Moderasi Beragama: Sebuah Perjumpaan, bukan Sekadar Toleransi

30

Oleh Renold Aleksander Laike

Moderasi beragama merupakan suatu cara pandang, sikap, dan perilaku dalam beragama dengan menempatkan diri di tengah, demi menjaga keseimbangan antara pengalaman ajaran agama dan penghormatan terhadap perbedaan dalam kehidupan berdampingan. Posisi tengah berarti tidak berada di liberalisme berlebihan maupun tidak fanatisme radikal. Moderasi beragama juga bukan berarti berada pada posisi relativisme, karena perlu disadari bahwa adanya perbedaan antaragama.

Menurut pendapat umum, moderasi beragama berarti kita menjunjung toleransi antarumat beragama. Toleransi, menurut KBBI, adalah sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Toleransi belum cukup karena adanya terminologi “membiarkan”. Kesulitannya adalah “membiarkan” dalam hidup yang berdampingan. Solidaritas perlu melengkapi toleransi. Solidaritas merupakan suatu sikap, perasaan, dan semangat kesetiakawanan sebagai satu keluarga umat manusia.

Keduanya, toleransi dan solidaritas, hanya dimungkinkan melalui perjumpaan. Selama ini setiap kelompok membangun opininya dalam upaya memahami kelompok yang lain dari perspektifnya sendiri. Pandangan tersebut agak a priori, bahkan hanya sekadar prasangka. Misalnya, debat agama yang sering terjadi tanpa adanya perjumpaan antara kedua kelompok yang berbeda tersebut. Hal tersebut tidak masuk akal karena membandingkan dua hal yang berbeda dalam perspektif yang berbeda pula.

Berkaitan dengan moderasi beragama dan perjumpaan, Santo Fransiskus dari Asisi bisa menjadi role model yang sangat baik. Santo Fransiskus Asisi merupakan seseorang yang mengungkapkan semangat cinta kasih tanpa batas. Level solidaritasnya berada di tingkat kosmik.

Sedikit cerita mengenai transformasi hidup Santo Fransiskus Asisi. Ia lahir di Asisi, Italia sekitar tahun 1182. Ia pernah terlibat dalam pertempuran untuk membela tanah airnya pada saat konflik antara Asisi dan Perugia pecah. Setelah kekalahannya, ia ditangkap dan dipenjara selama setahun. Sekitar musim semi tahun 1205, ia bergabung dengan pasukan tentara kepausan dalam perang di Italia selatan untuk mendukung kaisar Federik II dalam mengklaim takhtanya atas Sisilia. Dalam perjalanan menuju medan perang, belum sempat terlibat perang, ia mengalami sebuah pengalaman mistis yang mengubah seluruh hidupnya. Ia meninggalkan cara hidupnya yang lama, lalu menempuh jalan baru sebagai seorang biarawan dengan semangat hidup sederhana dan miskin.

Santo Fransiskus selalu menunjukkan kasih persaudaraan, kesederhanaan dan sukacita dalam setiap perkataan dan perbuatannya. Ia menganggap segala sesuatu sebagai saudara dan saudari, terutama sesama manusia yang terabaikan, lemah, hina dan tersingkir. Pengalaman perjumpaannya dengan orang-orang kusta mengubah dirinya. Kedamaian hati yang dicarinya ternyata berada di dalam diri mereka, bukan di dalam kemenangan atas perang. Oleh karena itu, baginya, pengalaman perjumpaan dengan yang lain adalah sebuah pengalaman spiritual.

Ada satu pengalaman hidup Santo Fransiskus yang mengungkapkan sikap yang melampaui batas-batas, yaitu perjumpaannya dengan Sultan Malik al-Kamil di Damietta Mesir. Sultan Malik al-Kamil adalah anak dari sultan Malik al-Adil, saudara Sultan Saladin. Nama-nama tersebut ada hubungannya dengan tanah Palestina. Sultan Malik al-Adil mempersatukan Mesir dan Palestina setelah perang saudara yang terjadi terus-menerus. Sultan Malik al-Kamil mewarisi takhta ayahnya yang terbunuh dalam penyerangan pasukan Ksatria Perang Salib, pada Perang Salib V. Kepribadiannya terbilang penuh belas kasihan dan berperikemanusiaan, ketimbang ayahnya yang ahli strategi perang. Ia memilih jalur diplomatif dengan bernegosiasi demi mengatasi masalah Perang Salib. Ia menawarkan Yerusalem sebagai gantinya jika pasukan Ksatria Perang Salib menghentikan pengepungan. Sayangnya, niat tersebut tidak berjalan dengan baik sehingga menemui jalan buntu. Perang akan segera terjadi. Dalam situasi genting tersebut, terjadi perjumpaan antara santo Fransiskus dan sultan Malik al-Kamil. Mereka merupakan dua tokoh yang berbeda kebangsaan, bahasa, budaya, dan agama. Akan tetapi, mereka memiliki satu kesamaan, yaitu cita-cita akan perdamaian.

Santo Fransiskus menempuh jarak yang jauh dari Eropa ke Timur Tengah, dalam peregrinasinya ke Tanah Suci. Dalam perjalanannya, ia mengunjungi markas tentara Sultan, meski sadar akan resiko yang berbahaya di tengah perang. Sekilas tampak seperti usaha bunuh diri, namun keberanian tersebut berasal dari hasratnya untuk menjadi martir. Dalam perjumpaan tersebut, Fransiskus mewartakan Kristus kepada Sultan. Meski Sultan lebih berfokus pada politik dan negosiasi, ia tetap mendengarkan khotbah Fransiskus. Semula Sultan mengira bahwa Fransiskus adalah utusan dari Ksatria Perang Salib. Menariknya, dalam khotbahnya, Fransiskus tidak pernah sekalipun menghina nabi Muhammad, seperti halnya ia tidak pernah menghina siapapun. Sultan sangat mengagumi kesederhanaan dan semangat kemartiran Fransiskus. Mereka saling berbagi pengalaman religius selama berhari-hari. Meskipun kedua tokoh tersebut teguh dalam prinsip identitas masing-masing, mereka tidak saling memaksa satu sama lain. Sultan tidak memaksa Fransiskus mengucapkan syahadat, sebaliknya Fransiskus tidak memaksa Sultan untuk dibaptis.

Perjumpaan merekapun berakhir. Untuk menunjukkan keramah-tamahan ala Timur Tengah, Sultan memberikan hadiah dan uang kepada Fransiskus. Pemberian tersebut ditolak dengan lembut dan semangat kesederhanaannya. Pertemuan mereka memang tidak mengakihiri Perang Salib, tetapi menjadi inspirasi bagi banyak orang yang berupaya menciptakan ruang dialog demi perdamaian dunia. Sekiranya kedua tokoh tersebut paham dengan baik dampak yang disebabkan oleh perang, yaitu hanya penderitaan. Hal yang paling penting, pihak yang paling merasakan dampak tersebut adalah kaum miskin, lemah dan tertindas.

Dari uraian di atas, diperlihatkan bahwa perjumpaan menjadi titik mulai utama dalam moderasi beragama. Satu visi mengenai kemanusiaan dan kemaslahatan umum membuat pihak-pihak yang terlibat menunjukkan solidaritas. Adapun beberapa kesimpulan yang dapat ditarik, yaitu sebagai berikut.

Pertama, ruang dialog hanya tercapai melalui perjumpaan. Dalam perjumpaan tersebut, sikap yang ditonjolkan adalah mendengarkan dan memahami dengan perspektif yang baru, ketimbang berdebat hal doktrinal. Masalah seringkali terjadi karena kurang mendengarkan dan memahami kelompok lain. Pengetahuan dan pemahaman yang kurang tentu menimbulkan kebencian, yang sebenarnya tanpa sebab. Kedua, di dalam perjumpaan terjadi sikap saling menghormati. Merendahkan kelompok lain dan pandangannya merupakan sikap yang tidak pantas. Fransiskus dan Sultan mengetahui dengan baik hal tersebut. Ketiga, berbagi pengalaman spiritual lebih bernilai daripada perdebatan doktrinal. Pengalaman spiritual itu sangat memperkaya khazanah rohani. Ajaran bisa saja berbeda, tetapi pengamalannya dilandasi oleh kasih yang dimaknai sebagai pengalaman spiritual. Keempat, ada hal yang mengagumkan dari setiap kelompok atau ajaran. Misalnya, Sultan mengagumi kesederhanaan dari Santo Fransiskus. Kesaksian hidup sesuai dengan ajaran autentik setiap agama menjadi suatu hal yang mengagumkan di mata orang lain. Menariknya, kekaguman tersebut bukan berarti Sultan harus menjadi Kristen ataupun sebaliknya. Kelima, pengamalan ajaran dalam kebersamaan bisa diwujudkan dengan kepedulian terhadap isu-isu penting di dunia dewasa ini. Para pemuka agama bisa berdiskusi untuk menangani masalah sosial, kemiskinan, human trafficking, atau krisis lingkungan hidup.

Demikian beberapa poin yang menjadi acuan untuk direfleksikan bersama. Satu visi akan perdamaian tidak dapat ditempuh dengan mengeliminasi kelompok atau pandangan lain. Sejarah telah membuktikan bahwa upaya menyatukan umat manusia dengan paksaan dan kekerasan tidak pernah bertahan lama. Akhirnya, biarkanlah cinta kasih yang menuntun umat manusia pada persaudaraan universal.