Pergulatan Panjang

Keputusan Chaly menjadi imam bukan lahir karena figur seorang pastor atau dorongan keluarga, melainkan dari keprihatinannya melihat kurangnya tenaga pelayan di banyak wilayah Papua. Ia sering mendengar keluh-kesah umat tentang minimnya imam untuk melayani sakramen dan pembinaan umat.

Situasi tersebut membawanya pada refleksi panjang: pergulatan batin, doa-doa dalam keheningan, perjuangan dengan kelemahan diri, hingga kerelaan melepaskan kenyamanan keluarga. Ia akhirnya menemukan jawaban dalam relasi pribadinya dengan Tuhan:

“Tuhan telah mengasihi saya. Tuhan memanggil dan memilih saya untuk menapaki panggilan suci menjadi imam demi mewarisi karya keselamatan-Nya.”

Motto tahbisannya diambil dari doa Yesus di Taman Getsemani—ungkapan kepasrahan dan ketaatan total: “Tuhan, bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.”

Bagi Chaly, menjadi imam bukan sekadar status yang dirayakan, tetapi tanggung jawab besar yang harus dijalani dengan ketabahan, keberanian, dan kesetiaan.

Dkn. Yohanes Seran, O.Carm

3. Dkn. YOHANES SERAN, O.Carm
“Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa.” (Rm 12:12)

Dikenal dengan sapaan Diakon Hanes, ia lahir di Kolouman pada 13 November 1994 sebagai anak pertama dari delapan bersaudara, dari pasangan Silvester Moruk dan Brigitha Moy. Latar keluarga sederhana menjadi dasar subur bagi tumbuhnya benih panggilan imamat dalam dirinya.

Jejak Formasi: Dari Bintuni Hingga Ledalero
Hanes menjalani pendidikan dasar di SD YPPK Tofoi dan SD Inpres Kelapa II, lalu melanjutkan pendidikan menengah di Seminari Petrus van Diepen untuk jenjang SMP dan SMA.

Setelahnya, ia memasuki formasi Ordo Karmel (O.Carm), mengikuti masa novisiat, kemudian melanjutkan studi filsafat dan teologi di IFTK Ledalero, Sikka, salah satu pusat formasi imam terbesar di Indonesia.

Ia juga menjalani: Tahun Orientasi Pastoral di Seminari Petrus van Diepen. Tahun Orientasi Kerasulan di Seminari KPA St. Paulus, Mataloko.

Dalam berbagai pengalaman ini, ia dibentuk dalam spiritualitas Karmel: hidup doa, kesederhanaan, dan pelayanan.

Motivasi Panggilan: Persembahan Hidup kepada Allah

Diakon Hanes menempuh proses refleksi panjang sebelum mantap memilih jalan imamat. Ia menyadari bahwa baik dari garis keluarga ayah maupun ibunya, belum ada satupun yang menjadi imam. Bahkan dari stasinya—Stasi Santa Maria Bunda Allah SP II, Paroki Kristus Terang Dunia Tofoi—belum pernah ada putra yang mempersembahkan diri bagi Gereja.

Kesadaran itu justru menjadi kobaran semangat baginya: “Motivasi saya menjadi imam ialah untuk melayani Allah. Saya menyerahkan dan memasrahkan diri kepada penyelenggaraan serta kehendak-Nya.”

Moto Panggilan: Iman yang Tetap Bersinar

Moto Roma 12:12 lahir dari pengalaman nyata—ketika ia pernah berada dalam situasi kehilangan harapan, merasa doanya tak didengar, bahkan hampir menyerah. Tetapi justru dalam saat itu ia belajar bahwa harapan kepada Allah tidak pernah mengecewakan.

Moto ini kini menjadi bintang penuntun langkahnya memasuki imamat: tekun, sabar, dan tetap bersukacita dalam pengharapan akan Allah.

Panggilan yang Dipersembahkan Bagi Gereja

Ketiga calon imam—Dkn. Esebidius Kambia, Dkn. Charles “Chaly” Singpanki, dan Dkn. Yohanes Seran, O.Carm—adalah buah dari doa, pendidikan, formasi panjang, dan dukungan begitu banyak orang. Mereka datang dari latar belakang yang berbeda, namun satu dalam tekad: Menjadi pelayan Tuhan yang setia, gembala bagi umat, dan pewarta Injil bagi dunia.

Tahbisan imamat pada 8 Desember 2025 bukan hanya menjadi puncak perjalanan mereka, tetapi juga awal dari perutusan baru. Semoga kehadiran mereka menjadi berkat bagi Gereja dan masyarakat di mana pun mereka ditempatkan untuk berkarya.